Selamat Natal 2005
Tuhan Memberkati!
Cheers,
-HarryHN-
Embun pagi adalah kristalisasi hari. Uap, asap, debu, kabut, yang terakumulasi selama sehari penuh, akan mengalami transformasi akibat kondensasi dan sublimasi, menjadi embun pagi yang murni, suci, bersih. Demikian pula Firman Tuhan, sering tersamar dalam kotornya hari, namun selalu muncul kembali dalam bentuk murni di pagi hari. Asalkan kita rela luangkan waktu, bersihkan hati, biarkan Roh itu bekerja.
Wednesday, December 28, 2005
Tuesday, December 20, 2005
Renungan Advent Ketiga 2005
Dipulihkan Untuk Menjadi Pemenang
“Ketika kuberitahukan kepada mereka, betapa murahnya tangan Allahku yang melindungi aku dan juga apa yang dikatakan raja kepadaku, berkatalah mereka: “Kami siap untuk membangun!” Dan dengan sekuat tenaga mereka mulai melakukan pekerjaan yang baik itu."
Nehemia 2:18
Jumat lalu, di penghujung Minggu Advent Ketiga, saya sempat menghadiri Perayaan Natal Persekutuan Karyawan Kristen se-Karawang (PDK3). Tema yang diambil menurut saya cukup berani, yakni “Dipulihkan Untuk Menjadi Pemenang”. Mengapa berani? Ya, karena di jaman yang serba terpuruk ini, dimana segala sesuatunya serba sulit dan suram, memang tidak mudah untuk berdiri tegak dan membulatkan tekad untuk jadi pemenang.
Apakah kalimat terakhir diatas terasa logis bagi Anda? Jika demikian, maka boleh jadi Anda sudah termakan oleh pemberitaan media massa yang serba negatif! Saudaraku, sadarkah Anda, bahwa kita harus bersyukur atas keadaan kita sekarang? Bahwa krisis moneter adalah cara Tuhan untuk menyaring perusahaan-perusahaan yang bobrok sehingga yang baik bisa berkembang? Bahwa Tuhan sudah memberikan anugerah yang luar biasa berupa kebebasan dari tirani dan kelangsungan demokrasi? Bahwa selama 6 tahun belakangan ini, bangsa Indonesia begitu diberkatinya, sehingga adalah mukjijat bahwa negara ini masih utuh sampai sekarang? Itulah karunia Tuhan yang paling besar! Dan begitu sedihnya hati saya, dan juga saya rasa hati Tuhan, melihat umatnya yang sudah diberkahiNya dengan begitu melimpah tetapi yang dirasakan dan didoakannya hanyalah terpuruk, terpuruk, dan terpuruk terus?
Nabi Nehemia boleh dibilang berada dalam kondisi serupa dengan kita. Setelah Israel hancur, beliau memiliki sebuah visi untuk membangun kembali Bait Allah dan mengembalikan kejayaan Rumah Tuhan. Bukan hal yang mudah, karena Israel sendiri sudah nyaris rata tanah. Bahkan dari bangsa Israel sendiripun, seperti tertulis dalam ayat 19, banyak orang yang mencemooh Nehemia, yang menganggap bahwa kondisi terpuruk ini sudah tidak dapat dibangkitkan lagi. Namun, Nabi Nehemia dengan gagah berani menentang mereka dan berkata seperti tertulis dalam ayat 20: “Allah semesta langit, Dialah yang membuat kami berhasil!”. Lihatlah bangsa Israel sekarang, yang masih eksis walaupun silih berganti dihancurkan selama ribuan tahun. Itulah hasil dari optimisme mereka karena kasih Allah!
Kita sebagai orang Kristen memang dituntut untuk menjadi pemenang. Karya Agung Allah yang menghadirkan AnakNya yang Tunggal menjadi pemulihan yang hakiki bagi setiap orang kristen. Oleh karena itu, kita dilarang jadi pecundang, melainkan harus jadi pemenang! Sekarang ini, orang kristen seringkali ‘terjebak’ untuk ikut menyanyikan koor ‘terpuruk’ yang kini sedang populer di kalangan bangsa Indonesia. Dimana kita merasa diri hancur, lebur, dan ya itu… terpuruk! Orang kristen harus keluar dari stigma ini dan bangkit untuk menjadi pemenang, karena Allah sudah begitu mengasihi kita. Kita harus menjadi kesaksian dengan menunjukkan sikap positif sebagai seorang pemenang, karena Allah sudah memenangkan kita. Dengan demikian, niscaya kesaksian kita akan menerangi bangsa ini bagaikan lilin di kegelapan malam!
“Ketika kuberitahukan kepada mereka, betapa murahnya tangan Allahku yang melindungi aku dan juga apa yang dikatakan raja kepadaku, berkatalah mereka: “Kami siap untuk membangun!” Dan dengan sekuat tenaga mereka mulai melakukan pekerjaan yang baik itu."
Nehemia 2:18
Jumat lalu, di penghujung Minggu Advent Ketiga, saya sempat menghadiri Perayaan Natal Persekutuan Karyawan Kristen se-Karawang (PDK3). Tema yang diambil menurut saya cukup berani, yakni “Dipulihkan Untuk Menjadi Pemenang”. Mengapa berani? Ya, karena di jaman yang serba terpuruk ini, dimana segala sesuatunya serba sulit dan suram, memang tidak mudah untuk berdiri tegak dan membulatkan tekad untuk jadi pemenang.
Apakah kalimat terakhir diatas terasa logis bagi Anda? Jika demikian, maka boleh jadi Anda sudah termakan oleh pemberitaan media massa yang serba negatif! Saudaraku, sadarkah Anda, bahwa kita harus bersyukur atas keadaan kita sekarang? Bahwa krisis moneter adalah cara Tuhan untuk menyaring perusahaan-perusahaan yang bobrok sehingga yang baik bisa berkembang? Bahwa Tuhan sudah memberikan anugerah yang luar biasa berupa kebebasan dari tirani dan kelangsungan demokrasi? Bahwa selama 6 tahun belakangan ini, bangsa Indonesia begitu diberkatinya, sehingga adalah mukjijat bahwa negara ini masih utuh sampai sekarang? Itulah karunia Tuhan yang paling besar! Dan begitu sedihnya hati saya, dan juga saya rasa hati Tuhan, melihat umatnya yang sudah diberkahiNya dengan begitu melimpah tetapi yang dirasakan dan didoakannya hanyalah terpuruk, terpuruk, dan terpuruk terus?
Nabi Nehemia boleh dibilang berada dalam kondisi serupa dengan kita. Setelah Israel hancur, beliau memiliki sebuah visi untuk membangun kembali Bait Allah dan mengembalikan kejayaan Rumah Tuhan. Bukan hal yang mudah, karena Israel sendiri sudah nyaris rata tanah. Bahkan dari bangsa Israel sendiripun, seperti tertulis dalam ayat 19, banyak orang yang mencemooh Nehemia, yang menganggap bahwa kondisi terpuruk ini sudah tidak dapat dibangkitkan lagi. Namun, Nabi Nehemia dengan gagah berani menentang mereka dan berkata seperti tertulis dalam ayat 20: “Allah semesta langit, Dialah yang membuat kami berhasil!”. Lihatlah bangsa Israel sekarang, yang masih eksis walaupun silih berganti dihancurkan selama ribuan tahun. Itulah hasil dari optimisme mereka karena kasih Allah!
Kita sebagai orang Kristen memang dituntut untuk menjadi pemenang. Karya Agung Allah yang menghadirkan AnakNya yang Tunggal menjadi pemulihan yang hakiki bagi setiap orang kristen. Oleh karena itu, kita dilarang jadi pecundang, melainkan harus jadi pemenang! Sekarang ini, orang kristen seringkali ‘terjebak’ untuk ikut menyanyikan koor ‘terpuruk’ yang kini sedang populer di kalangan bangsa Indonesia. Dimana kita merasa diri hancur, lebur, dan ya itu… terpuruk! Orang kristen harus keluar dari stigma ini dan bangkit untuk menjadi pemenang, karena Allah sudah begitu mengasihi kita. Kita harus menjadi kesaksian dengan menunjukkan sikap positif sebagai seorang pemenang, karena Allah sudah memenangkan kita. Dengan demikian, niscaya kesaksian kita akan menerangi bangsa ini bagaikan lilin di kegelapan malam!
Wednesday, December 07, 2005
Renungan Advent Kedua 2005 - Setan Yang Sulit Diusir
“Kata Yesus kepadanya :”Pergilah, anakmu hidup!” Orang itu percaya akan perkataan yang dikatakan Yesus kepadanya, lalu pergi.”
Yoh 4:50
Ada hal yang cukup ironis pada waktu saya menghadiri kebaktian di sebuah gedung di Jakarta minggu lalu. Karena cenderung beraliran Pentakosta, sang Pendeta sebelum mulai khotbah dengan gagah ‚mengusir’ semua roh-roh jahat yang akan mengganggu kebaktian. “Dalam nama Yesus!” katanya lantang, “Kepada semua roh-roh yang akan mengganggu aliran Firman Tuhan di tempat ini, saya perintahkan keluar dari sini!”. Jemaat pun menyambut dengan hentakan dan desisan suara yang tak kalah ganasnya. Saya membayangkan, roh-roh jahat itu pasti sudah lari kocar-kacir sekarang! Namun, rupanya belum semua setan terusir keluar. Bahkan setan ini, persis di ruang kebaktian, masih berani mengganggu konsentrasi khotbah dengan bunyi-bunyian yang nyaring! Herannya, bukannya diusir dengan desisan garang, tapi jemaat malah pura-pura tidak tahu. Setan apa gerangan yang begitu besar nyalinya?
Ya, setan itu bernama handphone alias ponsel alias telepon genggam! Sangat sulit dipercaya, bahwa setelah upacara pengusiran setan yang garang itu, masih begitu banyak bunyi ponsel, dari yang polifonik sampai yang WAV, yang mendadak muncul di tengah-tengah khotbah. Kadang-kadang ada bunyi dari ponsel yang sama, bunyi berkali-kali, sementara sang empunya hanya duduk diam dengan muka tak berdosa. Malah ada yang diam-diam mengangkat ponsel dan menjawabnya sambil berbisik! Menurut saya, hal ini sangatlah tidak sopan, hampir sama dengan penghujatan. Bayangkan, kalau Anda sedang berbicara dengan seorang boss besar di perusahaan Anda, pastilah ponsel Anda dimatikan atau paling tidak diatur dalam mode sunyi, untuk menghormati lawan bicara Anda. Jika Tuhan sedang berbicara pada Anda, betapa tidak sopannya apabila ponsel Anda bertulalit melulu!
Namun, sebagai manusia modern saya menyadari betapa sulitnya hidup tanpa ponsel, bahkan untuk satu jam saja sekalipun. Bagaimana jika ada teman yang sangat membutuhkan saya, bagaimana jika terjadi sesuatu yang darurat di pabrik, bagaimana dengan janji saya nanti siang, bagaimana, bagaimana, bagaimana? Sehingga, saya pun sempat ‚menurunkan’ level hormat saya kepada Tuhan dengan mengubah mode ponsel menjadi sunyi, namun tidak dimatikan. Toh, kalau ada telepon atau sms masuk, akan terekam sehingga saya bisa menelepon lagi kemudian. Hmm, betapa sulitnya yah, hidup tanpa ponsel!
Justru disinilah iman kita diuji. Di jaman modern ini, dimana kita semakin bergantung pada teknologi – atau kita dibuat menjadi semakin tergantung pada teknologi - sungguh sulit membayangkan iman seperti pegawai istana pada perikop diatas. Bahwa ketika Yesus berkata, „Anakmu sembuh!“, ia dengan yakin pulang ke rumah, dan sungguh-sungguh mendapati anaknya sembuh. Keyakinan iman seperti inilah yang perlu kita miliki untuk mematikan ponsel selama kebaktian – bahwa janji saya tidak akan berantakan, bahwa pabrik saya tidak akan kebakaran, bahwa Tuhan pasti akan menolong teman kita dengan cara yang lain. Intinya: bahwa dalam satu jam itu, kita percayakan kehidupan kita, janji-janji kita, teman-teman kita, dan semua milik kita, hanya kepada Tuhan. Tidak sulit bukan? Mari kita coba bersama!
Yoh 4:50
Ada hal yang cukup ironis pada waktu saya menghadiri kebaktian di sebuah gedung di Jakarta minggu lalu. Karena cenderung beraliran Pentakosta, sang Pendeta sebelum mulai khotbah dengan gagah ‚mengusir’ semua roh-roh jahat yang akan mengganggu kebaktian. “Dalam nama Yesus!” katanya lantang, “Kepada semua roh-roh yang akan mengganggu aliran Firman Tuhan di tempat ini, saya perintahkan keluar dari sini!”. Jemaat pun menyambut dengan hentakan dan desisan suara yang tak kalah ganasnya. Saya membayangkan, roh-roh jahat itu pasti sudah lari kocar-kacir sekarang! Namun, rupanya belum semua setan terusir keluar. Bahkan setan ini, persis di ruang kebaktian, masih berani mengganggu konsentrasi khotbah dengan bunyi-bunyian yang nyaring! Herannya, bukannya diusir dengan desisan garang, tapi jemaat malah pura-pura tidak tahu. Setan apa gerangan yang begitu besar nyalinya?
Ya, setan itu bernama handphone alias ponsel alias telepon genggam! Sangat sulit dipercaya, bahwa setelah upacara pengusiran setan yang garang itu, masih begitu banyak bunyi ponsel, dari yang polifonik sampai yang WAV, yang mendadak muncul di tengah-tengah khotbah. Kadang-kadang ada bunyi dari ponsel yang sama, bunyi berkali-kali, sementara sang empunya hanya duduk diam dengan muka tak berdosa. Malah ada yang diam-diam mengangkat ponsel dan menjawabnya sambil berbisik! Menurut saya, hal ini sangatlah tidak sopan, hampir sama dengan penghujatan. Bayangkan, kalau Anda sedang berbicara dengan seorang boss besar di perusahaan Anda, pastilah ponsel Anda dimatikan atau paling tidak diatur dalam mode sunyi, untuk menghormati lawan bicara Anda. Jika Tuhan sedang berbicara pada Anda, betapa tidak sopannya apabila ponsel Anda bertulalit melulu!
Namun, sebagai manusia modern saya menyadari betapa sulitnya hidup tanpa ponsel, bahkan untuk satu jam saja sekalipun. Bagaimana jika ada teman yang sangat membutuhkan saya, bagaimana jika terjadi sesuatu yang darurat di pabrik, bagaimana dengan janji saya nanti siang, bagaimana, bagaimana, bagaimana? Sehingga, saya pun sempat ‚menurunkan’ level hormat saya kepada Tuhan dengan mengubah mode ponsel menjadi sunyi, namun tidak dimatikan. Toh, kalau ada telepon atau sms masuk, akan terekam sehingga saya bisa menelepon lagi kemudian. Hmm, betapa sulitnya yah, hidup tanpa ponsel!
Justru disinilah iman kita diuji. Di jaman modern ini, dimana kita semakin bergantung pada teknologi – atau kita dibuat menjadi semakin tergantung pada teknologi - sungguh sulit membayangkan iman seperti pegawai istana pada perikop diatas. Bahwa ketika Yesus berkata, „Anakmu sembuh!“, ia dengan yakin pulang ke rumah, dan sungguh-sungguh mendapati anaknya sembuh. Keyakinan iman seperti inilah yang perlu kita miliki untuk mematikan ponsel selama kebaktian – bahwa janji saya tidak akan berantakan, bahwa pabrik saya tidak akan kebakaran, bahwa Tuhan pasti akan menolong teman kita dengan cara yang lain. Intinya: bahwa dalam satu jam itu, kita percayakan kehidupan kita, janji-janji kita, teman-teman kita, dan semua milik kita, hanya kepada Tuhan. Tidak sulit bukan? Mari kita coba bersama!
Renungan Advent Pertama 2005 - Batu Yang Salah Tempat
“Jadi, jika rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api demikian didandani Allah, terlebih lagi kamu, hai orang yang kurang percaya!”
Lukas 12:28
Jika batu-batu bisa berbicara, tentulah mereka protes keras jika ditempatkan Tuhan di sungai atau di tepi pantai. Untuk apa batu ditempatkan disana? Bukankah bebatuan yang berada di sungai ataupun di pantai hanyalah akan habis digerus air perlahan-lahan? Seolah-olah Tuhan hanya menciptakan bebatuan itu untuk dihancurkan saja. Seolah-olah rencana Tuhan untuk bebatuan itu, hanyalah untuk kebinasaan saja!
Namun, lihatlah Pantai Tanjung Tinggi di Belitung, misalnya, atau komposisi sungai berbatu di Baturaden, Jawa Tengah! Lihatlah betapa cantiknya bentuk batu yang serba tumpul, berpadu dengan aliran air. Betapa aliran air bisa memahat batu-batu itu sedemikian rupa sehingga mencapai bentuk yang cantik, kolosal, dan terus berubah seiring waktu. Jika manusia mampu menciptakan patung yang statis, maka bebatuan di sungai dan pantai adalah dinamis, selalu berubah dan makin memukau secara alamiah. Bayangkan, berapa banyak orang yang dijernihkan pikirannya, dan berapa banyak jiwa yang terselamatkan, setelah menyaksikan betapa indahnya karya Tuhan itu! Ternyata, inilah maksud Tuhan meletakkan bebatuan di aliran air. Memang, pada suatu saat, mereka akan binasa. Tetapi, lihatlah betapa keindahannya menyelamatkan ribuan jiwa yang sesak dengan permasalahan!
Kadang-kadang rencana Tuhan akan hidup kita pun nampak seperti bebatuan di sungai atau pantai tadi. Kelihatannya semua jalan serba buntu, kelihatannya yang ada hanyalah tantangan dan masalah, dan menjadi binasa adalah suatu proses yang perlahan tapi pasti. Bahkan, hidup kita serba kacau, seolah-olah semuanya berada tempat yang salah! Namun, ingatlah akan bebatuan tadi. Tujuan Tuhan sebenarnya selalu indah, dengan cara-cara yang jauh diatas jangkauan nalar kita. Jikalau Anda memegang teguh pada kehandalan rencana Sang Perencana Agung, maka Anda kelak akan menjadi batu paling cantik yang pernah ada!
Lukas 12:28
Jika batu-batu bisa berbicara, tentulah mereka protes keras jika ditempatkan Tuhan di sungai atau di tepi pantai. Untuk apa batu ditempatkan disana? Bukankah bebatuan yang berada di sungai ataupun di pantai hanyalah akan habis digerus air perlahan-lahan? Seolah-olah Tuhan hanya menciptakan bebatuan itu untuk dihancurkan saja. Seolah-olah rencana Tuhan untuk bebatuan itu, hanyalah untuk kebinasaan saja!
Namun, lihatlah Pantai Tanjung Tinggi di Belitung, misalnya, atau komposisi sungai berbatu di Baturaden, Jawa Tengah! Lihatlah betapa cantiknya bentuk batu yang serba tumpul, berpadu dengan aliran air. Betapa aliran air bisa memahat batu-batu itu sedemikian rupa sehingga mencapai bentuk yang cantik, kolosal, dan terus berubah seiring waktu. Jika manusia mampu menciptakan patung yang statis, maka bebatuan di sungai dan pantai adalah dinamis, selalu berubah dan makin memukau secara alamiah. Bayangkan, berapa banyak orang yang dijernihkan pikirannya, dan berapa banyak jiwa yang terselamatkan, setelah menyaksikan betapa indahnya karya Tuhan itu! Ternyata, inilah maksud Tuhan meletakkan bebatuan di aliran air. Memang, pada suatu saat, mereka akan binasa. Tetapi, lihatlah betapa keindahannya menyelamatkan ribuan jiwa yang sesak dengan permasalahan!
Kadang-kadang rencana Tuhan akan hidup kita pun nampak seperti bebatuan di sungai atau pantai tadi. Kelihatannya semua jalan serba buntu, kelihatannya yang ada hanyalah tantangan dan masalah, dan menjadi binasa adalah suatu proses yang perlahan tapi pasti. Bahkan, hidup kita serba kacau, seolah-olah semuanya berada tempat yang salah! Namun, ingatlah akan bebatuan tadi. Tujuan Tuhan sebenarnya selalu indah, dengan cara-cara yang jauh diatas jangkauan nalar kita. Jikalau Anda memegang teguh pada kehandalan rencana Sang Perencana Agung, maka Anda kelak akan menjadi batu paling cantik yang pernah ada!
Subscribe to:
Posts (Atom)