“’Tetapi penyakit kusta Naaman akan melekat kepadamu dan kepada anak cucumu untuk selama-lamanya.’ Maka keluarlah Gehazi dari depannya dengan kena kusta, putih seperti salju.”
II Raja-raja 5:27, baca perikop II Raja-raja 5:15-27
Bangsa Indonesia kini sedang berjuang menghadapi penyakit yang namanya korupsi. Korupsi, dengan konsep tukang parkir atau „Kiri, kanan, prit! Seribu rupiah“ – seperti istilah seorang rekan bisnis asal Eropa – sudah begitu mendarahdagingnya di masyarakat kita sampai-sampai dianggap sebagai hal yang ‚wajar’. Saya pernah sekali tersesat di pelosok Jakarta dan terpaksa bertanya jalan kepada penduduk sekitar. Betapa terkejutnya saya, karena sesudah mendapat petunjuk dengan ramah, dia berkata „Uang rokoknya dong bos!“. Entah kenapa, hati saya rasanya kesal, karena keramahan dan bantuannya ternyata mengharapkan imbalan. Bahkan, yang tidak membantu, tetapi ikut ‚mendengar’ pun, meminta imbalan, dengan dalih ‚uang dengar’. Bukankah wajar, menerima imbalan sesudah memberikan bantuan?
Alkitab Perjanjian Lama mencata sebuah kasus mengenai seorang koruptor yang tertangkap tangan. Dalam II Raja-raja 5 dikisahkan mengenai Naaman, panglima Raja Aram yang terkena kusta. Melalui kuasa Tuhan, Elisa kemudian menyembuhkan Naaman. Namun, ketika Naaman menawarkan hadiah kepada Elisa sebagai tanda terima kasih, Elisa menolaknya dengan menekankan bahwa ia hanya seorang pelayan dan kuasa sesungguhNya adalah dari Tuhan. Setelah Naaman pergi, Gehazi, bujang Elisa, kemudian berpikir bahwa sudah selayaknyalah dia menerima hadiah dari Naaman – pada jaman sekarang disebut ‚uang dengar’. Ketika Elisa mengetahui, bahwa Gehazi mengejar Naaman dan meminta hadiah, Elisa langsung mengutuk Gehazi yang walaupun menerima harta dari Naaman tapi akan terkena penyakit kusta sampai keturunannya.
Sayangnya, KPK tidak berkuasa menjatuhkan penyakit kusta! Tapi paling tidak, kasus ini menjadi peringatan bagi semua orang kristen yang pernah terlibat dengan ‚uang jasa’ atau ‚uang dengar’. Kita harus selalu sadar, bahwa semua berkat dan talenta yang kita miliki adalah dari Tuhan – bukan hasil usaha kita sendiri. Jadi, tentu saja tidak elok meminta ‚uang jasa’ apalagi ‚uang dengar’ bagi sesuatu yang bukan milik kita. Bukannya jika Tuhan memberi berkat begitu melimpahnya, Ia juga akan mencukupi kebutuhan kita? Mengapa harus melakukan korupsi, jika kita selalu percaya bahwa berjalan bersama Tuhan adalah jalan yang paling baik? Ingatlah apa yang dialami Gehazi: harta memang bisa dimiliki, tapi kita seseorang terkena kusta atau tulah lainnya akibat perbuatan korupsi, dengan berapa talenta emaskah kesembuhan itu bisa dibayar?
No comments:
Post a Comment