Monday, August 17, 2009

Menguduskan Hari Tuhan

“Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah. Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat perhentianNya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari pekerjaanNya”
Ibrani 4:9-10

Di Indonesia, hak cuti atau liburan seringkali jarang digunakan. Bukan saja bagi karyawan, tapi bagi para manajer pun nampaknya hal cuti bukanlah satu hak yang penting. Ada cerita klasik, bahwa kalau ada seorang supervisor yang mau cuti, maka atasannya dengan berbagai alasan dan argumen akan berusaha sekuat tenaga supaya cuti itu tidak jadi diambil. Jadi, kesempatan cuti hanya ada pada harpitnas, itupun hanya satu atau dua hari saja.
Hal ini sangat lain dengan kondisi di Eropa atau di Amerika. Hak cuti, disana sangat dihargai. Di Jerman, seorang pegawai berhak cuti 25 hari setahun, dan tidak bisa diganggu gugat. Artinya, adalah tugas atasannya untuk menyiapkan pembagian tugas jika sang karyawan ingin cuti, sehingga ia bisa cuti kapan saja. Saya ingat, pertama kali masuk kerja, saya menerima pesan bahwa rekanan saya sedang cuti sampai sebulan! Di Indonesia, kalau cuti sebulan, waktu kita kembali, sudah ada orang lain yang duduk di meja kita, alias dianggap mengundurkan diri!
Tapi, karena saya punya bisnis sendiri kecil-kecilan, saya punya pengalaman yang unik. Saya memiliki sebuah laundry, dan laundry tentu saja dituntut untuk memberikan pelayanan tanpa libur. Akhirnya, saya membuat program bahwa karyawan bisa menukar hari libur mereka dengan uang. Ide saya ini disambut baik oleh karyawan, yang katanya toh tidak akan kemana-mana, sekalipun cuti. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Para karyawan dilanda perasaan tidak puas terus-menerus. Sering terjadi keributan di kantor karena satu karyawan bertengkar dengan yang lainnya. Akhirnya, satu persatu mengundurkan diri, bahkan untuk gaji yang lebih rendah. Ada apa ini?
Rupanya, dengan bekerja tanpa cuti, paya karyawan memang senang menerima uang lebih, tetapi tanpa disadari mereka menjadi stress, sehingga lama-lama tidak tahan dengan kondisi ini. Sehingga, sejak saat itu, saya memutuskan bahwa cuti wajib diambil dan tidak boleh ditukar dengan uang atau lembur sekalipun! Sejak itu, tidak seorangpun karyawan mengundurkan diri.
Setiap manusia perlu perhentian. Ini adalah konsep yang diajarkan sejak jaman Musa, bahwa hari ketujuh adalah hari peristirahatan. Dari hari peristirahatan, atau yang disebut dengan hari Sabat ini, ada dua hal yang bisa kita pelajari.
Kata ‘Sabat’ pertama kali dalam Alkitab pada Keluaran 16:23, ketika dikisahkan mengenai manna. Diceritakan bahwa Tuhan memberi makan manna pada bangsa Israel setiap hari selama empat puluh tahun dalam pengembaraan mereka di padang pasir. Tapi, sistem yang diterapkan Tuhan cukup aneh: bangsa Israel akan memperoleh manna setiap hari selama enam hari. Pada hari keenam, mereka akan mendapat jatah dobel, dan pada hari ketujuh tidak ada manna. Apa yang Tuhan ingin ajarkan pada umat Israel? Hal ini dapat kita lihat pada Keluaran 16:27. Tuhan murka, ketika mengetahui bahwa bahwa pada hari ketujuhpun ada orang Israel yang keluar mencari-cari manna!
Intinya, Tuhan ingin mengajarkan manusia tentang keserakahan. Apa yang terjadi ketika pada hari keenam, manusia mendapat jatah dobel? Ya - semua dilahap habis, tanpa berpikir panjang. Jadi, adanya hari perhentian adalah pelajaran bahwa tidak sepatutnya manusia terus-menerus bekerja, mengumpulkan harta tanpa henti. Tuhan memberi rejeki cukup untuk seminggu, sehingga kita bisa libur sehari. Kalau kita masih mencoba-coba mengumpulkan lebih dari jatah kita, maka Ia akan murka!
Konsep kedua kemudian diajarkan oleh Tuhan Yesus, karena penerapannya sudah salah kaprah. Konsep ‘perhentian’, yang lebih berarti istirahat, diterjemahkan secara ekstrim oleh pemuka agama Yahudi menjadi sebuah keharusan untuk berdiam diri. Yang tadinya sebuah anjuran, diterjemahkan menjadi larangan, hukuman, dan cara untuk mencari untung! Itulah sebabnya, ketika Tuhan Yesus memetik gandum untuk makan (Mat 12:1-8) atau menyembuhkan orang sakit (Yoh 5:1-18), yang diterimaNya dari pemuka agama Yahudi adalah kritikan, bukan pujian. Dengan perbuatan ini, Tuhan Yesus justru ingin mengembalikan makna hari Sabat yang sesungguhnya. Bukannya sebuah hari larangan, melainkan sebuah hari anjuran - hari dimana manusian dianjurkan untuk beristirahat. Untuk memberi waktu bagi diri sendiri dan Tuhan, untuk mengalami jeda dari kegiatan sehari-hari mencari nafkah. Inilah makna kedua hari Sabat yang diluruskan kembali oleh Tuhan Yesus: bahwa Sabat adalah waktu istirahat, bukan berarti dilarang melakukan kegiatan apa-apa. Melainkan, mengarahkan kegiatan kita untuk hal-hal yang tidak kita lakukan di hari kerja biasa.
Lalu, bagaimana kita di dunia modern sekarang ini menyikapi hari Sabat? Ya, hari Sabat adalah hari istirahat. Istirahat menurut definisi psikologi bukan berari tidur atau mengaso seharian, tetapi melakukan kegiatan yang berlawanan dengan kegiatan kita sehari-hari. Artinya, kalau sehari-hari kita banyak berpikir, istirahat berarti memancing. Atau, kalau kita berprofesi sebagai nelayan, maka merawat tanaman bunga di kebun juga adalah istirahat! Dan, jangan lupa bahwa peristirahatan ini adalah anugerah dari Allah, sehingga kita harus bersyukur padaNya. Kita harus mengisi hari Minggu dengan kegiatan rohani, berbakti kepada Tuhan. Ia tidak menuntut kita melakukannya setiap hari, bukan? Bersyukurlah atas satu hari itu!

Amin

No comments: