Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.
Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.
Yesaya 55:8-9
Pertanyaan berikutnya adalah: kalau benar ini rancangan Tuhan, kalau benar ini kehendakNya, kok jelek amat ya? Mengapa harus sesakit ini, serumit ini, sesulit ini? Mengapa kok kelihatannya sekarang tidak ada titik terang di ujung terowongan? Yang ada hanyalah udara pengap, tembok yang lembab, dan ruangan sempit yang menyesakkan hati? Karena, ini baru rancangan, baru rencana.
Seorang insinyur sipil biasanya adalah orang yang paling mengerti mengenai buruk rupanya sebuah rancangan yang setengah jadi. Betapapun indah gambarnya, betapapun cantik jadinya, lihatlah sebuah proses pembangunan rumah pada tahap awal: buruk rupa, berantakan, semrawut! Yang ada adalah kebisingan, hujaman paku-paku yang tiada henti, hantaman palu yang menyayat hati. Semuanya dihancurkan: keramik dipotong, kayu digergaji, semen diaduk. Kalau benda-benda itu bisa menjerit, mereka pasti berteriak minta tolong, tidak terima, dan menangis tersedu-sedu. Hancur berantakan! Tapi, lihatlah! Pelan-pelan, bentuk akhirnya mulai kelihatan!
Dari mulai menyemen, finishing, sampai pengecatan, semuanya masih berantakan, namun bentuk akhirnya mulai kelihatan. Akhirnya, jadinya sebuah bangunan yang cantik - apakah berbentuk minimalis atau bergaya Yunani dengan tiang tinggi! Cantik nian, dan begitu jauh dari bentuk asalnya, begitu lama sejak pembangunannya. Pemilik rumah seringkali hanya tinggal masuk ke rumah jadi, sehingga kurang menghargai karya seni itu. Tapi, coba tanya sang pembangunnya! Ia akan ingat betapa sulit mendirikan atapnya. Betapa rumit proses pemasangan tegelnya. Betapa jorok proses pemasangan pipanya. Dan sekarang... semuanya selesai! Sang insinyur kini bisa menatap karyanya dengan bangga - justru karena ia merasakan kepedihan pada awalnya. Sementara, pemilik rumah seringkali hanya mencibir karena masih kurang puas!
Nah, begitu pula rancangan Tuhan. Rancangan Tuhan jauh diatas manusia. Jika seorang insinyur sipil saja bisa berasakannya, apalagi rancangan Tuhan yang jauh lebih mulia! Memang, sekadang ini rasanya sakit, rasanya sesak, rasanya sumpek. Tapi, tabahlah, dan berjalanlah terus! Suatu saat nanti, bangunan tersebut akan jadi. Berbanggalah akan setiap hari yang lewat, karena itu berarti satu langkah lebih dekat dengan bangunan jadi yang cantik. Jangan menyerah, maju terus! Jika tiba saatnya nanti, kamu bakalan berdiri di sebuah bukit, lalu menengok ke terjalnya tanjakan di belakang. Dan berpikir: indahnya pemandangan dari sini! Syukurlah, tanjakan berat itu sudah berlalu!
Embun pagi adalah kristalisasi hari. Uap, asap, debu, kabut, yang terakumulasi selama sehari penuh, akan mengalami transformasi akibat kondensasi dan sublimasi, menjadi embun pagi yang murni, suci, bersih. Demikian pula Firman Tuhan, sering tersamar dalam kotornya hari, namun selalu muncul kembali dalam bentuk murni di pagi hari. Asalkan kita rela luangkan waktu, bersihkan hati, biarkan Roh itu bekerja.
Tuesday, April 24, 2007
Hari 1 - 23 April 2007 - Bukan Salah Siapa Siapa!
”Jawab Yesus, "Bukan dosa orang itu dan juga bukan dosa orang tuanya yang menyebabkan dia buta sejak lahir. Orang itu buta supaya kuasa Allah menjadi nyata di dalam dia.”
Yoh 9:3
Satu cara pikir yang harus dirubah mengenai sakit penyakit dan musibah: bahwa itu semua terjadi bukan kutukan! Itu bukan terjadi karena kesalahan, hukuman, atau karma yang tidak jelas juntrungannya. Alkitab dan kekristenan sebenarnya tidak mengenal karma! Bukankah Allah pernah bersabda, pembalasan adalah hakKu? Adakah karma pernah menimpa Yakub karena melangkahi Esau? Tidak! Toh, Ayub dihajar penderitaan walaupun hidupnya bersih - dimanakah yang namanya karma itu? Tapi, pemikiran soal karma ini selalu menghantui setiap orang yang kena musibah, sehingga separuh dari sisa tenaga yang tidak seberapa itu dihabiskan untuk menjerit: mengapa? Apa salah saya? Wahai kawan, bukan kamu yang salah! Tidak ada yang salah!
Lalu apa? Tuhan Yesus menjelaskan dengan gamblang dalam perikop ini. Sang buta dalam cerita Yohanes 9, bukan buta karena dosa orang tuanya. Bukan buta karena dosa dia sendiri. Jadi, mengapa dia layak menerima kebutaan itu? Apa sebab kebutaan itu ada padanya sejak lahir? Bukan karena dosa siapa-siapa. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Allah! Karena Yesus berkata lantang, bahwa kebutaan itu terjadi supaya kuasa Allah menjadi nyata di dalam dia. Supaya Allah terwujud dan menjelma menjadi bentuk yang dapat diraih, diraba, dan dikagumi, lewat peristiwa ajaib yang terjadi pada seorang buta, seorang sakit, atau seorang miskin. Supaya Allah hadir di tengah manusia!
Jadi, penderitaan, sakit penyakit, apalagi yang datang begitu saja, bukanlah sesuatu yang sia-sia. Bukanlah suatu akibat dari perbuatan najis atau dosa nenek moyang. Bukan juga karena karma atau nasib belaka. Tapi, semua itu datang, karena Allah punya rencana. Karena Allah ingin menunjukkan kuasaNya melalui manusia. Karena Allah ingin kuasaNya menjadi nyata dalam diri seseorang. Untuk itu, tenangkanlah hatimu, temanku! Jangan mencari apa dan siapa yang salah. Berdirilah teguh, bersiap-siaplah. Karena Allah sendiri telah memilihmu! Karena kemuliannya akan kaunyatakan pada waktunya nanti. Berdirilah, teguh, tegap. Allah sudah memilihmu!
Yoh 9:3
Satu cara pikir yang harus dirubah mengenai sakit penyakit dan musibah: bahwa itu semua terjadi bukan kutukan! Itu bukan terjadi karena kesalahan, hukuman, atau karma yang tidak jelas juntrungannya. Alkitab dan kekristenan sebenarnya tidak mengenal karma! Bukankah Allah pernah bersabda, pembalasan adalah hakKu? Adakah karma pernah menimpa Yakub karena melangkahi Esau? Tidak! Toh, Ayub dihajar penderitaan walaupun hidupnya bersih - dimanakah yang namanya karma itu? Tapi, pemikiran soal karma ini selalu menghantui setiap orang yang kena musibah, sehingga separuh dari sisa tenaga yang tidak seberapa itu dihabiskan untuk menjerit: mengapa? Apa salah saya? Wahai kawan, bukan kamu yang salah! Tidak ada yang salah!
Lalu apa? Tuhan Yesus menjelaskan dengan gamblang dalam perikop ini. Sang buta dalam cerita Yohanes 9, bukan buta karena dosa orang tuanya. Bukan buta karena dosa dia sendiri. Jadi, mengapa dia layak menerima kebutaan itu? Apa sebab kebutaan itu ada padanya sejak lahir? Bukan karena dosa siapa-siapa. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Allah! Karena Yesus berkata lantang, bahwa kebutaan itu terjadi supaya kuasa Allah menjadi nyata di dalam dia. Supaya Allah terwujud dan menjelma menjadi bentuk yang dapat diraih, diraba, dan dikagumi, lewat peristiwa ajaib yang terjadi pada seorang buta, seorang sakit, atau seorang miskin. Supaya Allah hadir di tengah manusia!
Jadi, penderitaan, sakit penyakit, apalagi yang datang begitu saja, bukanlah sesuatu yang sia-sia. Bukanlah suatu akibat dari perbuatan najis atau dosa nenek moyang. Bukan juga karena karma atau nasib belaka. Tapi, semua itu datang, karena Allah punya rencana. Karena Allah ingin menunjukkan kuasaNya melalui manusia. Karena Allah ingin kuasaNya menjadi nyata dalam diri seseorang. Untuk itu, tenangkanlah hatimu, temanku! Jangan mencari apa dan siapa yang salah. Berdirilah teguh, bersiap-siaplah. Karena Allah sendiri telah memilihmu! Karena kemuliannya akan kaunyatakan pada waktunya nanti. Berdirilah, teguh, tegap. Allah sudah memilihmu!
Tujuh Hari Buat Heri
Apa yang harus aku lakukan untuk temanku yang satu ini? Seorang teman sekampung, teman sepermainan. Teman yang begitu biasa, begitu normal, hingga suatu hari langit bagaikan runtuh menimpa kepalanya. Aku harus melakukan apa untuk dia? Berpuasa? Berdoa? Bernazar? Sesudah kupikirkan, aku akan berkata-kata saja. Karena, yang inilah yang paling aku bisa. Yang inilah yang paling berkekuatan untuk menopangnya. Yang inilah, mudah-mudahan, yang bisa membangkitkannya kembali.
Tujuh hari puasa, tujuh kali kata-kata untuk temanku Heri.
Her, ieu kabeh, keur maneh yeuh! Sing cageur nya!
Tujuh hari puasa, tujuh kali kata-kata untuk temanku Heri.
Her, ieu kabeh, keur maneh yeuh! Sing cageur nya!
Subscribe to:
Posts (Atom)