Monday, January 12, 2009

Sang Kaya Yang Melarat

“Karena dimana hartamu berada, di situ juga hatimu berada”
Matius 6:21

Thierry de la Villehuchet tergolong sebagai golongan kelas atas di Perancis. Lahir dari sebuah keluarga ningrat yang kaya, Villehuchet kemudian meniti karirnya di bidang investasi, menjadi sebuah manajer investasi yang terkenal di dunia. Ia mendirikan Access International Advisor atau AIA, yang memiliki total investasi senilai 3 milyar dollar AS. Ia adalah anggota dari New York Yacht Club dan Larchmont Yacht Club yang eksklusif, dan berkantor di sebuah gedung pencakar langit di Madison Avenue, kawasan elit New York.

Adolf Merckle, adalah seorang figur kaya lain dari Jerman. Ia termasuk orang terkaya ke-44 di dunia, dan masuk 10 besar dalam orang terkaya di Jerman. Ia adalah pemilik produsen obat generik terkenal Ratiopharm, dan seorang pemegang saham dari Heidelberg Cement. Pada akhir tahun 2007, asetnya mencapai 12.8 milyar dollar AS.

Dari Amerika, ada Steven Good, pemilik Sheldon Good & Co., sebuah perusahaan properti di kota Chicago yang sukses. Perusahaan yang didirikan ayahnya 40 tahun lalu ini sempat memiliki nilai transaksi senilai 9.2 milyar dollar AS. Tak heran jika sebuah sedan mewah Jaguar bertengger di dalam garasi Steven Good.

Namun, tiba-tiba, gambaran kesuksesan ini berubah drastis ketika badai krisis ekonomi menerpa dunia. Thierry de la Villehuchet didapati meninggal dunia di kantornya di Madison Avenue yang serba mewah karena bunuh diri. Ia menyayat urat nadi lengan kirinya dan menenggak obat tidur dengan dosis mematikan. Adolf Merckle, juga melakukan bunuh diri, dengan menabrakkan diri pada kereta yang melaju kencang di kota kelahirannya, Blaubeuren, Jerman. Sementara Steven Good menembak dirinya sendiri di dalam Jaguar merahnya, sesudah menulis pesan kematiannya.

Apa yang terjadi dengan orang-orang ini? Bukankah mereka termasuk golongan yang kaya dan berada? Bukankah mereka selalu bergelimang kemewahan, hidup bergaya jet set, dan, seharusnya, berbahagia? Lalu mengapa mereka mereka sampai melakukan bunuh diri?

Saya jadi ingat kepada wawancara dengan pengusaha terkenal Bob Sadino yang pernah saya dengar di radio. Oom Bob kini adalah pemilik gerai Kem Chicks dan cukup berada, tapi beliau memulai hidupnya dalam kesusahan, bahkan sempat menjadi kuli bangunan. Ketika ditanya, apakah sukses Oom Bob yang terbesar? Jawabannya sangat mengejutkan: ”Sukses yang luar biasa buat saya adalah dulu, ketika melarat, dan tidak punya uang, tapi bisa mendapatkan sepiring nasi untuk makan! Itulah sukses yang betul-betul saya rasakan. Sesudah menjadi kaya, semuanya justru terasa biasa saja, proses saja. Tapi, sepiring nasi itulah sukses saya yang terbesar!”

Melalui pandangan Oom Bob, yang pernah menjadi miskin dan kaya, kita bisa sedikit memahami, mengapa Tuhan Yesus sangat menghargai orang miskin. Dalam khotbah Sabda Bahagia ia berkata “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:3). Orang yang miskin, yang tidak memiliki banyak harta, sangat menghargai sebuah anugrah, baik sekecil apapun. Sementara orang kaya, karena begitu keranjingan mengumpulkan harta, cenderung ingin memiliki harta sebanyak-banyaknya, bahkan sampai tujuh turunan!

Nah, apa yang terjadi jika harta itu diambil daripadanya? Nah, inilah resiko besar yang tidak pernah dikhawatirkan oleh si miskin! Secuil saja dari hartanya lenyap, maka orang bisa kalap, mengamuk, bahkan bunuh diri. Perlu diingat, bahwa ketiga orang yang melakukan bunuh diri tadi kekayaannya memang berkurang dengan cukup drastis, tapi mereka masih jauh dari miskin. Masing-masing masih memiliki jutaan dolar AS, bahkan Adolf Merckle masih termasuk dalam salah satu orang terkaya di Jerman. Tapi, kehilangan harta itu begitu mengerikannya, sampai-sampai mereka rela menghabisi nyawanya sendiri!

Lalu apa hubungannya dengan kehidupan iman kita? Dengan peristiwa ini, kita diingatkan untuk membangun suatu keseimbangan yang selaras antara iman dan harta kita. Jika kita termasuk dalam golongan orang yang kaya, bersyukurlah, namun juga waspada. Karena, sebagai orang kaya, mental kitapun seringkali menjadi mental ’orang kaya’: merasa berkuasa, merasa bisa melakukan segala sesuatu, merasa paling penting, selalu harus didahulukan, dan paling suci karena banyak menyumbang gereja. Hal ini yang ditunjukkan oleh seseorang yang menghadap Yesus (Mat 19:16-26). Orang ini berkata bahwa ia sudah melakukan ajaran Taurat, sudah menyumbang, sudah berbuat baik, sudah mengikuti semua ajaran agama. Singkatnya: sudah suci, sempurna! Maka, Iapun pergi kepada Yesus dan berkata: ”Guru, perbuatan baik apakah yang harus kulakukan agar memperoleh hidup kekal?” (Mat 19:16).

Tapi, Tuhan Yesus bukan Ahli Taurat atau Orang Farisi, yang akan memuja-muja si kaya karena takut sumbangannya berkurang. Ia dapat membaca niat orang itu, dan memberikan tantangan yang biasa: ”Jikalau engkau hendak sempurna, pergillah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di Sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku” (Mat 19:21). Memang, ia pernah menyumbang untuk orang miskin, tapi memberikan SEMUA hartanya adalah hal yang tak terbayangkan! Inilah sifat ’orang kaya’: bisa jadi ia rela memberi secuil atau sebagian, tapi tidak semua! Orang inipun mundur teratur, tidak jadi mengikut Yesus (Mat 19:22).

Apabila kita tergolong orang yang berkecukupan, maka kita memiliki tantangan yang lebih besar daripada orang miskin, yakni menjaga keseimbangan yang selaras antara harta dan iman kita. Bukan berarti orang Kristen tidak boleh kaya, tetapi sebagai orang Kristen kekayaan mengandung tanggung jawab lebih yang harus dipikul. Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan ini adalah dengan melakukan kontak dengan golongan lain yang kurang beruntung, bukan hanya dengan memberi uang, tetapi ikut terlibat aktif. Misalnya, menjadi relawan untuk kaum miskin kota, berkunjung ke panti asuhan, atau berjalan-jalan ke daerah minus. Dengan menyaksikan, hidup bersama, dan berinteraksi dengan orang yang kurang beruntung ini, kita akan mendapat pencerahan untuk bersyukur akan kondisi kita, namun juga tidak lupa akan dari mana kita berasal. Dengan demikian, kita akan terhindar dari ’mental orang kaya’ yang membuat pintu masuk Sorga menjadi sekecil lubang jarum.

No comments: