Embun pagi adalah kristalisasi hari. Uap, asap, debu, kabut, yang terakumulasi selama sehari penuh, akan mengalami transformasi akibat kondensasi dan sublimasi, menjadi embun pagi yang murni, suci, bersih. Demikian pula Firman Tuhan, sering tersamar dalam kotornya hari, namun selalu muncul kembali dalam bentuk murni di pagi hari. Asalkan kita rela luangkan waktu, bersihkan hati, biarkan Roh itu bekerja.
Thursday, November 03, 2011
Perawatan Iman Secara Berkala
Thursday, October 20, 2011
Jadilah Sempurna!
"Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti BapaMu yang di Sorga adalah sempurna"
Matius 5:48
Saya baru kembali dari sebuah perjalanan dinas ke Italia. Disana, karena kami berada di dekat kota Milan, kami dianjurkan untuk mengunjungi bergamo, sebuah kota tua yang cantik. Bergamo adalah warisan dunia, yang memiliki bagian kota lama yang terletak diatas bukit. Kota ini memiliki banyak bangunan dan gereja kuno, dengan jalan-jalan sempit, dipenuhi oleh wangi roti yang baru matang pada pagi hari ketika kami sampai disana. Sekilas, kota ini mirip dengan Venezia, hanya Bergamo terletak diatas bukit dan dipagari benteng tinggi, bukan diatas laut. Untuk kesana kami harus menaiki 'furnicolare', atau cable car, yang menyajikan pemandangan indah ke arah kota di pagi hari.
Kami terus terang tidak tahu akan pergi kemana. Di dinding ada sebuah peta, kami hanya menebak saja sebuah pelataran di tengah kota yang mungkin adalah alun-alunnya. Kamipun menuju kesana, sekali lagi tanpa tahu arah dan tujuan karena daerah ini bukan tujuan wisata umum untuk turis Asia. Ada sebuah bangunan gereja yang cukup cantik, dan saya putuskan untuk memasuki gedungnya. Dari dalam, nampak sebuah gereja yang semula kelihatan biasa saja. Sampai.... ketika kami melihat ke atas!
Diatas kami, terhampar sebuah keindahan yang luar biasa. Kira-kira 15 meter diatas kami, sebuah langit-langit yang cantik dan indah memancarkan pesona kesempurnaan yang luar biasa. Nampak lima buah lukisan, satu di tengah dan keempat lainnya mengelilingi di sisinya, yang diapit oleh ukiran tanaman berbalut emas dan ukiran patung-patung malaikat. Patung-patung tersebut nampak seolah hidup, menopang langit-langit dengan sayapnya. Betapa indahnya! Kami langsung tahu, dari aura keindahannya, bahwa tempat ini pastilah bukan tempat biasa. Betul saja: itulah Duomo Santa Maria Maggiore, katedral utama dan gereja terpenting di kota tua Bergamo. Luar biasa!
Sebelum saya berangkat ke Italia, saya sempat menghadiri sebuah pameran seni kontemporer di Jakarta. Lalu, disana ada sebuah bagian yang menyajikan karya-karya pelukis lama: "Old Masters" judulnya. Tentu saja, karya-karya Old Masters ini selangit harganya dan nampak kusam dibanding karya-karya baru. Namun, auranya tetap berbeda. Lukisan Barong dari Affandi, lukisan gadis penjaja makanan dari Lee Man Fong, dan lukisan Gunung Meletus karya Raden Saleh. Saya ingat, di kantor kerja Soekarno, presiden pertama RI, mungkin satu-satunya presiden yang paham kesenian, terpampang lukisan Soedjojono, "Wajah-wajah Revolusi", yang berwujud lukisan wajah para pahlawan pejuang kemerdekaan Indonesia.
Salah satu lukisan yang terpajang di ruang pameran membuat saya terpana. Ini juga karya Soedjojono, berjudul "Indahnya Tanah Airku". Gambarnya aneh: tiga orang, yang satu tentara, yang lain petani yang memanggul senjata, nampak sedang bengong memandang ke arah kanan. Semuanya nampak tertegun tanpa ekspresi. Di latar belakang lukisan nampak sebuah bukit dan sungai. Tapi, tidak jelas apa yang mereka lihat. Lukisan ini seolah terpotong, karena sisi kiri - titik arah pandangan semua orang di lukisan ini - tidak nampak. Rupanya, saya mendapatkan jawabannya. Waktu sebelum kemerdekaan, tidak terbayang seperti apa negara kita jadinya. Wujud Republik yang diperjuangkan mati-matian dan sudah menelan banyak nyawa tersebut, masih belum jelas. Jadi, memang tidak ada di lukisan itu. Namun, wajah rakyat sudah memandang kesana. Terlihat rakyat bahu-membahu, apapun profesinya, semua memandang ke arah yang sama. Takut, tidak pasti, namun berdiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka - bukan lagi orang jajahan. Jenius! Sebuah pengejawantahan dari idealisme kemerdekaan yang begitu realistis dan indah.
Lalu, saya bandingkan karya itu dengan karya-karya seniman modern seperti Ay Tjoe Christine atau Heri Dono. Maaf seribu maaf, saya bukan ahli seni dan tidak patut jika pendapat saya dianggap sebagau panutan. Namun, saya heran. Mengapa saya tidak menemukan 'getaran' Soedjojono dan Affandi dalam karya Ay Tjoe dan Heri Dono? Sama seperti keindahan gereja Santa Maria Maggiore tadi. Mengapa bangunan-bangunan masa kini, dari BNI 46 sampai Marina Bay Sands, tidak ada yang bisa menyaingi keindahannya?
Jawabannya adalah: kesempurnaan. Kini, manusia dipasung oleh duit. Jika saya menujukkan gambar langit-langit Santa Maria Maggiore pada arsitek masa kini untuk membuatnya, maka pertanyaan yang pertama muncul adalah: "Pasti akan mahal sekali!". Ya. Abad ke 14, pada saat gereja ini dibangun, orang masih belum mengenal uang. Raja menyediakan sarana apapun yang dibutuhkan oleh sang arsitek, dan sang arsitek diberi kebebasan untuk berkreasi tanpa dibatasi oleh uang. Iapun bebas mewujudkan impiannya, melebihi batas-batasnya sebagai manusia, dan melahirkan sebuah karya yang illahi - divine works of art. Karya yang hanya mungkin hadir dari hati seorang manusia yang kagum atas TuhanNya. Sempurna!
Jaman sekarang, kita sering lupa, bahwa orang Kristen dituntut untuk menjadi sempurna, karena Bapa yang menciptakan kita adalah sempurna. Kita sering merasa cukup dengan kecukupan kita - cukup taat aturan, sekali-sekali saja menerobos lampu merah. Cukup rajin bekerja, sekali-sekali saja bolos. Cukup segini saja, untuk apa maju lagi. Kita jarang berjuang untuk sebuah kesempurnaan, karena menjadi sempurna seolah terlalu mahal secara ekonomis, dari segi waktu maupun uang. Namun ingat, bahwa sebagai orang Kristen kita dituntut untuk sempurna. Dan sebagai orang Kristen kita bisa bernapas lega, bahwa kesempurnaan itu pernah muncul dari jaman keemasan iman Kristen di Eropa. Lihatlah Basilika Santo Petrus di Vatikan, Piazza Sam Marco di Italia, St. Stephansdom di Wina, dan Santa Maria Maggiore di Bergamo. Itulah bangunan-bangunan yang didirikan atas dasar cinta seorang manusia ke pada Tuhannya, dengan dedikasi penuh untuk mencapai kesempurnaan. Dan kesempurnaan ini masih terpancar sampai sekarang, ratusan tahun sebelum karya itu dibuat!
Jadi, ingatlah, bahwa menjadi sempurna adalah misi untuk orang Kristen. Janganlah kita puas untuk sekadar cukup - hiduplah dengan kesempurnaan, janganlah berhenti sampai titik sempurna itu tercapai. Niscaya, iman Kristen akan terpancar dengan sendirinya, dari indahnya karya-karya yang dihasilkannya.
Tomang, 20 October 2011
Thursday, September 08, 2011
Angin Yang Berjasa
“Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.”
Yohanes 3:8
Dalam sebuah pertunjukan ludruk, seorang penonton yang sinis nampaknya tidak puas dengan apa yang dipertunjukkan hari ini. Alih-alih bertepuk tangan, dia berteriak kepada pemain ludruk: “Apa sih kalian ini, isinya cuma angin!” katanya. Sang aktor ludruk bukannya marah malah tertawa, lalu menghadap si penonton tadi. “Bapak kesini naik apa?” tanyanya. “Naik motor!” jawab si penonton. “Kalo gitu, coba bayangin kalo bannya kempes, nggak ada anginnya!” katanya. Penonton pun tertawa terbahak-bahak.
Kita memang kadang-kadang melupakan pentingnya angin ini. Angin memang tidak berbentuk, hanya bersuara seperti yang dijelaskan dalam Alkitab. Angin ini juga malah menjadi kiasan untuk sesuatu yang kosong, hampa, tidak berisi dan tidak bermutu. Angin tidak bisa dilihat, bahkan ilmu pengetahuan dan kamera tercanggih pun tidak bisa menangkap pergerakan angin. Sehingga ketika Tuhan Yesus menggunakan kata angin untuk melukiskan orang yang lahir dari Roh, apalagi ketika berbicara dengan Nikodemus yang berpendidikan dan Ahli Taurat, pasti Ia sudah memilih kata-kataNya dengan cermat.
Ban adalah bukti betapa pentingnya angin. Dari sejak jaman dokar ditarik lembu, sampai mobil Ferrarri tercepat di dunia, semuanya membutuhkan ban yang isinya angin. Tanpa angin, bahkan pesawat jet Sukhoi yang paling canggih sekalipun tidak bakal bisa terbang. Tidak ada teknologi yang menggantikan angin, sehingga bahaya ban kempes bisa mengancam dari delman, motor, mobil, sampai penerbangan Lion Air dengan Boeing 737-900ER. Bahkan saya yang sudah siap bekerja pun hanya bisa bengong ketika kelihat ban saya kempes habis kemarin!
Dalam perikop diatas, Nikodemus mempertanyakan konsep kelahiran baru. Bagaimana seseorang bisa lahir kembali? Apakah dia harus balik ke rahim ibunya dan dilahirkan kembali? Begitu pertanyaannya. Tuhan Yesus menjawab, bahwa yang lahir dari daging adalah daging, dan dari Roh adalah Roh. Jadi, Tuhan Yesus mendefinisikan bahwa daging dan Roh memang dua hal yang berbeda. Seseorang boleh jadi sudah lahir secara daging, tapi belum secara Roh. Ketika Roh itu hadir dalam hidup seseorang, barulah terjadi kelahiran Roh.
Lalu, bagaimana proses kejadian ‘kelahiran Roh’ ini? Dapatkah kita memasang kamera untuk merekamnya seperti proses kelahiran daging? Tuhan Yesus menyebut dengan jelas dalam perikop diatas, bahwa kita tidak tahu dan tidak bisa melihat prosesnya, tetapi kita ‘bisa mendengar bunyinya’. Ya! Orang-orang yang lahir secara Roh, pasti terasa di masyarakat. Lihatlah pecandu narkoba yang bisa sembuh, orang-orang sakit yang tetap memiliki semangat hidup tinggi, orang yang depresi bisa menemukan semangatnya kembali, dan lain-lain. Banyak sekali buku-buku dan cerita kesaksian mengenai ‘kelahiran Roh’, yang bisa kita dengar dimana-mana. Prosesnya sendiri adalah proses yang sangat pribadi, yang tidak bisa didokumentasikan atau direkam seperti kelahiran daging. Namun, efeknya bisa terlihat dengan jelas, sama seperti nikmatnya perjalanan kita tadi pagi, karena angin kasat mata yang ada di dalam ban kendaraan kita.
Kedoya, 8 September 2011
Wednesday, September 07, 2011
Sabar!
“Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.”
Galatia 5:22-23
Pernahkan Anda terjebak kemacetan ketika Anda sudah terlambat? Kalau Anda tinggal di Jakarta, ibukota macet sedunia, pasti Anda ingat betapa mengerikannya situasi seperti itu. Anda harus tiba di Sudirman pada jam 14.00, sementara sekarang sudah jam 13.30, posisi Anda di Slipi. Di depan Anda berjajar mobil-mobil berdesakan, motor yang melintas nekad, bus yang malang-melintang, metromini dan kopaja yang gagah memotong jalur siapa saja yang menantangnya, serta busway yang berusaha menyeruak di tengah kerumunan lalu lintas Jakarta. Padahal, rapat sore ini sangat penting, Anda bertemu pelanggan dari Jepang yang terkenal sangat tepat waktu, ingin mengadakan pembicaraan finalisasi order yang sangat Anda butuhkan dan sudah Anda rintis sejak 3 bulan yang lalu. Celaka dua belas, bukan?
Suara lagu di radio yang biasanya merdu menjadi jeritan yang menakutkan. Tawa renyah penyiar radio bagaikan tawa kuntilanak yang menertawakan keterlambatan Anda. AC mobil yang sudah disetel maksimum gagal mencegah mengucurnya keringat Anda. Jantung Anda berdetak semakin kencang, ingin rasanya membunuh dan mencincang motor atau pejalan kaki yang memotong jalan di depan Anda. Tidak sedikitpun Anda memberi kesempatan pada orang lain untuk melintas, kalau perlu, tabrak saja! Tekanan darah terasa meningkat, setitik saja kejadian bisa memicu pertengkaran, adu jotos, bahkan saling merusak. Ya – Anda siap membunuh siapa saja yang menghalangi jalan Anda! Semuanya yang sudah lambat bergerak semakin lambat, seolah-olah seperti melalui lorong waktu. Sementara detik waktu melalui kelipan tanda titik dua di jam digital mobil Anda berkelip-kelip tanpa dosa, begitu cepatnya, seolah tidak peduli pada suasana super stress yang Anda alami.
Namun, rute yang sama pernah pula saya alami dengan suasana yang jauh berbeda. Jamnya sama, hanya kali ini saya ada di Slipi jam 2 sore, tetapi janji rapat saya adalah jam 4 sore, pada hari yang sama. Mobil-mobil berdesakan seperti biasa, motor-motor berseliweran tak perduli. Bus damri pun tetap memotong jalan dengan gagahnya. Tetapi mengapa hati saya lebih tenang? Lantunan musik Jazz dari sebuah radio mengalun merdu, bahkan sesekali lelucon penyiar radio membuat saya tertawa terbahak-bahak. Saya sempat mengeluarkan kamera untuk memotret gedung pencakar langit di jalan S. Parman yang nampak cantik diterpa sinar mentari sore, dan tersenyum pada motor yang menyerempet spion saya. Mengapa perjalanan ini menjadi terasa indah, menyenangkan, santai?
Padahal, waktu tempuh dari Slipi ke Sudirman tetap sama. Dari keluar tol Slipi sampai Gedung Mid Plaza, butuh waktu kira-kira 1 jam. Mau saya lalui dengan super stress, marah-marah, atau dengan tersenyum sambil foto-foto, waktu tempuhnya tetap 1 jam, bukan? Tapi, ketika saya punya banyak waktu, jalanan nampak mengalir tenang, sementara pada saat saya terpepet waktu, semuanya terasa seperti slow motion. Heran ya, bisa sedemikian besar bedanya, untuk jarak dan waktu tempuh yang sama?
Teman, jalanan ,macet tadi adalah hidup kita, dan anugerahnya adalah kesabaran. Kita punya hidup yang sudah digariskan olehNya, dari satu titik awal ke satu titik akhir. Jarak tempuhnya tetap sama. Kita punya dua pilihan: melaluinya dengan penuh ketidaksabaran, seperti ketika terlambat tadi, atau melaluinya dengan kesabaran, seperti contoh berikutnya. Waktu tempuhnya tetap sama. Macetnya pun sama. Tetapi, dengan kesabaran, perjalanan menjadi sangat indah, bukan? Segala amarah dan detakan jantung ekstra serta makian pada motor, toh tidak akan mempercepat perjalanan kita barang sedetik pun. Namun, betapa stress yang diakibatkannya sungguh terasa bagi tubuh kita!
Lalu, bagaimana menyiapkan waktu yang cukup dalam kehidupan kita, tanpa terjebak seperti contoh pertama? Jawabannya adalah kesabaran. Kita seringkali tidak sabar pada Tuhan. Kita ingin segalanya terjadi sekarang dan saat ini juga. Kita ingin masalah segera selesai, persoalan segera tuntas, problem secepat mungkin menguap. Padahal, tidak bisa! Sama seperti di jalan raya, setiap masalah kita bersinggungan dengan orang lain, dan ketika kita diuntungkan secara tiba-tiba, maka pasti ada orang lain yang merugi. Sementara, Dia yang memberi keputusan adalah adil. Maka, kita harus bersabar dalam menghadapi hidup. Bersabar menanti keputusanNya pada saat yang tepat, bersabar menunggu hasilNya yang sempurna. Toh, segala usaha kita untuk marah dan memaki, sama seperti derasnya kucuran keringat dan peningkatan detak jantung pada suasana macet tadi: hanya sia-sia, tidak bisa sedetikpun mempercepat perjalanan kita.
Jadi, tidak heran bahwa kesabaran adalah salah satu buah roh yang diharapkan ada pada orang beriman. Bersabar pada kehidupan, bersabar pada Tuhan, memberikan ruang kepadaNya agar bisa menyiapkan segala sesuatunya dengan sempurna. Niscaya, perjalanan hidup Anda akan terasa indah, semuanya bergerak secara sinkron, bahkan ada waktu untuk foto-foto sebagai kenang-kenangan. Berilah ruang padaNya untuk bekerja, dan bersabarlah!
Kedoya, 7 September 2011
Wednesday, August 24, 2011
Hidup Cuma Sekali, Buatlah Berarti!
“I have been crucified with Christ and I no longer live, but Christ lives in me. The life I now live in the body, I live by faith in the Son of God, who loved me and gave himself for me.”
Galatia 2:19-21
Saya tertegun ketika kemarin menonton serial ‘Cops’ di televisi, yang mengisahkan kerja polisi-polisi di Amerika Serikat sehari-hari. Setelah panggilan 911 dari sebuah rumah, polisi yang langsung ke lokasi mendapati seorang ibu yang berteriak-teriak di depan rumahnya membawa pistol. “I don’t want to live, I want to die!” teriaknya. “I can’t live with this anymore. It’s not my problem. It’s your problem. I want to die. Just with one pull of the trigger, I’m dead, and it’s all over!” teriaknya. Ibu berusia 60 tahun ini rupanya punya pacar seorang pria berusia 50-an tahun, yang memiliki anak pecandu narkoba. Sang ibu kesal dengan perilaku pacarnya yang terus membela anaknya. Ia merasa tidak dihargai. Ia depresi. Itulah sebabnya, ia berdiri di rumahnya dengan pistol yang terarah ke kepalanya sendiri.
Peristiwa berikutnya seperti sebuah drama. Sang ibu tiba-tiba mau masuk ke rumahnya. Kuatir beliau menembak orang lain, polisi kemudian menembaknya dengan peluru karet. Dor! Dor! Letusan senjata menyalak, sang ibu jatuh ke lantai bersimbah darah. Pistolnya terjatuh. Polisi kemudian berlari menghampirinya. “Oh my God, it hurts!” kata sang ibu. Kini ia merintih kesakitan. “It hurts! Why did you shoot me? Why? I didn’t want to shoot anybody! Oh my left eye hurts! Why did you shoot me?” begitu kata si ibu, yang sekarang menunjukkan kemarahan pada polisi. Polisi yang bertugas hanya tersenyum masam.
Itulah manusia. Beberapa menit yang lalu, si ibu berteriak ingin mati. Ia mengarahkan moncong pistol ke kepalanya. Ia sudah yakin, kematian adalah jalan terbaik – walaupun ia sendiri tidak tahu apa itu kematian. Ternyata, baru kena peluru karet saja, ia berubah pikiran! Baru berdarah sedikit saja, baru terasa sakit karena luka saja, ia sudah merintih, kesakitan, mohon ampun, bahkan menyalahkan polisi yang menyelamatkan nyawanya. Bukankah ia tadi ingin mati? Ya – tapi ia tidak tahu bagaimana rasanya mati. Baru luka sedikit saja, wajahnya berubah. Ia ingin hidup sekarang.
Pagi tadi, saya menerima berita mengejutkan. Adik dari sahabat karib saya, seorang atlet sepak bola yang rajin olah raga dan berbadan kekar, mendadak pingsan dan meninggal dunia sesudah main futsal. Umurnya baru 20-an, dan langsung menjadi pukulan kesedihan bagi seluruh keluarganya. Bagaimana bisa terjadi? Ia paling sehat diantara seluruh keluarganya, perutnya six-pack, olahraganya rajin dan bahkan profesinya adalah olahragawan. Bagaimana mungkin, hanya dalam hitungan menit, nyawanya bisa melayang? Hidup dan mati memang misteri.
Tapi, saudaraku, jangan bilang hidup hanya menunggu mati. Karena, hidup itu berarti! Kita cuma hidup sekali, dan kita harus membuatnya berarti, bukan? Ketika kita mati, kita sudah tidak punya kesempatan lagi untuk berubah atau melakukan sesuatu. Yang sudah terjadi tetap terjadi, dan kita akan bersatu penuh denganNya. Namun, untuk kita yang masih hidup, kita masih punya kesempatan di dunia ini. Masih bisa berbuat lebih baik lagi, bisa berkarya lebih banyak lagi, bisa menghasilkan lebih banyak lagi kebahagiaan. Apapun masalahnya, apapun kesulitannya, seberapa berat pun bebannya, saudaraku, selama nafas masih ada, hidup masih kita rengkuh, maka kesempatan masih ada. Masih ada waktu, untuk berkembang menjadi lebih baik, lebih indah, berbuah lebih banyak.
Jadi, jangan sekali-kali memikirkan untuk mengakhiri hidup Anda, seberapapun berat permasalahannya. Lebih baik Anda pindah ke sebuah pulau, bawa uang satu koper, lalu buka lahan dan memulai hidup baru, jauh dari kehidupan Anda yang lama. Ingat si ibu tadi, betapa sombong dia di depan kematian, tetapi ketika bersentuhan dengan rasa sakit saja, ia sudah mengkeret. Barulah makna kehidupan muncul di matanya. Ingat, hidup cuma sekali. Buatlah berarti!
Kedoya 24 Agustus 2011
Friday, August 19, 2011
Mengenal Jahja Daniel Dharma Alias John Lie
“Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu”
Matius 11:28
Jahja Daniel Dharma adalah sosok yang cukup unik. Beliau lahir di Manado, 9 Maret 1911. Akrab dengan laut sejak kecil membawa John Lie menjadi seorang anggota angkatan laut Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang kemudian bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia. Melalui buku biografinya terbitan Yayasan Nabil, kita dapat mengenal kisah pribadi yang teguh imannya dan kuat semangatnya ini secara lebih mendalam.
John Lie memegang peranan penting dalam masa perjuangan: memasok senjata bagi para pejuang di Indonesia. Perlu diingat bahwa pada masa itu Indonesia tidak bisa memproduksi senjata sendiri, sehingga amunisi dan persenjataan gerilyawan harus dipasok dari luar. John Lie, seorang nakhoda yang piawai, kemudian mengoperasikan sebuah kapal kecil yang ia beri nama “The Outlaw”. Dengan keahlian maritimnya, John Lie membawa “The Outlaw” bolak-balik melalui pesisir Timur Pulau Sumatera dari Medan dan Aceh ke Singapura dan Malaka, untuk mengirim senjata. Ia bukan membeli senjata dan menjualnya lagi, melainkan bertugas mengirimkan senjata ke Indonesia.
Tugas ini tidak mudah. Sampai hari ini, Selat Malaka adalah selat perbatasan 3 negara yang paling banyak dipatroli oleh kapal-kapal angkatan laut ketiga negara. Jaman dulu pun begitu: mudah ditebak bahwa senjata gerilyawan RI pasti datang dari Singapura atau Malaka. Kapal-kapal fregat Belanda pun lalu-lalang disana, mencegat dan menghancurkan hampir semua kapal nelayan kecil seperti “The Outlaw” yang mengirim senjata membantu perjuangan Indonesia. Namun, “The Outlaw” tetap bertahan, bukan dengan senjata, tapi dengan iman.
Ya! John Lie adalah seorang Kristen yang sangat taat. Dalam buku dikisahkan betapa kapal kecilnya penuh dengan hiasan tulisan ayat dari Alkitab. Iapun selalu membawa Alkitab dalam perjalanannya, sehingga sempat dijuluki “The Smuggler With A Bible” – Sang Penyelundup dengan Alkitabnya. Sempat kapalnya mogok di tengah laut yang kelam, sementara fregat Belanda dengan sorotan lampunya mengintai sejak lama. Moncong senjata pun pernah terarah pada “The Outlaw”, namun senjatanya bisa macet dan John Lie bisa lolos. Sebuah petualangan yang hebat, penuh patriotisme dan keteguhan iman!
Yang hebat dari perjuangan John Lie adalah, tidak pernah ia meragukan Tuhan dan negaranya. Walaupun dilihat dari kacamata akal sehat, misinya adalah sebuah ‘mission impossible’ – menembus blokade Belanda dengan modal perahu nelayan kecil – tapi tak sekalipun John Lie ragu dalam melaksanakan tugasnya. Bisa saja John lie menyelewengkan uang yang diterimanya untuk membeli senjata, atau menjual senjata itu kepada orang lain. Namun, tidak pernah ia melakukannya. Dua hal jelas menjadi motornya: cintanya kepada Republik dan imannya kepada Tuhan yang tidak pernah goyah. Ketika beliau meninggal dunia tahun 1988, Presiden Soeharto ikut melayat. Dan ketika mendirikan gereja selalu menjadi masalah, pemerintah memberikan ijin bagi John Lie, yang sesuai anjuran pemerintah juga mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma – untuk mendirikan sebuah gereja GPIB. Gereja yang diberi nama GPIB ‘Yahya’ ini masih ada sampai sekarang di wilayah Grogol, berlokasi persis di sebelah sebuah masjid, melambangkan sebuah toleransi yang indah.
Masalahnya adalah, terlalu sedikit orang seperti John Lie. Sebuah autokritik bagi orang Kristen di Indonesia: orang Kristen mudah lantang bicara jika ditanya mengenai iman dan agama, namun lambat bertindak jika melihat kemiskinan atau keterbelakangan. Orang Kristen membangun gereja-gereja megah yang dikelilingi bedeng-bedeng orang miskin yang tidak memiliki rumah yang layak. Berapa banyak orang Kristen yang turut andil dalam pemerintahan, dirasakan jasanya oleh bangsa dan negara, atau terkenal karena kebajikannya? Terlalu sedikit. Kita seolah-olah memisahkan antara ‘agama’ dan ‘negara’ dalam pikiran kita, dimana ‘agama’ adalah urusan saya sementara ‘negara’ adalah urusan ‘mereka’.
Padahal, tidak seharusnya demikian bukan? Tuhan Yesus menjadi kontroversial pada jamanNya dan jaman sekarang bukan karena kecerdasanNya atau mukjijatNya, melainkan karena ketegasanNya dalam membela yang lemah, yang sakit, yang tertindas. Untuk merekalah kekristenan ada, dan dengan semangat yang sama pulalah, kita harus terus berjuang. Jangan berpangku tangan dan merasa cukup dengan gereja yang megah – tapi buatlah jasa dan tindakanmu dikenang oleh seluruh bangsa! Seperti Jahja Daniel Dharma, yang berhasil menjadi seorang Kristen sejati, kebanggaan bangsa dan negara Indonesia.
Tomang, 19 Agustus 2011
Thursday, August 18, 2011
Antara Tubuh Dan Jiwa Yang Merdeka
Exodus 16:3
“Therefore, say to the Israelites: ‘I am the LORD, and I will bring you out from under the yoke of the Egyptians. I will free you from being slaves to them, and I will redeem you with an outstretched arm and with mighty acts of judgment.
Exodus 6:6
Merdeka! Senang bukan menyebutkannya? Kata ‘merdeka’ dalam bahasa Indonesia tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris. Terjemahan Inggris hanya memiliki ‘independence’ yang berarti kemandirian, atau ‘freedom’ yang berarti kebebasan. Yang satu berarti bisa menentukan nasib sendiri, yang lain artinya bebas melakukan apa saja. Tetapi, ‘merdeka’ memiliki arti ‘mandiri’ dan ‘bebas’ sekaligus, bahkan lebih dari itu. ‘Merdeka’ juga berarti sederajat, setara, punya kehormatan dan harga diri yang sejajar. Beruntunglah bahasa Indonesia yang memiliki kata ini. Pantas saja, dulu kata ‘Merdeka’ terpampang dimana-mana dan membuat penjajah Belanda terpana – karena menerjemahkannya pun mereka tak bisa!
Tapi, apakah kita sudah memahami arti kemerdekaan yang sesungguhnya? Merdeka bukanlah sesuatu yang indah-indah saja. Merdeka, pada saat didengungkan oleh Bung Karno dan kawan-kawan pejuang pada tahun 1945, adalah sebuah ide gila. Bukankah hidup dibawah penjajahan Belanda itu indah? Lihatlah rel kereta api yang dibangun, jalan raya Anyer – Panarukan. Lihatlah Pelabuhan Sunda Kelapa yang megah, lihatlah bangunan kolonial di Batavia yang indah dan tak kalah dengan negeri Belanda. Lihatlah karya arsitektur art deco tropis dari Schoemaker, dari Vila Isola sampai Hotel Homann. Indah bukan? Ya! Lihatlah pesta dansa-dansi a la Belanda di Harmonie. Tak heran, gaya hidup ini dinamai Mooi Indie – Hindia yang Cantik! Lalu, untuk apa merdeka? Untuk apa bebas? Untuk apa mandiri? Bukankah kita hidup enak dibawah lindungan payung oranye Kerajaan Belanda?
Inilah pertanyaan yang sama yang diajukan oleh bangsa Israel. Sesudah Allah menunjukkan kuasaNya yang luar biasa, dengan memberikan sepuluh tulah kepada Firaun dan negeri Mesir, termasuk meluputkan bangsa Israel dari kejaran Mesir dengan membelah Laut Merah, bukan puji syukur yang Ia dapatkan. Bukan sujud sembah yang Ia terima. Melainkan justru bangsa Israel yang bersungut-sungut! Ya Tuhan, bukankah lebih enak dijajah Mesir? Disana banyak roti dan daging. Disana banyak air. Memang, bangsa Israel dijajah. Tapi, dijajah kan tidak selalu dipecut, bukan? Dijajah juga berarti dijamin oleh penjajah. Tidak perlu memikirkan makan, semua disediakan majikan. Tidak perlu memikirkan infrastruktur, semuanya dibangun oleh majikan. Tidak perlu pusing membeli senjata, perlindungan diberikan oleh majikan. Enak bukan? Kalau sekali-kali dipecut sampai mati, atau disamakan dengan anjing dan dilarang masuk ke kelompok elit, ya itu sudah resiko!
Bukankah kenyataan ini adalah sebuah ironi? Ya, ironi yang begitu nyata. Bangsa Israel, dan Bangsa Indonesia, tidak boleh lupa. Allah memang berjanji menganugerahkan kemerdekaan, seperti yang Ia sabdakan dalam Keluaran 6:6. Ia menjanjikan tanah perjanjian, dimana semua orang bisa hidup sama rata, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Namun, kemerdekaan itu mengandung tanggung jawab! Dengan merdeka, berarti suatu bangsa harus membangun segala sesuatunya sendiri. Suatu bangsa harus mencari makanannya sendiri, membangun jalan-jalannya sendiri, berperang sendiri, dan mempersenjatai diri sendiri. Dalam kisah keluarga bangsa Israel dari Mesir, terlihat berkali-kali bahwa walaupun bangsa Israel sudah keluar dari Mesir secara fisik, namun jiwa mereka masih jiwa bangsa jajahan. Pikiran mereka masih pikiran budak, padahal sudah merdeka. Mereka mau enaknya saja. Dibilang jangan makan manna hari Sabat, masih saja ada yang bandel. Diperintahkan menunggu diberi minum, masih saja bersungut-sungut. Bahkan, belum selesai Musa bercakap dengan Allah, mereka sudah membuat lembu emas dan memujanya! Namun, Allah dengan sabar namun tegas mendidik bangsa Israel untuk memerdekakan pikiran mereka, memerdekakan jiwa mereka. Kejam memang, dan butuh waktu 40 tahun sampai generasi bangsa Israel betul-betul merdeka. Bahkan Musa sendiripun tidak bisa masuk ke Tanah Perjanjian! Begitu kerasnya Allah mentransformasi jiwa sebuah bangsa, dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka. Karena, hanya bangsa merdeka sejati yang mengerti arti kemerdekaan, dan mengisinya dengan kemajuan dan kemakmuran!
Bangsa Indonesia kini sedang menempuh perjalanan yang sama. Lepas dari penjajahan Belanda, kita sudah secara fisik merdeka, namun mental kita masih mental negara jajahan. Kita kelimpungan mengatur keamanan, kesulitan mengatur produksi pangan, dan tertatih-tatih menata ekonomi. Hari-hari dibawah Orde Baru memang menawarkan kemajuan, namun akhirnya bangsa Indonesia jatuh lagi ke dalam penjajahan. Setelah reformasi, kita masih juga tertatih-tatih. Kita masih berusaha mengusir jiwa-jiwa terjajah, dan menggantikannya dengan pikiran-pikiran baru yang lebih bebas. Sudah banyak kemajuan! Seni dan budaya kini bisa dipraktekkan dengan bebas. Media pun bebas, setiap orang berhak dan layak berbicara. Indonesia menjadi negara yang toleran, dengan toleransi yang tidak dipaksakan, melainkan hadir dari lubuk hati setiap rakyatnya yang cinta damai. Bukan berarti tidak ada ancaman – ancaman selalu ada, namun Tuhan Allah senantiasa menyertai perjalanan bangsa kita.
Mengapa demikian? Tuhan kan tidak menurunkan manna untuk kita? Saudaraku, manna itu sudah turun. Dalam bentuk tanah yang subur. Dalam bentuk negara yang tetap bersatu. Dalam bentuk ekonomi yang bisa bangun sendiri tanpa campur tangan asing. Dalam bentuk setiap manusia Indonesia yang sambil tersenyum mengayuh becak atau mendorong gerobak, demi memutar roda ekonomi dan mencari sesuap nasi. Tidak ada negara selain Indonesia yang bisa selamat didera kerusuhan massal seperti 1998, krisis moneter dan melemahnya rupiah secara luar biasa, ataupun diinjak-injak oleh ego IMF yang ternyata lebih banyak membawa durjana daripada manfaat. Tapi, lihat kita sekarang! Berdiri tegak sebagai sebuah bangsa. Ekonomi kita sudah bangkit, bahkan bank-bank yang dulu begitu tinggi hati tahun 1998, sepuluh tahun kemudian meringkuk malu ketika kita tidak tersentuh krisis keuangan global berikutnya. Kita sudah selamat, melalui ancaman kiri dan kanan, tanpa campur tangan asing. Kita masih disini, saudaraku, adalah bukti kemuliaan Allah, penyertaan Allah atas bangsa ini.
Untuk itu, apa yang perlu kita lakukan selanjutnya? Mulailah berpikir dan bertindak seperti orang merdeka! Janganlah lagi berpikiran sebagai orang terjajah. Memerdekakan pikiran jauh lebih sulit daripada memerdekakan tubuh: ingat, Tuhan Allah hanya perlu waktu semalam untuk memerdekakan fisik Bangsa Israel dari Mesir, tetapi Ia butuh 40 tahun untuk memerdekakan jiwa mereka. Kita tidak perlu menunggu selama itu, karena prinsipnya sudah diberikanNya untuk kita pelajari.
Mulailah bertindak sebagai orang merdeka. Uruslah sandang, pangan, dan papan. Bangunlah jalan-jalan dan pelabuhan. Kobarkan semangat kemerdekaan melalui pidato, kata-kata yang menyegarkan, dan olah raga. Ingat, seperti yang Tuhan Allah lakukan, kita perlu ingatkan diri kita berulang-ulang, bahwa kita sudah merdeka. Terakhir, wujudkanlah kemerdekaan kita dalam peranan yang lebih aktif dalam percaturan hidup dunia. Tunjukkanlah, bahwa Indonesia – negara yang merdeka ini – selalu menjunjung tinggi asas kemerdekaan sejati, tanpa standar ganda dan kepentingan lainnya. Tunjukkanlah, bahwa toleransi dan kekeluargaan kita sudah menang melawan pertempuran panjang dengan ekstremisme dan individualisme. Tunjukkanlah, bahwa dengan senyum dan keringat, serta berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, kita sudah merdeka. Dan akan merdeka terus, sampai selamanya.
Tomang, 17 Agustus 2011
Cahaya Karunia
“And God said, ‘Let there be light,’ and there was light”
Genesis 1:3
Hal apakah yang pertama kali diciptakan oleh Allah, ketika Ia menciptakan alam semesta? Dalam kitab Kejadian, setiap orang yang pernah sekolah minggu pasti mengetahui bahwa Allah pertama kali menciptakan terang. Sebelumnya, kitab Kejadian melukiskan dunia sebagai gelap gulita, dan roh Allah melayang-layang diatas air, tetapi Allah belum menciptakan apa-apa. Ia kemudian menciptakan terang – kemudian memisahkan terang dari gelap, dan menamai yang terang sebagai siang, dan yang gelap sebagai malam.
Joseph Haydn, seorang komponis kelahiran Austria, pernah membuat komposisi yang diberi judul ‘The Creation’, yang melukiskan kisah penciptaan dalam Kejadian 1 sebagai sebuah komposisi musik. Salah satu episodenya berjudul ‘And then there was light’, sebuah deskripsi penciptaan cahaya lewat musik. Dari melodi awal yang sendu dan gelap, tiba-tiba bagian biola dan terompet memainkan sebuah melodi yang indah, lembut, dan mengalun hangat, menyejukkan hati yang suram. Musik ini bahkan sering digunakan di film-film kartun untuk menggambarkan bunga yang bertumbuh atau pagi yang merekah.
Ternyata, peristiwa ini bukan saja indah, tetapi juga masuk akal secara fisika. Albert Einstein, seorang ilmuwan jenius, mengungkapkan teori relativitas pada tahun 1960-an. Apa itu teori relativitas? Intinya, teori ini mengatakan bahwa semua satuan yang kita gunakan untuk mengukur, mulai dari kecepatan, suhu, panjang, atau bahkan waktu, adalah relatif. Ya – semuanya relatif dan hanya bisa diukur jika dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Contohnya adalah satuan waktu – satu detik. Seberapa lamakah satu detik itu? 1/60 dari satu jam? Lalu bagaimana kalau jam kita terlalu lambat atau terlalu cepat – padahal jam kita toh tetap berdetak? Untuk mendefinisikan satu detik, kita hanya dapat membandingkan dengan sebuah satuan yang lain, yakni 1 detik adalah 9192,631770 kali atom Cesium 133 mengalami transisi. Dengan demikian, satuan detik hanya bisa didefiniskan melalui pembandingan dengan hal lain – dalam hal ini transisi atom Cesium. Lalu, dengan demikian, haruslah ada satu konstanta universal yang konstan, bukan? Pasti ada sebuah angka konstan, basis untuk menghitung dan mengukur semua sifat alam semesta? Apakah konstanta itu menurut Einstein?
Cahaya. Ya! Kecepatan cahaya 3 x 108 m/detik, menurut Einstein, adalah konstanta universal. Kecepatan cahayalah konstanta universal itu – yang tetap nilainya dimanapun juga. Fakta ilmiah ini cocok dengan catatan Alkitab, bahwa Allah tidak menciptakan manusia, pelangi, atau api terlebih dahulu, tetapi cahaya terlebih dahulu. Karena, dengan adanya kecepatan cahaya, barulah semua sifat Alam Semesta bisa tercipta dan memiliki pembanding. Sebuah kenyataan bertemunya iman dan ilmu secara cantik!
Tomang, 16 Agustus 2011
Friday, August 12, 2011
Mukjijat-mukjijat Kecil
“Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta pada jalan hidupnya? Jadi, jikalau kamu tidak sanggup membuat barang yang paling kecil, mengapa kamu kuatir akan hal-hal lain?”
Lukas 12:25-26
Sadarkan Anda, bahwa kita sering mengalami mukjijat-mukjijat kecil? Saya pernah nyaris mendapat musibah ketika sedang menyetir mobil di daerah perkampungan saat mengunjungi pelanggan saya. Seorang anak kecil tiba-tiba menyebrang dengan kurang hati-hati, membuat saya tidak bisa menghindar dan akhirnya anak itu terserempet mobil saya. Bayangkan! Orang-orang kampung langsung menghentikan mobil saya, padahal saya tidak bermaksud untuk lari. Saat itu saya juga sedang bersama seorang tamu asing di mobil. Tapi, yang menjadi kekuatiran saya yang paling besar, bagaimana nasib anak kecil itu? Kalau sampai ada apa-apa, walaupun bukan kesalahan saya, pasti saya akan merasa sangat bersalah.
Ternyata, puji Tuhan! Sang anak, namanya Tasya, ternyata tidak apa-apa. Ia terjerembab ke aspal jalanan dan pingsan, tapi terkena benturan di daerah dahi yang tulangnya kuat, sehingga tidak ada gegar otak. Patah tulang pun tidak ada. Keluarganya Tasya, yang semula emosional, ternyata sangat baik dan tidak meminta uang sepeser pun. Sayalah yang kemudian menawarkan uang ala kadarnya, dan kami bersalaman baik-baik ketika saya antar Tasya kembali ke rumahnya dari Rumah Sakit. “Ini CT Scan otak dipajang di kamar Tasya ya!” kata saya. “Supaya ingat, hati-hati kalau menyeberang!”. Tasya pun tersenyum mendengarnya.
Bayangkan: kemungkinan Tasya tidak terluka mungkin 1 dari 1000. Ia bisa saja terjatuh di belakang kepala, tergilas mobil saya, atau mobil lain yang melintas di belakang saya. Tetapi, justru pada jam pulang kantor seperti itu, jalanan bisa kosong! Mukjijat bukan? Betul, ini adalah mukjijat.
Sadarkah kita, bahwa kita sering mengalami mukjijat? Teman saya yang seumur-umur tidak pernah berpacaran karena cueknya, ternyata menjadi orang pertama yang menikah diantara teman2 saya. Tiba-tiba saja seorang gadis membuatnya jatuh cinta, dan dengan sikapnya yang kaku kok bisa si gadis bisa membalas cintanya? Seorang teman yang lain lagi, sering diolok-olok karena gagap dan kurang nyambung bicaranya. Tapi, toh ada seorang gadis yang jatuh cinta padanya dalam sebuah seminar tentang perpajakan, dan sekarang sudah punya anak satu. Bagaimana mungkin semua itu terjadi? Mukjijat bukan? Bayangkan, setiap hari kita dihujani mukjijat!
Makanya, kita harus bersyukur dan berserah. Memang terkesan nasehat yang klise, tapi Tuhan adalah Sang Sutradara. Ia sangat ahli membuat skenario, merancang yang indah-indah untuk anak-anakNya. Jadi, jangan kuatir, apalagi sok menjadi yang paling pintar dan paling tahu. Belum-belum sudah berpikir, “Saya pasti gagal!” atau “Saya tidak punya harapan lagi!” atau “Lebih baik mati saja!”. Nanti dulu! Masakah Tuhan capek-capek menciptakan kita dan membimbing kita sampai sekarang ini, hanya untuk sebuah sad ending? Sabarlah. Berjuanglah sedikit lagi. Mukjijat sudah di depan mata – dan happy ending adalah jaminanNya!
Tomang, 12 Agustus 2011
The Fruits of the Spirit
“Those who belong to Christ Jesus have crucified the flesh with its passions and desires”
Galatia 5:24
In Galatians 5:19 and 5:22, The Apostle Paul explains about the fruits of the flesh and of the spirit. Paul is very graphic in explaining the fruits, or results, of living in flesh. In verses 19-22, Paul lists “sexual immorality, impurity and debauchery, idolatry and witchcraft, hatred, discord, jealousy, fists of rage, selfish ambition, dissessions, factions and envy, drunkenness, orgies, and the like” as acts of flesh. In verse 22-23, Paul lists “love, joy, peace, forbearance, kindness, goodness, faithfulness, gentleness and self-control” as the fruit of the Spirit.
Paul’s advise here is very simple, but can also be frustrating. Okay, we don’t do witchcraft. But what about hatred? Jealousy? Fists of rage? We do this every day. We feel angry several times in a day, even if we promised God in the morning not to do so. Discord, selfish ambition – we face these feelings daily. Is it possible to free ourselves completely from these mortal feelings? Never angry, never jealous, always loving and faithful? If not, then what’s the point of doing something that’s impossible?
You see, Paul here is not talking about personal impulses. Paul is talking about a lifestyle. He does not say we can’t be angry or jealous. We’re only humans! What he says is, we should stop being angry all the time, making it into our lifestyle. Personal impulses happens naturally: we feel angry if someone steps on our foot. Of course! It hurts! Now, that is normal. But we can control how we react to it, can’t we? One, by shouting and hitting the person who steps on our foot, making sure he feels more pain than we do, or... politely asks him or her to move his/her feet, and then perhaps you’ll get to know a new friend! Paul is not talking about impulses. Paul is talking about how we should react to these impulses. Whether we let it grow and nurture it, or do we change it into something better.
Love, joy, peace... it’s everyone’s dream, isn’t it? Yes. But why can’t everyone have it? Well, it’s a decision thing again. You think that someone like Amy Winehouse will be happy because of her success, money, and fame. You think that Kurt Cobain should be a wealthy and happy man. We all know that’s not the case. We also know their lifestyle. Having personal impulses is not the problem. The problem is how we react to it.
If we react to it in a negative way, then no matter how much the Lord bless us, the fruits are always bad. But if we react to it in a positive way, then even in the darkest days of our life, the fruits will be sweet. It’s a lifestyle that we have to choose. And Paul reminds us to choose our lifestyle. Do you want to have all those good things listed on verse 22-23? They come from your decision, not dropped from Heaven. So, choose well, and wear the fruits of the spirit as your lifestyle!
Wednesday, August 10, 2011
Bahasa Kristen, Bahasa Manusia Baru
"Sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera”
Efesus 2:15
Agama Kristen adalah suatu agama yang unik. Karena, agama Kristen bukan terdiri dari peraturan-peraturan. Akibatnya, agama Kristen sering terlihat kurang ‘keren’, karena tidak memiliki aturan tertentu yang harus ditaati dan menjadi ciri khas yang bisa dibanggakan. Sebagai perbandingan, agama Sikh misalnya, memiliki peraturan bahwa kaum pria dilarang memotong rambutnya, sehingga penggunaan turban menjadi ciri khas penganut Sikh. Namun, orang Kristen tidak memiliki peraturan seperti ini. Tidak ada pakaian, atribut, atau ciri fisik tertentu selain beribadah di gereja pada hari Minggu, yang bisa menjadi ciri orang Kristen. Mengapa demikian?
Jawabannya adalah karena agama Kristen bukanlah sebuah kumpulan peraturan menuju Surga, melainkan sebuah gaya hidup. Kekristenan adalah seperti sebuah bahasa. Kalau kita membaca kalimat: ‘Tuti pergi di pasar’, kita langsung tahu, bahwa ada kesalahan dalam kalimat itu. Kata ‘di’ tidak masuk akal, harusnya diganti ‘ke’. Mengapa? Karena di adalah kata pengantar lokasi, sedangkan ke adalah kata pengantar tujuan. Dengan kalimat ‘Tuti pergi ... pasar’ berarti pasar adalah tujuan, dan ‘ke’ lebih tepat daripada ‘di’. Mungkin kita tidak tahu, mengapa ‘di’ dan ‘ke’ salah secara bahasa. Tetapi, kita bisa merasakan bahwa kata-kata itu salah. Kesalahan tersebut terasa lebih sebagai sebuah intuisi, daripada sebuah peraturan yang dilanggar.
Kekristenan adalah seperti sebuah bahasa. Saya yakin, kebanyakan dari kita sudah lupa soal teori linguistik Bahasa Indonesia: MD, DM, subjek-predikat-objek, dan lain-lain. Tetapi, kita toh bisa menggunakan Bahasa Indonesia dengan benar, karena kita menggunakannya. Kita tahu cara menggunakannya, walaupun tidak tahu teorinya. Itulah Kekristenan. Kekristenan adalah gaya hidup, intuisi, bukan satuan peraturan. Jika menghadapi suatu masalah, orang Kristen tidak melihat dalam buku petunjuknya dan mencari peraturan yang sesuai, melainkan berdiam diri dan merenung, mencari jawaban Tuhan. Orang Kristen tidak membaca kitab sucinya siang malam, tetapi berdoa dan mencari jawaban Tuhan dalam setiap persimpangan.
Jadi, jika kita menghadapi persoalan, bukanlah peraturan yang dicari. Bukan juga benar/salah atau boleh/tidak boleh. Melainkan, jika Yesus ada disini, apa yang Ia lakukan? Menghukum? Memaki? Mencaci? Atau mengampuni? Mengasihi? Menyembuhkan? Maka kita akan makin pandai berbicara dan bertindak dalam ‘bahasa Kristen’ – bahasa kehidupan kita. Singkat kata, menjadi ‘manusia baru’ – seperti tertulis dalam perikop diatas.
Tomang, 10 Agustus 2011
Tuesday, August 09, 2011
Berpikir Positif
“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu”
Filipi 4:8
Banyak motivator-motivator kini mengajarkan betapa pentingnya memiliki pikiran positif. Ada yang mengajarkan, bahwa setiap pagi kita harus berdiri di depan kaca, lalu berkata pada diri sendiri: “Aku bisa! Aku bisa!” dan seterusnya. Sebuah trik yang mudah, namun seringkali terlupakan oleh kita. Apa yang dirubah dengan teknik ini? Fisik? Keberuntungan? Bukan: hanya pikiran saja. Dan jika kemudian hari-hari kita menjadi lebih baik, lebih positif, itu karena pengaruh pikiran positif!
Saya punya kebiasaan jelek untuk bangun siang. Untuk berangkat kerja jam 8 siang, saya bangun 7.30. Memang, kantor saya dekat sekali dengan rumah. Tapi, tetap saja waktu 30 menit menyebabkan saya terburu-buru. Terburu-buru bangun, lalu mandi, bersiap-siap, lalu jalan ke kantor. Sampai kantor pun selalu terlambat. Herannya, seharian penuh saya jadi terburu-buru! Tugas satu belum selesai, ditimpa tugas lainnya, lalu harus pergi ke pelanggan. Satu belum selesai, yang lain sudah menunggu. Akhirnya saya pulang dengan napas terengah-engah, larut malam. Karena, semua serba terburu-buru. Stress pun meningkat.
Lalu saya mendengar tips di radio, bahwa dianjurkan untuk bangun lebih pagi. Ya! Jangan selalu terancam waktu terlambat. Bangun lebih pagi, datang kantor lebih pagi. Konon, dengan demikian, perasaan terburu-buru bisa dihilangkan, dan kita menjadi lebih tenang. Ah, masak sih? Sayapun mencobanya. Ternyata benar! Saya bangun jam 6.30, lalu menulis renungan. Lalu mandi, dan seterusnya. Eh, kok hari saya tidak terburu-buru lagi! Jam 7.45 sudah sampai kantor. Tugas bisa selesai dengan baik. Heran ya? Itulah teman, kekuatan pikiran! Hanya karena sejak pagi saya berpikir “Tenang saja, saya tidak terlambat, masih ada waktu”, seharian hidup saya lebih tenang!
Alkitab sudah mengajarkan pikiran positif sejak dulu kala. Dalam Filipi 4:8, ada sebuah nasehat dari Paulus yang sederhana namun manjur. Bagaimana menghadapi macetnya Jakarta? Bagaimana menghadapi pelanggan yang rewel? Bagaimana menghadapi motor-motor yang berseliweran, memotong jalan seenaknya? Atau polisi haus darah yang menunggu di setiap perempatan? Jangan berpikir akan membacok motor-motor itu atau membakar metromini yang tadi nyaris menyerempet Anda. Pikirkanlah, betapa naik motor itu tidak nyaman, betapa jadi polisi itu pekerjaan yang sangat sulit, betapa menjalankan metromini itu serba rugi. Kemudian, Anda akan merasa lebih beruntung, bisa naik mobil, bisa punya pekerjaan seperti sekarang ini. Lalu, tersenyumlah! Meskipun motor tetap ada, Metromini tetap ada, polisi juga tetap ada, niscaya hari-hari Anda akan lebih indah.
Tomang, 9 Agustus 2011
Monday, August 08, 2011
Sorga Yang Berharga
Matius 13:45-46
Di dalam Istana Terlarang di Beijing, China, ada sebuah batu besar yang dikenal dengan nama “batu orang miskin”. Mengapa demikian? Karena, konon gara-gara sebongkah batu yang indah itu, seorang kaya jatuh miskin. Alkisah, ada seorang kaya yang mencintai seni batu alam (suiseki). Suatu hari, ia menemui sebuah batu berukuran besar (tinggi kira-kira 2 meter, ukuran 2 x 2 meter) di tengah hutan yang sangat indah bentuknya. Ia langsung jatuh cinta dan ingin memindahkan batu itu ke rumahnya.
Tantangannya adalah, ia harus mengeluarkan banyak uang untuk mengangkut batu itu saking berat dan besarnya. Berbulan-bulan berlalu, batu itu belum sampai juga ke rumahnya, sementara uangnya habis. Iapun jatuh miskin, dan batu itu teronggok begitu saja di tengah jalan. Sampai suatu hari Kaisar lewat, dan ia heran bagaimana sebuah batu indah teronggok begitu saja. Setelah mendengar kisahnya, Kaisarpun memerintahkan agar batu itu dibawa ke istananya.
Perumpamaan ini bukanlah sebuah petunjuk ‘how to’, sehingga jangan diartikan begini: untuk Kerajaan Allah saya harus menjual semua harta saya dan jatuh miskin. Bukan, bukan itu. Perhatikan bahwa pelaku cerita dalam perikop ini tidak merasa terpaksa. Ia adalah seorang pedagang, yang pasti banyak koleksi barangnya. Lalu, ia mencari dan menemukan sebuah mutiara yang indah. Lalu, ia jual seluruh miliknya, untuk membeli sebiji mutiara ini.
Absurd bukan? Tetapi, banyak kejadian seperti ini terjadi. Sebuah rasa bahagia, rasa cinta, yang begitu polos, begitu besar, menghampiri jiwa seseorang sehingga semua miliknya seolah tidak berarti lagi baginya. Sebuah obsesi! Ya – Kerajaan Sorga akan membuat kita terobsesi. Karena, begitu kita mengenal Tuhan Yesus, kita paham betul akan nilainya yang sangat tinggi. Kita merasa layak menjual semua milik kita – tanpa dipaksa – demi Kerajaan Sorga. Padahal, untuk orang yang tidak mengerti, Kerajaan Sorga terlihat seperti mutiara saja – bagus sih bagus, tapi masak begitu sih? Namun, hanya sang pedagang yang bisa mengerti nilai dan keindahan Kerajaan Sorga. Dan percayalah, sang pedagang tidak merasa rugi!
Tidak percaya? Coba tanyakan pada kolektor lukisan yang membeli sebuah karya Ay Tjoe Christine seharga Rp 1.5 milyar, atau kolektor patung yang membeli karya Heri Dono senilai Rp 2 milyar lebih di pameran lukisan di Jakarta yang baru saja usai. Mereka bukan gila, melainkan berada pada satu pemahaman yang lain mengenai seni, yang begitu mendalam, dan membuat mereka kagum sampai-sampai bisa merogoh kocek begitu dalam untuk sebuah karya seni. Jadi, obsesi ini nyata dan ada. Demikian pula Kerajaan Sorga!
Apakah Anda merasakaan Kerajaan Sorga sepenting itu? Kalau belum, teruslah mencari. Teruslah mendalami Alkitab dan Firman Tuhan, niscaya matamu akan dibukakan dan keindahan Kerajaan Sorga akan terasa dalam hati.
Tomang, 8 Agustus 2011
Sunday, April 24, 2011
Tuhan Itu Baik!
Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu,
Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat!”
Mazmur 103:2-4
Kawan, saya dan banyak orang lain seringkali lebih banyak mengeluh kepada Tuhan daripada memuji. Lihat saja blog ini, dan banyak blog-blog saya lainnya. Semuanya penuh dengan desahan, keluhan, helaan napas panjang, dan kesesakan. Padahal, kalau Anda bertemu saya dalam kehidupan sebenarnya, maka Anda akan heran. Saya orang yang beruntung! Sangat beruntung. Begitu pula Anda. Sadarkah Anda, bahwa Tuhan sudah begitu baik terhadap saya? Bahwa Tuhan sangat sayang sama saya? Bahwa Ia selalu menyediakan yang terbaik untuk saya?
Bayangkan, dua tahun lalu, saya adalah seseorang yang sangat kesepian. Saya berada sendirian di luar negri. Saya memang bergelimang harta dan kesuksesan: pekerjaan sedang bagus, karir saya naik, dan pekerjaan saya sangat menarik. Namun, hati saya merasa sangat kesepian. Saya merasa sedih melihat orang-orang seumur saya yang sudah berkeluarga, yang sudah punya momongan. Saya merasa kesepian, di sebuah apartemen yang mewah tetapi kosong, hanya saya sendiri isinya. Karena saya diluar negri, kesepian ini semakin menjadi, karena saya jauh dari teman dan keluarga. Lalu, di dalam kesepian itu, saya berdoa kepada Tuhan. Tuhan, berikanlah saya jalan keluar!
Dan kemudian jalan keluar itu terjadi juga. Butuh waktu memang, dan Ia selalu menunggu sampai saya pasrah. Ketika saya sudah berada di titik dimana saya tidak bisa berdoa dengan kata-kata lagi, saya hanya terdiam di hadapanNya. Karena apa yang harus saya minta? Saya sendiri tidak tahu solusinya. Saya tidak bisa bilang ‘Lakukanlah A ya Tuhan, maka masalah saya selesai!’. Tidak. Semua begitu rumit sampai-sampai saya hanya bisa berdiam saja. Dan, kemudian, Tuhan bertindak!
Dalam kepasrahan saya memutuskan untuk keluar dari perusahaan yang sudah saya ikuti selama 9 tahun. Saya sendiri belum paham benar mengapa, tapi satu tekad saya: saya harus pulang! Dan Tuhan pun, pada saat itu, menganugerahkan kepada saya sebuah pekerjaan baru. Pekerjaan baru ini sungguh luar biasa, sebuah solusi yang tepat untuk saya. Dengan benefit yang bagus, perusahaan kecil, di sebuah bidang usaha yang memang sedang berkembang, dengan lingkungan yang sangat dekat satu sama lain. Luar biasa bukan? Dari ratusan CV yang saya kirim, hanya satu yang memanggil untuk wawancara. Dan yang satu itu, adalah yang tepat untuk saya! Persis dalam waktu 1 minggu, dimana saya memang hanya berada di Indonesia 1 minggu itu. Luar biasa bukan?
Dan, sekarang saya baru tahu, bahwa posisi HRD Manager di perusahaan baru sayapun ternyata sama: beliau juga sudah pasrah. Beliau sudah pasrah karena setiap hari ditekan oleh atasannya untuk mencari pengganti seorang pegawai yang mendadak keluar, dalam kondisi dimana perusahaan sangat membutuhkan pegawai baru. Beliau pun sudah pasrah, menjawab “Ya, minggu depan ada kandidat bagus!” pada atasannya, tanpa satu kandidat pun di tangan. Pada saat itulah, lewat tengah malam, ketika ia sudah pasrah, ia menarik resume saya. Sementara saya, ribuan kilometer di negeri orang, pada saat yang sama, membulatkan tekad untuk kembali pulang. Seminggu kemudian, kami bertemu dalam sebuah wawancara kerja! Seminggu setelah itu, saya memtuskan pindah. Luar biasa bukan? Betapa Tuhan mampu mengatur sedemikian indahnya, sehingga dua orang yang pasrah yang terpisah ribuan kilometer bisa bertemu!
Lalu, Tuhan mulai mengatur hidup saya kembali. Ia memberikan solusi yang sulit namun memberi saya kekuatan untuk melaluinya. Ia mengatur supaya kerja saya di perusahaan baru bisa berjalan baik, Ia menyediakan bisnis yang sedang berkembang sehingga saya punya waktu untuk kehidupan pribadi saya. Ia mempertemukan saya dengan seseorang yang kemudian mewarnai hari-hari saya, sehingga hidup terasa lebih berarti. Bahkan sekarang ini, dalam keadaan kehidupan rohani yang sangat kering, tiba-tiba kantor saya mengadakan persekutuan. Puji Tuhan! Bahkan pada saat saya butuh pengajar rohani, pada saat saya tidak bisa menemukan persekutuan di gereja, Ia menyediakan persekutuan untuk saya. Sebuah anugrah yang luar biasa bukan? Malu hati rasanya, mengingat betapa sering saya mengeluh kepadaNya.
Namun, memang ada satu hal yang belum terwujud: mengenai pasangan hidup. Mengenai ini pergumulan saya cukup berat, namun juga perlahan-lahan semakin membaik. Dari semula bersemangat, kecewa, ngotot, lalu kemudian apatis, kini saya pasrah. Saya terus bertanya pada Tuhan, Tuhan, apakah ini orangnya? Jika ya, puji Tuhan, ini adalah anugerahNya yang terindah! Dengan kepasrahan ini, saya tidak terfokus pada satu orang, namun memfokuskan diri kepadaNya. Ya Tuhan, jika Ia jodohku, dekatkanlah Ia padaku! Tetapi jika bukan, biarlah yang terbaik Tuhan, yang Engkau pilih! Dan warna itu pun kini mewarnai hari-hari saya. Puji Tuhan!
Memang, masa-masa ini cukup berat. Satu hal utama yang menjadi pokok doa saya sejak saya masih di luar negri belum tercapai: keinginan untuk berkeluarga. Namun, sebuah kalimat dalam lagu yang kami nyanyikan dalam persekutuan Jumat lalu, membuat saya tercekat. Air mata menggenang di mata saya, suara tidak bisa keluar, diganti isakan tangis yang seolah tumpah ruah ke dalam relung hati yang paling dalam. Kalimat sederhana itu berbunyi:
“Takkan Kubiarkan engkau berjalan sendirian!”
Amin, Tuhan Yesus, amin! Terpujilah namaMu selama-lamanya!
Selamat merayakan Paskah!
Monday, April 04, 2011
Ketika Tuhan Membisu
Yohanes 19:10-11
Dalam suasana Paskah seperti sekarang ini, kita diingatkan kembali oleh sebuah film controversial yang disutradarai oleh Mel Gibson dan dibintangi oleh James Carviziel, berjudul “The Passion of Christ”. Film ini controversial sekaligus indah karena menyajikan gambaran visual dalam bentuk film mengenai peristiwa Paskah, mulai dari penangkapan Tuhan Yesus, proses pengadilannya baik di hadapan Mahkamah Agama maupun di hadapan Pilatus, kemudian peristiwa penyaliban, sampai Ia bangkit dari kubur di hari ketiga. Film ini controversial baik karena sudut pandang yang diambilnya maupun dari sinematografinya, yang menunjukkan banyak sekali kekerasan, darah, dan kekejaman. Film ini seolah mengingatkan kita kembali mengenai apa yang disebut ‘penyaliban’ itu sebenarnya: bukan sesuatu yang agung, megah, apalagi cantik, melainkan sebuah proses yang keji, penuh darah, dan mengerikan.
Namun, menarik merenungkan komentar rekan yang bukan beragama Kristen setelah menonton film ini. Beliau bertanya dengan polos: mengapa Tuhan-nya umat Kristen begitu lemah? Bayangkan, sesosok Tuhan bagi sebuah agama biasanya melambangkan kekuatan, keperkasaan, dan kemenangan. Tapi, kisah Tuhan Yesus dalam penyalibanNya justru sebaliknya: Tuhan umat Kristen ditunjukkan selalu dalam keadaan terpojok, terdesak, disiksa, dan tak berdaya. Bahkan, Tuhan Yesus digambarkan hanya diam saja. Ia tidak membalas tuduhan Imam Besar dengan retorika dan pidato berapi-api, tidak menguliahi Pilatus dengan khotbah yang jenius, dan tidak berusaha berpidato di hadapan rakyat banyak supaya mereka berbalik mengeroyok Imam Kelapa dan Ahli Taurat. Apakah Tuhan Yesus tidak bisa melakukan hal itu? Pasti bisa! Ia pernah mengucapkan Sabda Bahagia pada khotbah di sebuah bukit yang berhasil mencengangkan ribuan orang. Ia pernah membuat Ahli Taurat kehilangan kata-kata ketika Ia menyembuhkan seorang sakit pada hari Sabat. Ia pernah menyembuhkan anak seorang prajurit Romawi. Ia bahkan pernah membalikkan meja-meja dagang di Bait Allah. Ia bisa dengan mudah menjawab tuduhan dan fitnahan terhadapNya dengan khotbahNya yang jenius. Walaupun Ia tidak menurunkan malaikat untuk menolongNya, bisa saja Ia melawan, berdebat, atau berperang dengan musuh-musuhNya. Toh, Ia tidak melakukannya. Ia hanya diam. Menghadapi fitnah keji, cacian, ludahan, pukulan, hinaan, dan cambukan. Ia hanya diam, dan diam.
Kadangkala kita merasa Tuhan berlaku seperti itu dalam kehidupan kita. Ia diam seribu basa. Ia tahu persis kita sedang dalam keadaan terpuruk. Ia mengerti benar kita sedang berusaha merangkak keluar dari kubangan permasalah kita. Ia bisa melihat dengan jelas, betapa dengan membuka satu pintu itu, Ia bisa menolong kita. Menyelamatkan kita dari masalah, memberikan kita kebebasan dan kelegaan. Ia bisa mengangkat kita, memberikan kita kesuksesan dan keberhasilan sehingga kita bisa bahagia. Kita bisa gembira, keluar dari belitan masalah yang bertubi-tubi. Namun, Ia tidak melakukan itu. Ia hanya terdiam, diam seribu basa. Kemudian kita menangis di sudut ruangan, sambil bertanya: Tuhan, mengapa Engkau membisu? Mengapa Engkau diam, tidak menjawab semua pertanyaan dan tuduhan yang diberikan kepadaMu?
Tanpa sadar, kita sudah menjadi Pilatus dalam perikop diatas. Menjadi Pilatus, yang bertanya kepada Tuhan Yesus: mengapa Engkau diam? Dalam merenungkan kisah Paskah, kita semua tahu, mengapa Tuhan Yesus terdiam. Ia terdiam karena Ia tahu apa yang akan terjadi. Ia Maha Tahu, bahkan di Taman Getsemani ia sudah bisa melihat apa yang akan terjadi, apa yang harus dilaluiNya untuk menjadi Juruselamat manusia. Pandangannya jauh ke depan: manusia di sekitarnya hanya bisa melihat 30%, sementara Ia memiliki pandangan 100%. Ia tahu, bahwa Ia harus disalibkan, mati dan dikuburkan, dan bangkit pada hari ketiga. Ia tahu, bahwa hanya dengan cara inilah Iblis bisa dikalahkan, dosa bisa dipulihkan, dan manusia bisa diselamatkan. Ia tahu, inilah satu-satunya jalan keselamatan manusia, dan Ia memiliki kasih yang luar biasa sehingga Ia rela mati untuk menyelamatkan umat manusia. Betapa berat perjalanannya – bayangkan, di Taman Getsemani Ia sudah bisa melihat betapa Ia akan disiksa, dicambuk, dipaku, dibunuh! Itulah sebabnya Ia menangis sampai berdarah. Namun, kita semua paham, bahwa kematian dan kebangkitanNya kemudian menjadi titik awal keselamatan manusia. KebangkitanNya membawa sebuah kehidupan baru, dimana dosa dikalahkan dan maut dibekuk.
Mengapa Ia diam? Karena Ia lebih tahu. Ia lebih paham. Ia diam, karena Ia sedang mempersiapkan sesuatu. Tidak ada gunanya berbicara, sehingga Ia diam. Tetapi Ia bekerja: menekan perasaanNya, membiarkan nubuatan terjadi. Ia bertekun, dan kemudian menang dengan gemilang. Hidup kita, adalah pada titik manusia-manusia di sekitar Tuhan Yesus sebelum Ia disalib. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Dan kita melihat Ia diam, diam seribu basa. Menghadapi fitnah, menghadapi cambukan, menghadapi cacian. Kita menghadapi masalah, kita menunggu cinta, kita terbelenggu hutang, kita diberondong sakit penyakit. Tetapi Ia diam.
Namun, diamNya bukan berarti Ia menyerah. DiamNya adalah diam yang dalam, dimana Ia sedang bekerja, menyiapkan sebuah rencana kehidupan yang indah bagi kita. Mungkin sulit kita memahami apa yang kita alami saat ini, karena kita hanya memiliki 30% informasi mengenai situasi kita. Namun percayalah, bahwa Ia mengenal kita dan situasi kita 100%. Ia bisa melihat jauh ke depan, memilih apa yang terbaik bagi kita, dan menyiapkan segala sesuatunya untuk kebaikan kita, karena kasihNya. Lalu, apakah yang kita bisa lakukan dalam penantian yang seolah tiada akhir ini?
Apa yang bisa kita kerjakan selain menangis dan meratap? Lakukanlah seperti apa yang Tuhan Yesus lakukan di Taman Getsemani. Berdoalah, untuk orang-orang terdekat, untuk masalah kita. Berdoalah, agar kita diberi kekuatan, supaya cawanNya, yang harus kita minum, segera berlalu. Supaya kita kuat dan sabar menghadapi penantian ini. Supaya kita diberi kekuatan untuk bertekun dan menunggu, tidak kehilangan akal atau iman kita. Supaya kita menyaksikan Tuhan Yesus yang diam dengan hati teguh, bahwa rencanaNya-lah yang terbaik untuk kita. Niscaya Allah akan mengirimkan malaikatNya untuk menghibur kita, dan kita akan dikuatkanNya.
Amin.
Tomang, 4 April 2011
Wednesday, February 16, 2011
Memahami Pikiran Tuhan
1 Then Job replied to the LORD:
2 “I know that you can do all things; no purpose of yours can be thwarted.
3 You asked, ‘Who is this that obscures my plans without knowledge?’
Surely I spoke of things I did not understand, things too wonderful for me to know.
4 “You said, ‘Listen now, and I will speak; I will question you, and you shall answer me.’
5 My ears had heard of you but now my eyes have seen you.
6 Therefore I despise myself and repent in dust and ashes.”
Job 42:1-6
Stephen Hawking adalah seorang fisikawan jenius dan terkemuka di dunia. Beliau memegang posisi Lucasian Professor of Mathematics di Universitas Cambridge selama 30 tahun, memegang posisi akademis penting di beberapa negara, dan merupakan penulis buku-buku bestseller mengenai alam semesta seperti ‘A Brief History of Time’ dan ‘On The Shoulder of Giants’. Walaupun didera penyakit syaraf yang menyebabkan beliau harus duduk terikat di kursi roda, Hawking memiliki otak cemerlang yang mampu menjelajahi alam semesta, bahkan melampaui batasan waktu, melacak titik kelahiran galaksi-galaksi dan bahkan meramalkan kematian bintang-bintang. Dalam penjelajahannya inilah, banyak orang bertanya, apakah Hawking bertemu Tuhan? Apakah Hawking adalah seorang yang ‘beriman’? Dalam buku ‘A Brief History of Time’, Hawking menyatakan pendapatnya. Pemahaman atas teori penciptaan alam semesta, katanya, bila bisa dilakukan secara utuh oleh manusia, adalah pencapaian dari kehebatan akal manusia. “Karena kita akan bisa memahami pikiran Tuhan” katanya, yang menggema dalam ruang kelas yang sunyi senyap di Cambridge.
Para ahli fisika memang belum bersepakat mengenai teori pembentukan alam semesta dan hukum yang mendasari segala kejadian di alam ini. Ada dua faham besar dalam ilmu fisika yang kini menopang pemahaman manusia akan dunia ini, yakni teori gravitasi dari Newton dan teori elektromagnetik Maxwell. Teori yang pertama adalah teori kuno sejak Isaac Newton duduk di bawah pohon apel dan terkesima melihat sebuah apel yang jatuh, yang membuatnya bertanya “Mengapa apel jatuh ke tanah, dan bukan ke langit?”. Dari titik itu, lewat bukunya ‘Principia’, Newton kemudian mengemukakan dasar pergerakan benda-benda, dari apel sampai planet-planet dalam tata surya, dengan menggunakan prinsip-prinsip matematika.
Bagian kedua memiliki jalan yang lebih panjang, yang dipelopori oleh Maxwell ketika beliau menemukan prinsip elektromagnetik – bahwa, setiap medan magnet akan menghasilkan medan listrik, dan sebaliknya. Dunia ini adalah dunia renik, tanpa apel apalagi planet-planet, dan efeknya adalah seperti sulap. Mengapa sinar X-Ray yang tidak terlihat bisa menembus daging dan menampakkan tulang? Bagaimana lampu bisa menyala segera setelah saklar ditekan, padahal jaraknya ratusan meter dari saklar? Inilah dunia kuantum, dunia elektron, dunia partikel kecil yang tidak terlihat namun sangat berperanan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Memang, manusia telah banyak memahami gravitasi sejak Newton dan juga sudah mumpuni teori elektromagnetik dipimpin oleh Albert Einstein. Tetapi, mengapa ada dua teori: yang mengatur dunia raksasa (gravitasi) dan yang mengatur dunia renik (elektromagnetik)? Keduanya saling bersebrangan, teoremanya berbalikan, yang logis untuk satu, tidak logis untuk yang lain. Ini tidaklah masuk akal, bukan?
Harusnya ada sebuah teori dasar, yang disebut ‘Teori Segalanya’ (Theory of Everything), yang mendasari semua peristiwa di alam semesta dari planet sampai elektron. Harusnya teori gravitasi dan teori elektromagnetik digabungkan dengan sebuah teori umum, sebuah rumus matematika sederhana. Sehingga, dengan rumus ini, kita bisa meramalkan apa yang akan terjadi, membuat ekstrapolasi tepat mengenai kelahiran alam semesta, dan menarik garis lurus ke arah tamatnya galaksi-galaksi. Barulah, manusia bisa penuh menguasai alam semesta. Barulah, seperti kata Hawking, kita bisa ‘memahami pikiran Tuhan’.
Dimanakah kita saat ini? Tidak ada satupun yang kini bisa memecahkan, bahkan mendekati untuk menemukan Teori Segalanya. Albert Einstein meninggal dunia dalam obsesi ini, Stephen Hawking sampai kini masih tidak bisa memecahkannya, bahkan salah satu matematikawan terkemuka Indonesia, Dr. Pantur Silaban, yang terhitung cucu murid Einstein, pernah merasakan betapa pahit getirnya perjuangan mencari rumus maha tahu ini. Namun, sampai sekarang tidak ada yang bisa menemukannya, apalagi memahaminya. Mohon maaf, kita masih jauh dari ‘memahami pikiran Tuhan’!
Kalau ilustrasi saya diatas terasa terlalu rumit, kita ambil saja contoh yang lebih sederhana: cuaca. Secara teori, manusia sudah bisa 100% memahami semua faktor dan rumus fisika yang mendasari terjadinya fenomena cuaca: hujan, panas, angin, topan, salju. Manusia dengan teknologi tinggi, pengamatan satelit, perhitungan matematis, dan superkomputer kelas dunia, sudah mampu membuat simulasi cuaca: apa yang akan terjadi jika suhu meningkat atau kelembaban menurun. Tetapi, dapatkah manusia meramalkan cuaca secara 100% benar? Adakah yang mampu bertaruh dengan saya, bahwa 20 menit dari sekarang pasti akan turun hujan? Atau, tanggal 4 April 2011 adalah mulainya musim semi? Adakah perhitungan superkomputer yang bisa menebak, tanggal 5 Desember 2011 akan memiliki suhu berapa pada jam 6 pagi tepat di New York, Amerika Serikat? Tidak ada satupun. Ramalan cuaca tetap saja ramalan, kadang-kadang katanya hujan ternyata panas, katanya salju ternyata banjir. Jadi, apakah kita mau memahami pikiran Tuhan? Meramal cuaca pun kita belum becus!
Adalah sangat cantik bahwa kitab Ayub ditutup dengan sebuah pernyataan yang elegan: “Surely I spoke of things I do not understand, things too wonderful for me to know”. Ayub adalah satu contoh telak manusia yang mencoba memahami pikiran Tuhan. Yang bertanya kepada Tuhan: mengapa semua ini terjadi pada saya. Yang bahkan menggugat Tuhan, apakah Ia adil? Apakah Ia benar? Apakah Ia tahu apa yang Ia lakukan, ketika Ia mengatur hidup kita? Ketika Ia menyusun langkah demi langkah peristiwa yang kita alami? Apakah Ia benar-benar piawai menyusun skenario, ataukah Ia hanyalah Allah yang iseng, Tuhan yang kurang kerjaan, mengobrak-abrik hidup seorang manusia lemah yang tidak berdaya? Dalam perbincangan dan pergumulan Ayub yang panjang, barulah ia mengerti hakikat ‘Pikiran Tuhan’. Ia tunduk, dengan berkata: “You (God) asked: Who is this that obscures my plans without knowledge?’” Manusia mana yang berani mengusulkan skenario buatannya sendiri? Yang mampu memahami interaksi rumit kehidupan yang berujung pada suatu keadaan? Yang tahu, mana yang terbaik untuk kita? Ya: jika kita mencoba melakukannya, maka kita hanya merusak rencanaNya yang sudah agung itu!
Lalu, mengapa semuanya nampak suram saat ini? Mengapa Anda bangun pagi dengan hati pilu, menanti kekasih yang tak kunjung tiba, peruntungan yang tidak juga membaik, kerabat yang tidak juga sembuh, atau petaka yang belum juga ada akhirnya? Mengapa semuanya nampak kusut, nampak tidak berujung, dan membuat kita rasanya ingin menyerah saja? Dimanakah Sang Perencana, apakah Ia mendengarkan kita, ataukah Ia sedang tertawa diatas sana?
Tidak: Ia Maha Ada. Allah tidak tidur, kata pepatah Jawa. Ia sibuk mengurusi kita, menggunakan kekuatan Illahinya untuk mengatur langkah-langkah kita melewati ranjau-ranjau kehidupan. Ia menangis saat kita menangis, Ia juga pilu melihat kita pilu. Namun Ia sabar mengasihi kita. Ia sabar meniti kita dari satu batu ke batu lainnya, karena Ia punya rencana jelas, apa yang akan terjadi kalau kita sudah sampai di tepian sana. Kalau semuanya sudah berlalu. Kalau kita bisa melampaui satu rintangan yang terakhir ini. Bagai kutu di leher jerapah, rasanya seperti mengalami petaka abadi, namun semua leher hewan mamalia – dari manusia sampai jerapah – toh hanya terdiri dari 12 ruas tulang, tidak lebih dan tidak kurang!
Maka, janganlah ragu akan kepiawaianNya dalam merancang hidup kita. Berserahlah padaNya, jangan bandel, jangan mengomel. Jika lelah ototmu dan kaku tulangmu, berdoalah, bergembiralah sejenak bersama teman-teman yang Tuhan karuniakan kepadamu. Namun, tetaplah teguh. Kalau Ia mampu merancang Teori Segalanya yang menghubungkan hukum gravitasi dengan teori elektromagnetik, kalau Ia mampu menciptakan hujan karena doa dahaga seorang anak pada saat komputer meramalkan cuaca akan panas, maka Ia lebih dari mampu untuk menyediakan yang terbaik bagi kita. Kita cuma perlu percaya, dan menunggu mukjijatNya!
Kedoya, 16 Februari 2011
Friday, January 28, 2011
Menanti Mukjijat
‘ “You see the people crowding against you, his disciple answered, “and yet you can ask, “Who touched me?” ‘
Mark 5:31
Baru-baru ini saya mendengar sebuah lagu rohani dengan lirik sebagai berikut:
“Tapi satu hal yang Dia minta, tetaplah engkau percaya, mukjijat pasti terjadi”
Dengan spontan, saya nyeletuk: “Kelamaan kali, kalau nunggu mukjijat”. Namun, kemudian saya menyesal sesudah mengucapkannya. Apakah ucapan itu terlalu ekstrem? Ataukah memang merefleksikan perasaan manusia modern, di tengah kemajuan teknologi yang semakin lama semakin kering akan mukjijat?
Rupanya tema mukjijat sedang nge-trend dalam hidup saya. Baru-baru ini juga saya mengadakan diskusi tak terduga di tengah malam, yang membuat mata yang tadinya mengantuk menjadi terbuka lebar. Topiknya sama: tentang mukjijat. Seorang rekan mengajukan pertanyaan yang menggelegar: apakah saya percaya mukjijat? Saya hanya bisa tersenyum, yang langsung disambar dengan berbagai argumen bahwa mukjijat itu ada. Coba dengar, ada sepasang suami istri yang mendoakan bayinya yang lahir tanpa tempurung kepala, dan tiba-tiba setelah beberapa hari tempurung kepalanya tumbuh sendiri. Coba lihat, ada seorang ibu yang tadinya lumpuh, kini bisa berjalan. Coba pikirkan, bagaimana seseorang bisa hidup dengan tanpa ginjal? Tetapi, ya, dia bisa, dan itu adalah sebuah mukjijat!
Lalu, saya menjawab dengan sebuah disposisi: mengapa tidak semua orang mendapatkan mukjijat? Kalau demikian, apa syaratnya seseorang mendapatkan mukjijat?
Rekan yang lain pun menimpali dengan semangat. Jawabannya: iman! Percaya! Doa! Harus berdoa dengan sepenuh hati. Dengan sekuat tenaga, sampai menangis tersedu-sedu. Tapi, harus berserah juga. Artinya, harus rela, apabila mukjijat yang diharapkan tidak terjadi. Harus rela apabila yang sakit tetap sakit, yang lumpuh tetap lumpuh, yang miskin tetap miskin. Percaya bahwa sesuatu akan terjadi tetapi menyerahkan semuanya pada Tuhan.
Sebuah syarat yang kontradiktif secara logika, bukan?
Bagaimana seseorang bisa percaya 100% bahwa mukjijat akan terjadi tetapi juga rela 100% apabila mukjijat tidak terjadi?
Seorang rekan lain mengajukan argumen yang memang sulit dibantah. Dia menuduh saya terlalu kuat logikanya, terlalu pintar otaknya, sehingga sulit percaya mukjijat. Seorang ber-IQ jongkok bisa merasakan mukjijat ketika dapat nilai C walaupun tidak mengerti, sementara saya bisa mendapat nilai A walaupun tanpa belajar. Saya memang setuju. Hidup saya tidak selalu enak, tetapi Tuhan memberkati saya sehingga saya selalu berkecukupan.
Secara logika, saya jarang berada dalam keadaan kepepet, di dalam keadaan tak berdaya, di tengah himpitan hidup. Maka, ketika dalam situasi yang demikian, justru harapan saya tidak terwujud juga, maka kekecewaan yang menelan saya menjadi segunung tingginya. Otak yang sudah sangsi menjadi semakin yakin, bahwa mukjijat tidak ada. Bahkan saya menjadi takut pada mukjijat: takut untuk berharap mendapat mukjijat. Karena, secara logika, resiko gagalnya sangat besar, dan jika gagal justru saya malah jadi mempertanyakan dan mempersalahkan Sang Pemberi Mukjijat. Daripada jadi musuhan karena harapan yang salah, lebih baik tidak berharap saja, bukan?
Masalahnya, jalan keluar masalah saya satu-satunya adalah mukjijat. Lalu bagaimana? Relakah saya membayar lunas di depan dalam bentuk tenaga, energi, waktu, doa, air mata, detak jantung, ratusan batang rokok, untuk berharap, sementara hasilnya tidak dijamin ada? Bahkan sikap benarnya adalah harus rela 100% sekalipun mukjijatnya tidak terjadi?
Untuk menjawab dilema ini, mari kita kembali ke Alkitab. Sebuah kisah mukjijat yang paling sederhana dan mengesankan dalam Alkitab adalah kisah kesembuhan seorang perempuan yang mengalami sakit pendarahan selama 12 tahun. Perempuan ini mendekati Tuhan Yesus dari jarak jauh, ketika puluhan orang sedang berdesakan di sekitarNya. Sang perempuan ini percaya, bahwa jika ia bisa menyentuh jubahNya saja, maka ia akan sembuh. Iapun berdesakan, lalu menyentuh jubah Tuhan Yesus, dan seketika itu pula ia sembuh. Kemudian Tuhan Yesus melontarkan sebuah pertanyaan yang menggelegar: “Siapa yang menyentuh jubahKu?” (Markus 5:30)
Tentu saja Tuhan Yesus tahu persis siapa, dimana, dan apa yang terjadi. Ia tahu persis iman sang perempuan tadi. Seolah menggemakan maksudNya, seorang murid bertanya: “Guru, begitu banyak orang berdesakan disekitarMu, mengapa Engkau bertanya, siapa yang menyentuhKu?”.
Sadarkah kita? Kita seringkali menjadi orang yang berdesakan di sekitar Tuhan Yesus. Orang yang memegang tanganNya, melayaniNya, sibuk mengurus kehadiranNya. Kita bersentuhan denganNya setiap hari: dalam doa sebelum makan dan sebelum tidur, sebelum kerja, di gereja. Kita bahkan sibuk berdesakan di sekelilingnya, rapat, latihan koor, membaca Alkitab, atau melakukan kegiatan gereja lainnya. Apakah mukjijat terjadi pada kita? Apakah ada diantara para murid – yang bisa menyentuh Tuhan Yesus dengan mudah setiap saat – yang mendapatkan mukjijat? Tidak. Hanya seorang perempuan inilah, yang kemudian menjadi sembuh, yang ‘menyentuhNya’. Yang lain secara fisik berdesakan, secara fisik bersentuhan, tetapi hati mereka jauh dari Tuhan. Sementara ibu ini, secara hati sangat dekat dengan Tuhan, sehingga hanya menyentuh jubahNya saja, ia memperoleh kesembuhan.
Jadi, syarat mendapatkan mukjijat sebenarnya sederhana. Namun, menjadi sederhana adalah tantangan terberat bagi saya dan banyak orang lainnya yang hidup di jaman modern ini. Menganalisis syarat logika mukjijat secara empiris dan analitis saja sudah merupakan langkah yang salah. Bahwa mukjijat itu ada, sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, karena di Alkitab banyak sekali tercatat kejadiannya. Tetapi apakah mukjijat itu masih ada? Dan apa syaratnya? Syaratnya sederhana: bahwa saya bisa ‘menyentuh’ Tuhan. Bukan berdoa, berdagang, membayar uang muka, ataupun mencoba memaksaNya menerima ‘terms and conditions’ dari kita. Syaratnya: percaya dan berserah, sama seperti yang dilakukan sang perempuan di dalam kisah ini. Lalu, saya mengerti: bahwa percaya sederhana itulah yang paling sulit saya lakukan!
Maafkan saya atas komentar kemarin ya Tuhan. Ajarilah saya terus untuk percaya, jangan bosan ya. Lama-lama anakMu yang bodoh ini pasti akan bisa juga!
Puri, 28 Januari 2011