“Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya”
Mat 1:24a
“Kata Maria:”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia.”
Lukas 1:37
Masih segar dalam ingatan kita, ketika tahun ini di Jakarta terjadi kasus pembunuhan seorang mahasiswi oleh pacarnya. Penyebabnya adalah sang pacar panik ketika mendapati mahasiswi ini hamil! Ini adalah salah satu dari puluhan, bahkan ratusan kasus kriminal yang melibatkan kehamilan diluar nikah. Banyak sekali pembunuhan, bayi yang dibuang, atau seseorang yang menjadi gila hanya karena tidak tahan menanggung aib ketika terjadi kehamilan diluar nikah. Bahkan di jaman serba bebas seperti sekarang inipun, kehamilan di luar nikah merupakan suatu aib yang tak terkira! Apalagi di jaman Tuhan Yesus, resiko hamil diluar nikah bahkan lebih besar lagi. Menurut Hukum Taurat, seseorang yang berbuat zinah harus dirajam sampai mati!
Dengan demikian, makin sadarlah kita akan kebesaran iman dari pasangan orang biasa yang sederhana, yakni Maria dan Yusuf. Mereka bukan nabi, bukan orang terpelajar, tetapi iman mereka luar biasa. Ketika Yusuf mengetahui bahwa Maria sudah hamil, ia berencana untuk menceraikannya (Mat 1:19). Tetapi ketika malaikat datang dalam mimpi Yusuf, beliau tanpa ragu menuruti perintah Sang Malaikat dan tetap teguh mempertahankan Maria. Padahal, bisa saja mimpinya hanyalah bunga tidur, dan itu berarti Maria sudah berbuat zinah! Tetapi, dengan iman yang luar biasa, Yusuf menerima perintah malaikat dengan ikhlas, walaupun ia bisa menanggung resiko dipermalukan oleh lingkungan sekitarnya.
Maria, tentu saja, memiliki tantangan yang juga tidak kecil. Berada dalam keadaan hamil sebelum menikah adalah suatu aib yang memalukan. Memang, malaikat mendatangi Maria dan menjelaskan mengenai kehamilannya. Tetapi, apakah kata orang-orang nanti? Apakah mereka akan percaya, bila Maria mengajukan kedatangan malaikat sebagai alasan kehamilannya? Tentu saja ini merupakan suatu beban yang tidak mudah. Belum lagi, pada saat itu, ia belum tahu sikap Yusuf. Akankah Yusuf menerimanya, jika ia mengetahui bahwa dirinya sudah mengandung? Tetapi, dengan iman yang teguh, Maria mematuhi perintah malaikat dan bersiap menghadapi resikonya.
Tanpa kebesaran iman dari dua orang biasa yang sederhana, kelahiran Sang Raja di dunia ini tidak akan terwujud. Bahwa Yusuf tidak cemburu buta dan menceraikan Maria, atau Maria tidak mata gelap dan berusaha melarikan diri karena kehamilannya, adalah suatu pernyataan iman yang hebat dari pasangan muda ini. Benar-benar suatu kondisi iman yang cocok untuk mendampingi pertumbuhan Kanak-kanak Yesus menjadi dewasa!
Embun pagi adalah kristalisasi hari. Uap, asap, debu, kabut, yang terakumulasi selama sehari penuh, akan mengalami transformasi akibat kondensasi dan sublimasi, menjadi embun pagi yang murni, suci, bersih. Demikian pula Firman Tuhan, sering tersamar dalam kotornya hari, namun selalu muncul kembali dalam bentuk murni di pagi hari. Asalkan kita rela luangkan waktu, bersihkan hati, biarkan Roh itu bekerja.
Thursday, December 23, 2004
Selamat Ulang Tahun, Tuhan Yesus...
“Dan ia melahirkaqn seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.”
Lukas 2:7
Waktu saya kecil, saya sering ikut membaca majalah Femina langganan ibu saya. Di bagian belakang selalu ada satu halaman komik yang menceritakan sebuah keluarga kecil, nama persisnya saya sudah lupa. Tetapi, ada satu episode komik itu mengenai natal yang begitu berkesan bagi saya sehingga saya ingat sampai sekarang.
Diceritakan bahwa keluarga itu sedang bersemangat merayakan natal. Sang ayah dan ibu mula-mula sibuk mendirikan pohon natal, dibantu oleh anak sulung dan tengah yang sudah agak besar. Pohon pun dihias cantik dan diberi lampu. Setelah selesai, tiba saatnya pembukaan kado natal. Suasana rumah menjadi hangat dan ramai, karena anak-anak berteriak kegirangan ketika mengetahui bahwa kado yang diterimanya sesuai dengan apa yang diminta. Sang ayah dan ibu sendiri bertukar kado natal, masing-masing tersipu-sipu kegirangan oleh kado yang diberikan.
Di tengah suasana riuh rendah itu, sang bungsu, yang masih bayi, tiba-tiba merenung, lalu merangkak pergi meninggalkan ruang keluarga. Ia merangkak melalui ruang makan yang sepi, kemudian keluar ke teras melalui pintu belakang. Kemudian ia memandang langit, dan mendapati sebuah bintang bersinar terang. Sambil tersenyum memandang bintang, ia pun lalu menggumam: „Happy birthday Jesus...“
Ilustrasi komik tadi sangat tepat menggambarkan kesibukan menjelang natal yang seringkali menjebak kita dalam rutinitas. Menjadi panitia natal, ikut koor, ataupun sandiwara, memang membuat kita sibuk dan harus bekerja ekstra keras untuk menyelesaikan semuanya. Tapi jangan lupa untuk menyisihkan waktu sejenak, merenung, dan memberi ucapan selamat ulang tahun untuk Tuhan Yesus yang sudah begitu baik kepada kita. Sebab, memang itulah inti natal: selamat ulang tahun Tuhan Yesus!
Lukas 2:7
Waktu saya kecil, saya sering ikut membaca majalah Femina langganan ibu saya. Di bagian belakang selalu ada satu halaman komik yang menceritakan sebuah keluarga kecil, nama persisnya saya sudah lupa. Tetapi, ada satu episode komik itu mengenai natal yang begitu berkesan bagi saya sehingga saya ingat sampai sekarang.
Diceritakan bahwa keluarga itu sedang bersemangat merayakan natal. Sang ayah dan ibu mula-mula sibuk mendirikan pohon natal, dibantu oleh anak sulung dan tengah yang sudah agak besar. Pohon pun dihias cantik dan diberi lampu. Setelah selesai, tiba saatnya pembukaan kado natal. Suasana rumah menjadi hangat dan ramai, karena anak-anak berteriak kegirangan ketika mengetahui bahwa kado yang diterimanya sesuai dengan apa yang diminta. Sang ayah dan ibu sendiri bertukar kado natal, masing-masing tersipu-sipu kegirangan oleh kado yang diberikan.
Di tengah suasana riuh rendah itu, sang bungsu, yang masih bayi, tiba-tiba merenung, lalu merangkak pergi meninggalkan ruang keluarga. Ia merangkak melalui ruang makan yang sepi, kemudian keluar ke teras melalui pintu belakang. Kemudian ia memandang langit, dan mendapati sebuah bintang bersinar terang. Sambil tersenyum memandang bintang, ia pun lalu menggumam: „Happy birthday Jesus...“
Ilustrasi komik tadi sangat tepat menggambarkan kesibukan menjelang natal yang seringkali menjebak kita dalam rutinitas. Menjadi panitia natal, ikut koor, ataupun sandiwara, memang membuat kita sibuk dan harus bekerja ekstra keras untuk menyelesaikan semuanya. Tapi jangan lupa untuk menyisihkan waktu sejenak, merenung, dan memberi ucapan selamat ulang tahun untuk Tuhan Yesus yang sudah begitu baik kepada kita. Sebab, memang itulah inti natal: selamat ulang tahun Tuhan Yesus!
Tuesday, December 14, 2004
Renungan Advent 2004: Hidup dan Terang
Renungan Masa Advent 2004
Tidak terasa, kita telah memasuki masa Advent minggu kedua. Menyesal rasanya tidak ke gereja 2 minggu berturut-turut, sampai-sampai saya tidak sadar bahwa ulang tahun Tuhan Yesus semakin mendekat. Mulai hari ini, renungan di blog saya akan diisi dengan renungan bertemakan Natal, titik awal daripada kehadiran Tuhan Yesus sebagai manusia di bumi. Selamat membaca!
“Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia”
Yoh 1:4
Pohon Natal sudah menjadi aksesoris wajib menjelang hari Natal. Dari Mal Taman Anggrek sampai Pasar Pagi Mangga Dua, pohon cemara dari berbagai bahan dengan hiasan lampu-lampu cantik berdiri megah dimana-mana. Bersyukurlah kita hidup di Indonesia yang demokratis, yang membiarkan setiap umat beragama merayakan hari besarnya. Marilah kita memahami arti pohon natal bagi kelahiran Yesus.
Mengapa selalu dipilih pohon cemara sebagai pohon natal? Di Eropa, tempat tradisi pohon natal ini berasal, bulan Desember biasanya adalah puncak musim dingin. Di musim ini, hampir semua tumbuh-tumbuhan dan hewan tidak beraktivitas: ada yang berhibernasi atau mati sama sekali. Seolah-olah suhu dibawah nol dan ketiadaan sinar matahari di musim dingin menghapuskan semua tanda-tanda kehidupan: tidak ada daun hijau, tidak ada kicau burung, tidak ada cicitan tupai. Kecuali, pohon cemara. Hanya pohon cemaralah yang sanggup hidup di musim dingin yang paling dingin sekalipun. Pohon inilah satu-satunya yang bertahan menghadirkan warna hijau daun di dunia yang hampir mati tercekik musim dingin. Pohon cemara, adalah lambang kehidupan di tengah keputusasaan!
Elemen apa lagi yang membentuk sebuah pohon natal? Lampu hiasannya. Sebuah pohon natal kurang afdol rasanya jika tidak memiliki lampu kelap-kelip. Pohon natal raksasa di Rockefeller Center, New York, atau di Mal Taman Anggrek, Jakarta, sebenarnya tidak memiliki banyak hiasan atau ornamen, tapi yang pasti dilengkapi oleh ratusan lampu penghias. Cahaya, atau terang, merupakan elemen kedua yang sangat penting untuk sebuah pohon natal. Cahaya ini juga mengandung arti yang mendalam, dimana kelahiran Yesus dilambangkan sebagai hadirnya terang di tengah-tengah dunia yang gelap. Yesus hadir sebagai terang, memberikan cahaya keselamatan bagi manusia yang sudah lama tenggelam dalam kegelapan dosa.
Ia yang memberi Hidup itu juga hadir sebagai Terang, yang membawa keselamatan bagi umat manusia. Maranatha!
Tidak terasa, kita telah memasuki masa Advent minggu kedua. Menyesal rasanya tidak ke gereja 2 minggu berturut-turut, sampai-sampai saya tidak sadar bahwa ulang tahun Tuhan Yesus semakin mendekat. Mulai hari ini, renungan di blog saya akan diisi dengan renungan bertemakan Natal, titik awal daripada kehadiran Tuhan Yesus sebagai manusia di bumi. Selamat membaca!
“Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia”
Yoh 1:4
Pohon Natal sudah menjadi aksesoris wajib menjelang hari Natal. Dari Mal Taman Anggrek sampai Pasar Pagi Mangga Dua, pohon cemara dari berbagai bahan dengan hiasan lampu-lampu cantik berdiri megah dimana-mana. Bersyukurlah kita hidup di Indonesia yang demokratis, yang membiarkan setiap umat beragama merayakan hari besarnya. Marilah kita memahami arti pohon natal bagi kelahiran Yesus.
Mengapa selalu dipilih pohon cemara sebagai pohon natal? Di Eropa, tempat tradisi pohon natal ini berasal, bulan Desember biasanya adalah puncak musim dingin. Di musim ini, hampir semua tumbuh-tumbuhan dan hewan tidak beraktivitas: ada yang berhibernasi atau mati sama sekali. Seolah-olah suhu dibawah nol dan ketiadaan sinar matahari di musim dingin menghapuskan semua tanda-tanda kehidupan: tidak ada daun hijau, tidak ada kicau burung, tidak ada cicitan tupai. Kecuali, pohon cemara. Hanya pohon cemaralah yang sanggup hidup di musim dingin yang paling dingin sekalipun. Pohon inilah satu-satunya yang bertahan menghadirkan warna hijau daun di dunia yang hampir mati tercekik musim dingin. Pohon cemara, adalah lambang kehidupan di tengah keputusasaan!
Elemen apa lagi yang membentuk sebuah pohon natal? Lampu hiasannya. Sebuah pohon natal kurang afdol rasanya jika tidak memiliki lampu kelap-kelip. Pohon natal raksasa di Rockefeller Center, New York, atau di Mal Taman Anggrek, Jakarta, sebenarnya tidak memiliki banyak hiasan atau ornamen, tapi yang pasti dilengkapi oleh ratusan lampu penghias. Cahaya, atau terang, merupakan elemen kedua yang sangat penting untuk sebuah pohon natal. Cahaya ini juga mengandung arti yang mendalam, dimana kelahiran Yesus dilambangkan sebagai hadirnya terang di tengah-tengah dunia yang gelap. Yesus hadir sebagai terang, memberikan cahaya keselamatan bagi manusia yang sudah lama tenggelam dalam kegelapan dosa.
Ia yang memberi Hidup itu juga hadir sebagai Terang, yang membawa keselamatan bagi umat manusia. Maranatha!
Mari Mengubah Diri!
“Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.”
Mat 25:29
Pernahkan Anda merasa begitu cemburu sampai perut Anda terasa mual? Pernahkah Anda begitu marah dan memaki-maki karena mobil Anda tergores? Apakah reaksi Anda ketika mendapati sesuatu tidak dijalankan dengan baik? Marah? Memaki-maki?
Saya pernah seperti itu. Sejak dahulu saya memang memiliki emosi yang sulit dikendalikan. Saya mudah menggelegak marah dan memaki atau melontarkan kata-kata pedas ketika mendengar jawaban ‘tidak’, apalagi sesudah tinggal di Jakarta yang memang lingkungannya serba keras ini. Hal ini juga didukung oleh posisi saya di kantor yang cukup baik sehingga sangat sedikit orang yang berani berkata ‘tidak’ pada saya. Hari ini pun, rasa cemburu sudah membakar hati saya sampai-sampai saya berprasangka buruk pada kekasih saya tercinta!
Tetapi saya tidak akan tinggal diam. Sudah cukup lama saya biarkan kebiasaan ini berkembang, dan mulai besok saya akan berusaha meredam semua kebiasaan buruk itu. Jika menghadapi sifat buruk, ada dua reaksi orang secara umum: yang pertama berusaha mengubah sifat itu, dan yang kedua justru meminta orang lain memaklumi sifatnya karena ‘memang sudah begitu’. Dalam perikop tentang talenta, kelompok pertama adalah dua hamba setia yang berhasil memperoleh laba dari uang yang ditinggalkan tuan tanah. Mereka berhasil mengubah sesuatu yang bernilai kecil menjadi besar, walaupun dengan usaha yang tidak mudah. Sementara kelompok kedua adalah sang hamba yang tidak setia, yang mengubur talenta itu dalam tanah dan mengklaim bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ‘memang Cuma segitu modalnya’, dan meminta tuan tanah memakluminya. Saya tidak mau jadi anggota kelompok pecundang ini!
Mat 25:29
Pernahkan Anda merasa begitu cemburu sampai perut Anda terasa mual? Pernahkah Anda begitu marah dan memaki-maki karena mobil Anda tergores? Apakah reaksi Anda ketika mendapati sesuatu tidak dijalankan dengan baik? Marah? Memaki-maki?
Saya pernah seperti itu. Sejak dahulu saya memang memiliki emosi yang sulit dikendalikan. Saya mudah menggelegak marah dan memaki atau melontarkan kata-kata pedas ketika mendengar jawaban ‘tidak’, apalagi sesudah tinggal di Jakarta yang memang lingkungannya serba keras ini. Hal ini juga didukung oleh posisi saya di kantor yang cukup baik sehingga sangat sedikit orang yang berani berkata ‘tidak’ pada saya. Hari ini pun, rasa cemburu sudah membakar hati saya sampai-sampai saya berprasangka buruk pada kekasih saya tercinta!
Tetapi saya tidak akan tinggal diam. Sudah cukup lama saya biarkan kebiasaan ini berkembang, dan mulai besok saya akan berusaha meredam semua kebiasaan buruk itu. Jika menghadapi sifat buruk, ada dua reaksi orang secara umum: yang pertama berusaha mengubah sifat itu, dan yang kedua justru meminta orang lain memaklumi sifatnya karena ‘memang sudah begitu’. Dalam perikop tentang talenta, kelompok pertama adalah dua hamba setia yang berhasil memperoleh laba dari uang yang ditinggalkan tuan tanah. Mereka berhasil mengubah sesuatu yang bernilai kecil menjadi besar, walaupun dengan usaha yang tidak mudah. Sementara kelompok kedua adalah sang hamba yang tidak setia, yang mengubur talenta itu dalam tanah dan mengklaim bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ‘memang Cuma segitu modalnya’, dan meminta tuan tanah memakluminya. Saya tidak mau jadi anggota kelompok pecundang ini!
Setia Dalam Perkara Kecil
„Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar“
Lukas 16:10
Menurut saya, Jalan Raya Kalimalang antara Bekasi Barat sampai Pondok Kelapa patut dijuluki ‚Via Dolorosa’. Kalau via dolorosa asli merupakan lambang pencobaan yang dialami Tuhan Yesus pada saat Ia memanggul salib, maka saya merasa bahwa Jalan Raya Kalimalang adalah pencobaan yang sangat berat untuk saya, apalagi pada jam-jam sibuk. Bayangkan, sebagai pengendara mobil, saya harus bersabar ketika belasan motor berseliweran dan memotong jalur saya. Belum lagi motor-motor itu begitu perkasanya sampai berani memepetkan mobil saya ke tepi. Ada lagi angkot dan mikrolet yang justru berhenti pada saat lampu lalin hijau dan baru jalan pada saat lampu merah, memblokir puluhan mobil yang sudah lama mengantri. Penderitaan ini rupanya belum cukup, harus ditambah lagi dengan becak, sepeda, dan pejalan kaki yang seenaknya menyeberang. Dan last but not least, pada polisi cepek yang sangat berjasa menjaga ketertiban lalu lintas dengan menyeberangkan setiap mobil yang mau membayar. Tentu saja selalu terjadi kemacetan parah, hanya karena tindakan-tindakan tidak disiplin tadi. Melewati Jalan Raya Kalimalang tanpa menyumpah atau mengutuk merupakan suatu beban salib yang luar biasa yang nyaris tak mampu saya tanggung!
Di tengah situasi biadab semacam ini, sulit bagi kita untuk tidak larut dalam kebiadaban yang terjadi. Untuk tetap berhenti pada lampu merah, tidak menghiraukan polisi cepek, atau berhenti memberi jalan kepada kendaraan lain. Banyak mobil dan motor yang memasang stiker kristiani juga ikut nimbrung saling memotong kendaraan lain atau membayar Rp 500,- kepada polisi cepek asal dibiarkan melintas. Memang, mematuhi peraturan lalu lintas hanyalah sebuah perkara kecil. Tetapi, justru di dalam perkara kecil inilah kesetiaan kita dituntut, agar kita layak menangani perkara besar. Hal ini berlaku untuk menaati peraturan lalu lintas dan juga tidak menyumpah, mengutuk, memepet, atau memelototi mereka yang melanggar. Biarlah Tuhan yang menilai kesetiaan mereka, dan Ia jugalah yang akan mengganjar kesetiaan kita!
Lukas 16:10
Menurut saya, Jalan Raya Kalimalang antara Bekasi Barat sampai Pondok Kelapa patut dijuluki ‚Via Dolorosa’. Kalau via dolorosa asli merupakan lambang pencobaan yang dialami Tuhan Yesus pada saat Ia memanggul salib, maka saya merasa bahwa Jalan Raya Kalimalang adalah pencobaan yang sangat berat untuk saya, apalagi pada jam-jam sibuk. Bayangkan, sebagai pengendara mobil, saya harus bersabar ketika belasan motor berseliweran dan memotong jalur saya. Belum lagi motor-motor itu begitu perkasanya sampai berani memepetkan mobil saya ke tepi. Ada lagi angkot dan mikrolet yang justru berhenti pada saat lampu lalin hijau dan baru jalan pada saat lampu merah, memblokir puluhan mobil yang sudah lama mengantri. Penderitaan ini rupanya belum cukup, harus ditambah lagi dengan becak, sepeda, dan pejalan kaki yang seenaknya menyeberang. Dan last but not least, pada polisi cepek yang sangat berjasa menjaga ketertiban lalu lintas dengan menyeberangkan setiap mobil yang mau membayar. Tentu saja selalu terjadi kemacetan parah, hanya karena tindakan-tindakan tidak disiplin tadi. Melewati Jalan Raya Kalimalang tanpa menyumpah atau mengutuk merupakan suatu beban salib yang luar biasa yang nyaris tak mampu saya tanggung!
Di tengah situasi biadab semacam ini, sulit bagi kita untuk tidak larut dalam kebiadaban yang terjadi. Untuk tetap berhenti pada lampu merah, tidak menghiraukan polisi cepek, atau berhenti memberi jalan kepada kendaraan lain. Banyak mobil dan motor yang memasang stiker kristiani juga ikut nimbrung saling memotong kendaraan lain atau membayar Rp 500,- kepada polisi cepek asal dibiarkan melintas. Memang, mematuhi peraturan lalu lintas hanyalah sebuah perkara kecil. Tetapi, justru di dalam perkara kecil inilah kesetiaan kita dituntut, agar kita layak menangani perkara besar. Hal ini berlaku untuk menaati peraturan lalu lintas dan juga tidak menyumpah, mengutuk, memepet, atau memelototi mereka yang melanggar. Biarlah Tuhan yang menilai kesetiaan mereka, dan Ia jugalah yang akan mengganjar kesetiaan kita!
Wednesday, December 01, 2004
Mat 6:33
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”
Mat 6:33
Saya pernah dua kali dikagetkan dengan tulisan Mat 6:33. Yang pertama terjadi di malam hari, ketika saya mengendarai mobil di jalan tol Cikampek untuk pulang ke Cikarang dari Jakarta. Waktu itu keadaan gelap dan tidak begitu banyak kendaraan di jalan, sayapun sudah mulai mengantuk karena kondisi perjalanan yang monoton dan badan yang lelah. Tiba-tiba ada sebuah mobil Suzuki Carry tua berwarna putih di depan saya, dengan tulisan besar pada kaca belakangnya : „Mat 6:33“. Tulisan itu berwarna merah dan besar sehingga sangat menarik perhatian. Lalu saya perhatikan mobilnya. Sangat sederhana, bahkan tanpa AC karena jendelanya terbuka lebar, memperlihatkan wajah supirnya yang juga sedang mengantuk. Kelihatan bahwa sang supir adalah orang yang bersahaja, karena tidak menggunakan baju atau aksesori yang bagus.
Kejadian kedua adalah di siang hari, di sekitar Tol Bekasi Barat. Waktu itu kalau tidak salah saya baru keluar tol Bekasi Barat dari arah Cikarang, ketika sekali lagi saya melihat tulisan besar „Mat 6:33“, kali ini seingat saya berwarna putih, di kaca belakang sebuah angkot. Angkot ini tidak istimewa, hanya angkot butut biasa, mungkin dengan segala kekurangajarannya di jalan. Sayang saya hanya sempat melihat sekelebat sehingga tidak sempat mengamati apakah perilaku pengemudi angkot ini ugal-ugalan seperti yang lain atau tidak!
Karena penasaran, saya pun mencari di Alkitab mengenai Mat 6:33. Ternyata kalimat yang dikatakan Tuhan Yesus ketika berkhotbah mengenai kekuatiran ini memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Bayangkanlah bahwa ada dua orang sederhana, yang satu memiliki sebuah suzuki carry tua yang masih dipaksa ngebut di jalan tol, dan yang lainnya memiliki angkot yang juga sangat sederhana, dengan begitu berani memasang tulisan Mat 6:33 di jendela belakangnya, tanpa tedeng aling-aling. Dapat saya bayangkan betapa mereka dalam segala kesederhanaannya pastilah sangat memahami arti kekuatiran, kuatir apakah besok bisa makan, atau kuatir apakah Natal nanti bisa beli baju baru.
Kita yang beruntung dikaruniai kemapanan ekonomi oleh Tuhan justru kadang-kadang kurang memahami makna kekuatiran. Segala sudah ada dan tersedia, sehingga kita melakukan taking it for granted, atau menganggap semuanya itu memang seharusnya tersedia. Berapa banyak mobil mewah yang memasang tulisan Mat 6:33? Jangankan tulisan itu, stiker mengenai iman Kristen saja masih ragu-ragu untuk dipasang karena takut masalah keamanan. Sekali lagi, justru kita yang mapan ini menghadapi kekuatiran dengan sikap yang salah, sementara pemilik carry dan angkot yang sederhana justru menunjukkan sikap teladan dengan tanpa kuatir memasang tulisan Mat 6:33!
Di dunia bisnis yang hiruk pikuk, kita seringkali perlu berkontemplasi dan menyadari betapa kita ini sangat beruntung bisa hidup berkecukupan. Dalam Lukas 17 diceritakan mengenai 10 orang kusta yang disembuhkan Tuhan Yesus, tetapi hanya seorang Samaria yang kembali untuk mengucap syukur (Luk 17:11-19). Mengapa 9 orang Yahudi lainnya justru tidak kembali? Karena sebagai orang Yahudi, yang merasa sebagai bangsa pilihan Allah, karunia kesembuhan itu sepertinya sudah seharusnya diberikan pada mereka. Mereka juga melakukan taking for granted, tidak lagi menghargai mukjijat kesembuhan itu sebagai karunia Ilahi yang patut disyukuri. Seorang Samaria, yang dianggap lebih rendah derajatnya daripada orang Yahudi, justru dengan segala kekurangannya sangat menyadari bahwa mukjijat kesembuhan dari Tuhan Yesus merupakan karunia yang tak ternilai harganya. Menutup perikop Lukas 17, Tuhan Yesus berkata kepada orang Samaria itu :“Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.“ Saya yakin berkat Tuhan yang melimpah akan menyelamatkan pemilik carry dan angkot yang dengan imannya berani memasang tulisan Mat 6:33. Bagaimana dengan kita?
Mat 6:33
Saya pernah dua kali dikagetkan dengan tulisan Mat 6:33. Yang pertama terjadi di malam hari, ketika saya mengendarai mobil di jalan tol Cikampek untuk pulang ke Cikarang dari Jakarta. Waktu itu keadaan gelap dan tidak begitu banyak kendaraan di jalan, sayapun sudah mulai mengantuk karena kondisi perjalanan yang monoton dan badan yang lelah. Tiba-tiba ada sebuah mobil Suzuki Carry tua berwarna putih di depan saya, dengan tulisan besar pada kaca belakangnya : „Mat 6:33“. Tulisan itu berwarna merah dan besar sehingga sangat menarik perhatian. Lalu saya perhatikan mobilnya. Sangat sederhana, bahkan tanpa AC karena jendelanya terbuka lebar, memperlihatkan wajah supirnya yang juga sedang mengantuk. Kelihatan bahwa sang supir adalah orang yang bersahaja, karena tidak menggunakan baju atau aksesori yang bagus.
Kejadian kedua adalah di siang hari, di sekitar Tol Bekasi Barat. Waktu itu kalau tidak salah saya baru keluar tol Bekasi Barat dari arah Cikarang, ketika sekali lagi saya melihat tulisan besar „Mat 6:33“, kali ini seingat saya berwarna putih, di kaca belakang sebuah angkot. Angkot ini tidak istimewa, hanya angkot butut biasa, mungkin dengan segala kekurangajarannya di jalan. Sayang saya hanya sempat melihat sekelebat sehingga tidak sempat mengamati apakah perilaku pengemudi angkot ini ugal-ugalan seperti yang lain atau tidak!
Karena penasaran, saya pun mencari di Alkitab mengenai Mat 6:33. Ternyata kalimat yang dikatakan Tuhan Yesus ketika berkhotbah mengenai kekuatiran ini memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Bayangkanlah bahwa ada dua orang sederhana, yang satu memiliki sebuah suzuki carry tua yang masih dipaksa ngebut di jalan tol, dan yang lainnya memiliki angkot yang juga sangat sederhana, dengan begitu berani memasang tulisan Mat 6:33 di jendela belakangnya, tanpa tedeng aling-aling. Dapat saya bayangkan betapa mereka dalam segala kesederhanaannya pastilah sangat memahami arti kekuatiran, kuatir apakah besok bisa makan, atau kuatir apakah Natal nanti bisa beli baju baru.
Kita yang beruntung dikaruniai kemapanan ekonomi oleh Tuhan justru kadang-kadang kurang memahami makna kekuatiran. Segala sudah ada dan tersedia, sehingga kita melakukan taking it for granted, atau menganggap semuanya itu memang seharusnya tersedia. Berapa banyak mobil mewah yang memasang tulisan Mat 6:33? Jangankan tulisan itu, stiker mengenai iman Kristen saja masih ragu-ragu untuk dipasang karena takut masalah keamanan. Sekali lagi, justru kita yang mapan ini menghadapi kekuatiran dengan sikap yang salah, sementara pemilik carry dan angkot yang sederhana justru menunjukkan sikap teladan dengan tanpa kuatir memasang tulisan Mat 6:33!
Di dunia bisnis yang hiruk pikuk, kita seringkali perlu berkontemplasi dan menyadari betapa kita ini sangat beruntung bisa hidup berkecukupan. Dalam Lukas 17 diceritakan mengenai 10 orang kusta yang disembuhkan Tuhan Yesus, tetapi hanya seorang Samaria yang kembali untuk mengucap syukur (Luk 17:11-19). Mengapa 9 orang Yahudi lainnya justru tidak kembali? Karena sebagai orang Yahudi, yang merasa sebagai bangsa pilihan Allah, karunia kesembuhan itu sepertinya sudah seharusnya diberikan pada mereka. Mereka juga melakukan taking for granted, tidak lagi menghargai mukjijat kesembuhan itu sebagai karunia Ilahi yang patut disyukuri. Seorang Samaria, yang dianggap lebih rendah derajatnya daripada orang Yahudi, justru dengan segala kekurangannya sangat menyadari bahwa mukjijat kesembuhan dari Tuhan Yesus merupakan karunia yang tak ternilai harganya. Menutup perikop Lukas 17, Tuhan Yesus berkata kepada orang Samaria itu :“Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.“ Saya yakin berkat Tuhan yang melimpah akan menyelamatkan pemilik carry dan angkot yang dengan imannya berani memasang tulisan Mat 6:33. Bagaimana dengan kita?
Subscribe to:
Posts (Atom)