Monday, January 05, 2009

iChurch - Bagian 1

Catatan: saya adalah anggota Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Cibunut Bandung, demografi saya adalah usia awal 30-an, belum menikah, bekerja, tidak tinggal bersama orang tua.

Bagian 1 - Song, Sermon, Sacrament

Adalah panggilan orang Kristen untuk setiap hari Minggu datang ke gereja. Apa yang dilakukan disana? Istilahnya adalah 4D: Duduk, Doa, Dengar (khotbah), dan Duit (persembahan). Lalu, pulang! Saya selalu tersenyum dalam hati kalau mendengar sebuah lelucon: respon jemaat yang mana yang selalu paling keras dan penuh semangat? Jawabannya adalah perkataan “Syukur kepada Allah!” setelah Pendeta mengatakan “Kebaktian telah selesai!”. Nah, sesudah itu, life goes on - bahkan di parkir gereja pernah ada yang adu jotos karena masalah parkir!

Saya menjadi berpikir. Walaupun tidak setiap minggu, paling tidak sekali atau dua kali sebulan saya yang di perantauan ini juga pergi ke gereja. Saya berkorban bangun pagi, mandi pagi, lalu nyetir mobil dengan mata ngantuk, dan akhirnya sampai di gereja. Sampai di gereja tujuan saya hanya satu: berjuang melawan kantuk, dimana saat doa syafaat menjadi ‘oasis’ yang menyegarkan karena paling tidak mata saya bisa tertutup. Nah, kembali ke 4D. Kadang-kadang, ada khotbah pendeta yang sangat bagus, sehingga saya bersemangat dan pulang dengan membawa sesuatu yang baru. Tapi, jujur saja - secara statistik, paling-paling hanya satu kali diantara sepuluh kali ke gereja, saya bisa merasakan kehormatan itu. Sisanya, 4D. Saya merasa, kok seperti hanya buang waktu saja ya ke gereja? Apakah perlu saya melakukan ritual ini sekali lagi?

Kemudian, saya berpikir. Mungkin, bukan gerejanya yang salah - tetapi ada ketidakcocokan antara saya dan gereja itu sendiri. Sebaiknya, setiap kali pulang gereja saya membawa pencerahan, iman, dan semangat baru. Kalau tidak, berarti ada sesuatu yang salah! Jadi, yang salah itu yang harus diperbaiki. Nah, untuk menjawab yang satu ini, saya bertanya kepada diri saya sendiri: gereja macam apa sih yang saya cari? Dimana saya, dan kaum muda perantauan seperti saya, bisa menemukan pencerahan, dan bukan hanya 4D saja?

Perenungan saya membawa masalah ini kepada satu analisis: apa saja unsur yang penting dalam sebuah liturgi? Dengan kata lain, kalau saya - dan orang-orang lain - ke gereja, apa yang saya harapkan, apa yang dicari, apa yang ditunggu-tunggu? Saya merumuskannya dalam singkatan S3: Song, Sermon, dan Sacrament.

1. Song

Song atau lagu pujian, buat saya dan orang-orang yang berdemografi sama dengan saya, adalah unsur yang sangat penting. Sejak di SMA dulu saya sudah mengkritik GKI tempat saya bergereja karena mereka sangat keras kepala mempertahankan buku nyanyian dengan lagi-lagu dari Abad 17-an (menurut istilah teman saya, ‘lagu-lagu jaman penjajahan’). Setiap lagu baru yang dicap sebagai ‘lagu persekutuan’ atau ‘lagu pantekosta’ diinvestigasi secara mendalam ‘aspek teologia’-nya, dan diproklamirkan sebagai ‘memiliki bobot teologis yang kuang baik’. Alhasil, semua pendukung liturgi mencari tantangan dengan ‘memaksa’ para jemaat menyanyikan lagu minor dari abad 18, yang bahkan sang pemimpin biduan yang lulus ujian nasional piano klasik sekalipun tergopoh-gopoh dalam menyanyikannya!

Mari kita jawab secara jujur: mana yang lebih menyentuh di hati, menyanyikan “Kepala yang berdarah…” atau “KasihMu sperti fajar pagi hari….”? Buat saya, yang kedua yang lebih menyentuh. Dengan nada yang tidak ketinggalan jaman, kata-kata yang menyentuh, membuat saya bahkan menitikkan air mata ketika menyanyikannya. Gereja Duta Injil di Kuningan misalnya, memiliki tim puji-pujian dan koleksi lagu yang sangat indah. Menyanyi disana bukan dipaksa sambil menebak-nebak apakah suara saya sampai atau tidak - melainkan dengan sepenuh hati, dengan iringan musik yang indah, membuat saya - minimal - sadar akan dosa-dosa saya. Nah, bagi sebagian besar kaum muda, lagu adalah unsur penting, karena kalau kata-kata hanya mencapai telinga, musik bisa menyentuh sanubari.

2. Sermon

Sermon atau khotbah, adalah unsur yang terpenting dalam liturgi Protestan. Tentu saja, khotbah adalah elemen yang sangat penting bagi jemaat. Pertanyaannya: khotbah seperti apa yang kira-kira cocok dengan demografi saya? Untuk ini, saya ingat pengalaman saya ketika pertama kali datang ke kebaktian JPCC di Kuningan, Jakarta (sekarang di Annex Building, Thamrin), dan mendengarkan khotbah Pendeta Jeffrey Ramli. Waktu itu, untuk memulai khotbahnya, Pak Pendeta yang keren ini menunjukkan ponsel miliknya - Nokia 9210, ponsel termahal dan tercanggih waktu itu. “Kalian tahu ini?” katanya. Semua mengangguk - siapa yang tidak tahu Nokia 9210? “Nah, kalau ini, kalian pernah lihat atau tidak?” katanya, sambil memperlihatkan buku petunjuk penggunaan Nokia 9210 yang tebalnya nyaris sama seperti Alkitab. “Ini adalah buku petunjuk penggunaan ponsel saya. Kalau kalian membeli ponsel ini, dan tidak membaca bukunya, maka ponsel kalian tidak akan dapat digunakan secara maksimal” katanya. “Ponsel 9210 sama dengan kehidupan, dan Alkitab adalah buku petunjuk penggunaannya. Tanpa membaca Alkitab, bukan saja hidup kita tidak akan digunakan secara maksimal, tapi bisa-bisa kita salah pencet dan hidup kita jadi rusak!” katanya, disambut tawa hadirin.

Saya terkesiap ketika mendengar khotbah itu. Betapa sederhana, namun mengena di benak setiap orang muda yang memiliki gadget - apakah itu PDA, ponsel, atau laptop. Dan betapa serong kita bingung, bahkan gadget kita rusak, karena malas membaca petunjuk penggunaannya! Buat saya, khotbah Pendeta Jeffrey melekat di hati saya, sebagai perumpamaan yang sangat sederhana, namun mengena di hati.

Nah, khotbah semacam inilah yang cocok dengan demografi saya. Khotbah yang berbicara tentang iPhone, Blackberry, atau Facebook. Khotbah yang menyentuh keseharian saya, seperti ketika Tuhan Yesus menjelaskan konsep sesama dengan perumpamaan orang Samaria. Gereja GKI tempat saya menjadi anggota, biasanya memiliki khotbah yang berat, dengan kajian teologis yang mendalam dan analitik. Ini sangat bagus, dan kadang-kadang saya merasa gereja-gereja dengan lagu yang semangat khotbahnya justru mengambang, kurang didasari oleh aspek teologis yang mendalam. Namun, untuk benar-benar memberikan hikmah, aspek teologis itu sebaiknya dijelaskan dalam bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti dan menyentuh. Khotbah harus membumi, tidak mengawang-awang di langit ketujuh.

3. Sacrament

Walaupun sangat demokratis, agama selalu membutuhkan upacara, sakramen, sebagai lambang pertalian manusia dengan Tuhan. Sehingga, aspek sakramen atau ritual menjadi faktor yang tak kalah penting. Sakramen adalah pelaksanaan ritual gerejawi, seperti pembabtisan, atau yang paling umum adalah sakramen perjamuan kudus. Pelaksanaan sakramen, beserta aspek pendukungnya, sangat penting dalam upacara kristiani.

Dalam sakramen, untuk agama Kristen Protestan, gereja misi seperti GKI dan GPIB selalu menjadi benchmark atau tolok ukur. GKI, yang didukung oleh gedung gereja yang ideal (tidak berbentuk ruko atau berdesain minimalis) - berupa atap yang tinggi, menara lonceng, dan mimbar yang megah - juga dengan keseriusan dalam pendalam makna teologis setiap sakramen, membuat setiap jemaat merasa teduh dan khusuk ketika menerima sakramen perjamuan kudus. Gema suara Pendeta yang menggaung di dalam ruangan berlangit-langit tinggi, dengan desain akustik yang sempurna tanpa mikrofon, membuat hati setiap jemaat ciut dan mengangguk mengakui keagungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal ini memang menjadi kekuatan gereja GKI dan GPIB, sehingga membuat angka kunjungan gereja meningkat tajam di hari raya kristiani seperti Natal dan Paskah.

1 comment:

Nadyakurnia.M said...

Bang Harry memang lebih pandai dan lebih hebat dari kebanyakan para pendeta. Banyak hamba Tuhan di daerah yang memang gaptek. Jadi tidak mengerti dan tidak punya apa itu HP Nokia 9210, iPhone, blackberry,dlsb. Tapi meski mereka gaptek, mereka tetap dipilih, dikuduskan dan dipakai Tuhan untuk menjadi hamba-hambaNya; melayani orang yang akan menikah, melayani sakramen (meski tidak punya laptop or hp keren), pelayanan kedukaan/pemakaman, khotbah, konsultasi keluarga,dll...pendeknya hidup untuk melayani dan menjadi berkat. Sedangkan Bang Harry yang jauh lebih pandai dan hebat dalam iptek, apakah termasuk yang dipilih menjadi pendeta or tidak ya ? Yang dimaksudkan Pendeta dalam khotbahnya tsb. adalah betapa penting dan menentukannya Alkitab bagi kehidupan orang Kristen; dan hp Nokia 9210 itu adalah ilustrasi saja. Tanpa harus menggunakan ilustrasi yang sama, semua pendeta tentu juga berulang kali mengajarkan betapa pentingnya dan betapa menentukannya Alkitab bagi Jemaat. Tetapi interpretasi bang Harry kok malah mengalihkan dan menekankan tentang pentingnya hp dan buku petunjuk hp, tentang rupa-rupa kecanggihan iptek... aneh tapi nyata: ga nyambung Bang....Lebih pandai dan lebih hebat daripada pendeta, fine-fine saja Bang; tetapi jangan sombong ya Bang, kritik sana kritik sini; pendeknya kalau pelayanan pendeta tidak sesuai dengan selera Bang Harry, dikritik dan dicela habis....