“And he said to him, 'Out of your own mouth I will judge you, you wicked servant. You knew that I was an austere man, collecting what I did not deposit and reaping what I did not sow'”
Luke 19:22
John Forbes Nash adalah seorang matematikawan jenius dari Amerika Serikat. Kisah hidupnya yang unik difilmkan dengan judul 'A Beautiful Mind' tahun 2001. Nash adalah seorang jenius yang menemukan berbagai teori matematika. Yang paling terkenal adalah teori permainan atau 'game theory', sebuah gagasan untuk merumuskan kompetisi antara dua pihak dalam sebuah permainan menjadi sebuah aksioma matematika. Nash sendiri adalah seorang matematikawan murni, ia hanya menemukan teorinya tetapi tidak memahami penerapannya. Ternyata, teori permainan ini menjadi begitu penting jika diterapkan dalam perhitungan transaksi derivativ pasar saham, sampai Nash memenangkan Nobel Ekonomi tahun 1994 bersama Reinhard Selten dan John Charles Harsanyi.
Namun, yang menarik dalam diri Nash adalah bahwa bakatnya ternyata membawa bencana juga. Adalah kenyataan bahwa batas antara jenius dan gila hanya setipis kertas. Nash memiliki kecenderungan mental yang tidak normal. Ia suka berhalusinasi, sehingga seolah-olah bertemu dengan seseorang – yang hanya ada dalam bayangannya – dan bisa berdialog bahkan menurut ketika orang tersebut menyuruhnya melakukan sesuatu. Nash tidak bisa membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Tadinya, ketika penyakitnya ini terdeteksi, dokter menganjurkan untuk makan berpuluh-puluh pil penenang yang malah membuat Nash tidak nyaman. Kemudian, Nash memutuskan untuk tidak meminum pil-pil itu dan menghadapi sendiri penyakitnya.
Dalam film 'A Beautiful Mind' dilukiskan bagaimana Nash kemana-mana selalu membawa permen atau kue. Kalau ada orang yang berbicara dengannya, ia akan menawarkan permen tersebut kepada orang itu. Orang sungguhan bisa makan, tapi yang imajiner tidak bisa, bukan? Kalau orang itu mengambil permen dan memakannya, barulah Nash mendengarkan. Tapi kalau tidak, maka Nash akan mengabaikannya, meskipun di kepalanya orang itu begitu nyata, duduk disitu, seolah-olah sungguhan ada. Hari demi hari Nash nampak normal, tapi perjuangannya dalam menghadapi penyakitnya luar biasa. Coba bayangkan, di kepalanya selalu ramai seperti stasiun busway, padahal sebenarnya yang sungguhan hanya 2-3 orang saja!
Orang yang memiliki talenta banyak, akan dituntut banyak juga. Nash adalah salah satu orang yang bertalenta banyak. Tidak perlu menjadi sejenius Nash untuk mengerti masalah ini. Saya sendiri merasa bahwa Tuhan menganugerahkan saya talenta yang cukup banyak. Memang ini adalah berkat, tetapi talenta memiliki konsekuensi juga. Saya misalnya, memiliki talenta karena otak saya cukup encer. Apa yang sulit dimengerti oleh teman-teman saya, bisa saya pahami dengan cepat. Harusnya saya hanya bersyukur saja, bukan? Bukankah lebih cepat, lebih baik?
Ternyata tidak begitu. Saya mengalami banyak kesulitan dalam kehidupan sosial saya justru karena talenta saya ini. Saya terbiasa melakukan sesuatu dengan cepat, cepat mengerti, sehingga kesabaran saya sangat-sangat terbatas. Ketika saya mencoba bergaul, justru sifat ini menjadi bumerang. Ingin cepat-cepat dalam berkomunikasi dan dalam bergaul membuat hubungan justru menjadi rusak, atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Saya tumbuh menjadi orang yang kurang peka, selalu menakar segala sesuatu secara logika. Ternyata, satu talenta bisa menjadi bumerang, seperti pisau bermata dua!
Inilah yang dijelaskan Tuhan Yesus lewat perumpamaan diatas. Pada awalnya, Tuhan Yesus nampak sebagai orang yang kejam, bukan? Bagaimana mungkin seorang majikan yang memberikan 5 talenta mengharapkan 10 talenta kembali? Tetapi, itu memang kenyataannya. Semakin banyak talenta seseorang, maka dituntut kemampuan yang semakin tinggi untuk menanganinya. Semakin banyak talenta yang dimiliki seseorang, semakin besar pula tuntutan orang tersebut untuk bisa melakukan manajemen talentanya, supaya tidak berantakan. Jangan heran jika ada orang yang sangat berbakat, misalnya Elvis Presley, Marilyn Monroe, Kurt Cobain, dan banyak lagi, justru akhirnya bunuh diri. Karena, talenta mereka begitu besar sehingga sepertinya sudah tak terkendali lagi, dan harus segera diakhiri.
Perikop diatas dengan jelas menerangkan bahwa talenta memang membutuhkan manajemen. Seseorang yang bertalenta tidak hanya dituntut untuk 'mengembalikan' talentanya – artinya menjaganya supaya tidak hilang – tapi juga 'mengembangkan' talentanya. Seseorang yang dianugerahi talenta berkewajiban untuk menggunakan talentanya untuk kebaikan masyarakat sekitarnya. Inilah yang dimaksud dengan dari 5 jadi 10 talenta – bahwa talenta itu berkembang, menjadi kebaikan. Nash adalah salah satu contohnya, namun masih banyak lagi, seperti Albert Einstein, Mel Gibson, Shania Twain, dimana talenta mereka betul-betul digunakan untuk kemajuan ilmu pengetahuan atau musik atau dunia akting. Mereka hidup bahagia, justru bersyukur atas smeua talentanya.
Hal itu hanya bisa tercapai jika manajemen talenta dilakukan dengan baik – bagaimana menjaga hidup walaupun wajah sangat ganteng, bagaimana menjauhi narkoba walupun suara rasanya paling merdu kalau sedang mabuk, atau bagaimana mengatur otak jenius supaya memberi hasil positif dan tidak menjadi gila. Inilah manajemen talenta, yang dituntut dari semua orang yang bertalenta. Jika talenta tersebut akhirnya pulang kandang saja, tidak jadi apa-apa, maka celakalah kita! Bahkan yang modalnya hanya satu pun, dalam perikop diatas, dihukum karena keacuhannya. Untuk itu, marilah kita mulai melakukan manajemen talenta kita masing-masing, dan menerapkannya untuk kebahagiaan orang banyak. Dari lima, jadi sepuluh!