Monday, January 05, 2009

iChurch - Bagian 2

Bagian 2 - Gereja Sebagai Tempat Ibadah

Nah, setelah memahami semua ini, perenungan saya membawa kepada masalah baru: apakah kita boleh ‘memilih’ gereja? Apakah kita boleh pindah-pindah sesuka hati, dan hinggap di dahan dimana kita merasa betah, seperti burung-burung di taman kota? Dalam hal ini, kita perlu melihat gereja dari dua sudut: gereja sebagai tempat ibadah dan gereja sebagai komunitas.

Gereja sebagai komunitas, adalah bentuk gereja yang ideal. Gereja dimana kita hadir tidak hanya seminggu sekali kalau sempat, melainkan beberapa kali seminggu. Gereja dimana kita mengenal paling tidak 10 orang jemaat lainnya - kenal dekat, maksudnya tahu nomor ponselnya dan mengirim sms lebih dari sekali setahun. Gereja ini, buat saya, adalah GKI Taman Cibunut. Namun, ketika saya merantau, dengan tuntutan kerja saya, maka sulit menemukan ’GKI Taman Cibunut kedua’ di tempat perantauan saya. Beberapa orang berhasil menjadi anggota komunitas gereja baru, tapi ini nampaknya akan menjadi lumrah kalau kita sudah berkeluarga. Kalau masih single, dengan profesi sebagai sales pula, sulit mengharapkan akan mendapat komunitas gerejawi. Nah, apakah ini berarti tidak ada tempat bagi kita di gereja?

Tidak. Menurut saya, gereja punya fungsi kedua, yakni sebagai tempat ibadah. Konsep ini mirip dengan umat Muslim dengan Masjid. Di hari Jumat, saudara-saudara Muslim akan melakukan sembahyang Jumat bersama di Masjid. Memang disana ada juga khotbah, tapi unsur terpenting dalam sebuah sholat Jumat, seperti dijelaskan rekan saya yang Muslim, adalah mendengar ayat-ayat suci Al-Quran dan bersembahyang bersama. Sesudah itu, semua pulang dan kembali ke kehidupan sehari-hari. Memang ada komunitas, seperti Remaja Masjid, atau organisasi islam lainnya, tapi ini hanya merupakan minoritas dari umat yang melakukan sholat Jumat.

Gereja, untuk perantau seperti saya, harus memiliki fungsi sebagai tempat ibadah. Artinya, tidak mementingkan komunitas, tidak dihujani berbagai pertanyaan dan diminta nomor ponselnya untuk dihubungi kalau tidak datang, disuruh berdiri dan ditepuki seluruh jemaat sebagai ’anggota baru’. Adalah fakta bahwa semua ini bertujuan untuk ’menambah anggota gereja’. Nah, ini yang saya tidak setuju. Memang benar bahwa ada jemaat yang mencari komunitas, namun langkah ini akan menjadi kontra-produktif jika jemaat tadi sudah menjadi anggota gereja asal dan kini ingin beribadah. Semua langkah ini memang baik, tapi harus proporsional, jangan sampai justru membuat rikuh ’anggota baru’ tersebut. Juga, tidak membuat sang anggota baru merasa menjadi ’objek wajib pajak baru’.

Buat saya, yang utama, adalah kesegaran rohani jiwa kita. Kalau Anda seperti saya, seorang perantau, yang sudah menjadi anggota di tempat asal, dan kini merasa kering kerontang karena jauh dari keluarga, maka iman dan kesegaran iman adalah yang utama. Pergilah ke tempat dimana iman Anda disegarkan, dimana Tuhan berbicara kepada Anda! Jika Anda mempertahankan ‘identitas’ dan tetap hadir di sebuah gereja dimana Anda hanya berjuang melawan kantuk dan berprinsip 4D, maka lebih baik Anda tidur saja di rumah, karena Tuhan Yesus pun tidak berkenan dengan ibadah yang seperti itu. Bukankah Ia berkata, lebih baik berdoa berbisik-bisik tapi memberikan satu-satunya keping uang logam yang dimiliki, daripada berdoa berpanjang-panjang seperti orang Farisi? Iman adalah urusan pribadi kita dengan Tuhan, dan dalam ibadah, inilah yang harus menjadi prioritas, bukannya identitas, ritual, atau yang lainnya.

Nah, pemikiran ini juga bermanfaat untuk para pengurus gereja. Sudahkah gereja mementingkan kesegaran iman jemaatnya? Banyak gereja yang begitu mengutamakan ritual atau persembahan, sampai mengorbankan alasan utama orang ke gereja, yakni mencari penyegaran iman. Apakah yang menjadi fokus pelayan kita, apakah sekedar ‘menambah anggota gereja’, menjadi ‘lembaga penginjilan’, ataukah menyediakan penyegaran iman bagi anak-anak Tuhan yang terlantar? Sudahkah gereja menjadi saluran berkat, penyambung antara Tuhan dengan manusia?

Pulogadung, Minggu, 4 Januari 2009.

1 comment:

henry wibowo said...

Renungan Anda benar dari satu sisi. Tetapi belum lengkap. Kesannya mengajarkan dan membuat orang Kristen hanya membuat kristen menjadi egoistik, selalu berpikir pengurus gereja harus melayani menurut selera kebutuhan Anda; khotbah hanya untuk menyegarkan iman; menjadi anggota Jemaat yang hobbynya tukang kritik dan mengeluh. Selama jadi anggota GKI Taman Cibunut, apakah Anda sering terlibat dalam pelayanan ?