Grace, salah satu (satu-satunya kaleeee hehehe) pembaca blog ini, menganjurkan saya untuk membaca buku ‘Hening’ karangan Shusaku Endo, setelah membaca salah satu renungan saya tentang topik yang sama. Saya yang sudah tertarik dengan resensi buku ini di Kompas, segera membelinya, namun baru sempat menyelesaikannya beberapa hari yang lalu.
Saya pernah dengar mengenai Shusaku Endo, namun sama sekali tidak tahu bahwa beliau adalah seorang jepang beragama Katolik. Novelnya yang berjudul ‘Hening’ ditulis berdasarkan kehidupan misionaris di Jepang abad ke-17. Menurut sejarah, agama Katolik dibawa ke Jepang oleh misionaris Portugis pada abad ke-16. Mula-mula, kekristenan berkembang dengan sangat pesat di Jepang, karena menemukan lahan subur: kalangan petani miskin di pesisir Jepang yang ditindas oleh kaum samurai dan pemilik tanah. Namun, pada abad ke-16, tepatnya tahun 1587, tiba-tiba Hideyoshi, seorang kaisar, memerintahkan agar semua orang Portugis diusir dari Jepang, dan melarang agama Kristen di seluruh Jepang. Bukan hanya itu - para pemeluknya dicari, ditangkapi, dan kemudian disiksa sampai mau mengingkari iman mereka. Jepang menjadi Roma kedua, dan Iemitsu (Kaisar Tokugawa ketiga) menjadi Nero kedua.
Novel ini mengisahkan tenang Pastor Rodriguez, yang datang ke Jepang secara sembunyi-sembunyi sesudah agama Kristen dilarang di Jepang. Endo mengarang plot dengan sangat cantik, dimulai dari surat-surat Rodriguez kepada para Superior di Macao, berlanjut dengan mengisahkan Rodriguez dengan sudut pandang orang pertama, sampai di akhir cerita kembali dikisahkan dalam bentuk surat, catatan seorang penulis Belanda di Jepang. Melalui penuturan seperti ini, pembaca mendapatkan kesan betapa misteriusnya Jepang pada masa itu, seperti seolah-olah menonton sebuah film flashback.
Endo menempatkan dua tokoh dalam kisahnya dengan jalinan kisah yang ironis, sedikit menggelikan bahkan, yaitu Pastor Rodriguez dan Kichijiro. Kichijiro adalah seorang penganut Kristen yang mengantar Rodriguez ke Jepang, tapi dia pulalah yang melaporkan Rodriguez ke para pengawal sehingga ia tertangkap. Rodriguez dikisahkan mengalami nasib yang jungkir balik, dari seorang pastor yang dengan bangga melayani umatnya di gereja bawah tanah, sampai menjadi tahanan dan tertangkap, kemudian disiksa lebih lanjut di penjara dekat Nagasaki, sampai-sampai ia menginjak gambar Kristus, simbol pengingkaran yang paling hakiki. Dalam tiap fase inilah, muncul Kichijiro menghampirinya - selalu dalam bentuk yang kotor, menjijikkan, licik, lemah, pengkhianat, namun konsisten.
Melalui Kichijiro, Endo melukiskan kejatuhan - atau lebih tepat disebut transformasi - sang Pastor melalui pembandingan dengan Kichijiro yang konstan. Bahkan sampai akhir hayat sang mantan Pastor, Kichijiro dikisahkan masih ada di situ dengan segala kelemahannya. Namun, di mata Kichijiro, sang Pastor tetaplah sang Pastor, representasi Deus atau Tuhan - walaupun sudah mencukur janggutnya, menguncir rambutnya, mengenakan kimono hitam, dan berganti nama menjadi Okada San’emon. Sebuah penuturan yang indah, ironi yang menyayat hati, kepiawaian Endo dalam menguras emosi pembacanya.
Ada dua masalah yang ingin dikemukakan oleh novel ini. Pertama-tama adalah dualisme antara kekristenan dan Jepang. “Kekristenan adalah seperti wanita buruk rupa dengan cinta obsesif pada pria yang adalah Jepang” kata Inoue, dalam sebuah argumen dengan sang Pastor. Bangsa Jepang dikenal memiliki karakter budaya yang kuat, sehingga apapun pengaruh asing yang masuk, akan ‘dijepangkan’ dan diubah dari wujud aslinya. Jepang diibaratkan seperti ‘rawa-rawa’, yang menghisap segala sesuatu yang hinggap diatasnya. Sebagai seorang Katolik, tentulah Endo mengalami dilema yang sama sejak kecil - mengenai dualisme antara Jepang dan kekristenan. Dualisme - atau lebih tepat disebut paradox - inilah yang membuat Endo menjadi unik, dan mampu menghasilkan karya sastra kelas dunia seperti novel ini. Orang-orang yang lahir dengan tendensi berparadox memang punya potensi sebagai penulis hebat, seperti Elfriede Jelinek dari Austria atau Franz Kafka yang legendaris itu. Dalam novel ini, Endo menyajikan sebuah dialog antara sisi Jepang dan sisi Katoliknya, menghasilkan sebuah intrik dan plot yang begitu ironis, kejam, dan lucu sekaligus.
Yang kedua adalah masalah yang dihadapi semua orang Kristen masa kini: kebisuan Tuhan dan eksistensinya. Kita bisa mudah berargumen menentang komentar salah seorang pengawal Kristus ketika Ia disalib, “Kalau benar Engkau Anak Tuhan, selamatkanlah diriMu sendiri!”. Namun, ketika kita sendiri yang sedang disalib, atau menyaksikan orang yang kita kasihi dalam penderitaan, pertanyaan ini menjadi sulit dijawab. Kalau benar Ia Allah, mengapa Ia diam saja? Mengapa Ia membisu menyaksikan penderitaan para petani Jepang itu, yang disiksa berhari-hari? Atau menyaksikan penderitaan umat Kristen diseluruh dunia, yang sakit, yang tersiksa, yang miskin?. Inilah dilema yang diajukan oleh Endo. Kalau Ia membisu, lalu apakah Ia ada? Kalau Ia ternyata tidak ada, betapa menggelikannya seluruh perngorbanan para misionaris, betapa sia-sianya semua waktu kita di gereja, betapa nihil jadinya hidup di dunia ini! Inilah jeritan sang Pastor terus-menerus di akhir cerita, yang nampaknya merepresentasikan jeritan Endo sendiri, dan jeritan banyak orang Kristen yang mengalami penderitaan.
Lalu, apakah Endo memberikan jawaban pada akhir novelnya? Tidak. Endo tidak bisa memberikan jawaban tegas, dan sepertinya tidak seorangpun bisa. Endo bisa menjawab paradox-nya - bahwa sang Pastor yang kini secara resmi menjadi mantan pastor, hidup selama 30 tahun dalam tahanan rumah di Jepang, sebagai orang Jepang, Namun, sebenarnya sang Pastor tidak murtad, melainkan disebut ‘mencapai keimanan baru’. Sang pastor - yang tetap memberikan sakramen pengakuan dosa untuk Kichijiro bahkan sesudah mencukur janggutnya - seolah berada dalam hubungannya yang baru dengan Tuhan, yang kini ada sebagai Tuhan, tidak memiliki simbol-simbol kekristenan. Bahkan ia kemudian membantu pemerintah Jepang menumpas simbol-simbol itu, dalam paksaan tentu saja. Namun, ia tidak merasa Kristus meninggalkannya. Kristus tetap ada.
Bagaimana dengan problem kebisuan Tuhan? Nampaknya masalah ini tidak ada penyelesaiannya. Namun, jika kita renungkan akhir ceritanya, ada satu pemahaman tentang Tuhan yang tersembunyi. Yakni, bahkan antara kekristenan dan keimanan ada sebuah jarak. Kekristenan - dalam hal ini lembaga gereja - bukanlah sebuah institusi yang menentukan keimanan, melainkan keimanan lebih adalah sebuah kedekatan pribadi dengan Tuhan. Kedekatan pribadi inilah yang paling hakiki, yang murni dan tidak dicampuri oleh ambisi politik maupun organisasi. Dan kabar baik dari novel ini adalah bahwa kebisuan Tuhan inilah yang membawa sang Pastor - ironisnya, ketika ia menjadi mantan Pastor - kedalam suatu hubungan iman yang diperbaharui dengan Tuhan. Tuhan yang Esa, tidak terikat simbol-simbol agama. Tuhan yang universal, dan tidak bisa dicapai dengan akal manusia. Sang Pastor, seperti tertulis dalam 1 Korintus 13:12, telah bertemu muka dengan muka dengan Tuhan, melalui kebisuanNya.
Amin.
Embun pagi adalah kristalisasi hari. Uap, asap, debu, kabut, yang terakumulasi selama sehari penuh, akan mengalami transformasi akibat kondensasi dan sublimasi, menjadi embun pagi yang murni, suci, bersih. Demikian pula Firman Tuhan, sering tersamar dalam kotornya hari, namun selalu muncul kembali dalam bentuk murni di pagi hari. Asalkan kita rela luangkan waktu, bersihkan hati, biarkan Roh itu bekerja.
Saturday, November 21, 2009
Sunday, November 08, 2009
Kehampaan Yang Mengisi Kehampaan
“Sebab di mana ada dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah -tengah mereka”
Matius 18:20
Karen Armtrong adalah seorang penulis asal Inggris yang mengkhususkan diri di bidang komparasi agama. Salah satu karyanya adalah buku “A History of God”, yang mengisahkan sejarah pergumulan antara tiga agama samawi: Kristen, Islam, dan Yahudi. Karen, seorang mantan biarawati Katolik, dalam buku ini menulis dengan sudut pandang orang ketiga dan sangat piawai dalam menempatkan tiga agama tersebut secara adil. Namun, ada satu kesimpulan yang ia tarik, yang menarik untuk dibahas hari ini.
Setelah mendalami sejarah perjalanan agama Kristen dari kebangkitan Tuhan Yesus sampai lahirnya gerakan kharismatik, perjalanan agama Yahudi dari jaman Nabi Musa sampai aliran Kaballah, dan perjalanan agama Islam dari Nabi Muhammad SAW sampai gerakan Wahabi, beliau menarik sebuah kesimpulan. Bahwa, agama adalah sesuatu yang dinamis, karena manusia sendiri juga sangat dinamis. Manusia – seberapapun maju teknologinya atau tinggi ilmu filsafatnya, akan merasakan sebuah kehampaan (void) dalam dirinya. Kehampaan inilah yang membuat manusia gelisah, berusaha mengisinya dengan kegiatan rohani, bahkan berani memulai suatu revolusi rohani, karena ia merasa kebutuhan yang amat sangat untuk mengatasi kehampaan dalam dirinya.
Salah satu contoh kehampaan ini juga bisa kita lihat dalam buku “Eat, Pray, Love” oleh Elizabeth Gilbert. Dalam buku ini, Elizabeth mengisahkan perjalanan hidup seseorang yang merasa hampa dalam hidupnya. Tokoh dalam buku tersebut adalah seorang yang kaya dan tinggal di daerah mewah di New York, Amerika Serikat. Tapi kemudian ia menjual semua miliknya dan berkelana ke Italia, dimana ia berusaha mengisi kehampaan itu dengan makanan yang enak-enak dan pemandangan yang cantik. Kemudian, ketika kehampaan itu ternyata masih bercokol, ia terbang ke India, dan berguru di sebuah biara yoga disana. Di dalam biara ini, ia belajar bermeditasi, terus-menerus, sampai ia merasakan sebuah ‘kekuatan spiritual’ yang ada dalam dirinya. Namun, kehampaan itu masih ada! Akhirnya, Elizabeth pergi ke Pulau Bali, dimana ia bisa belajar tentang hidup yang saling membantu, saling mengasihi – Love. Rupanya, Elizabeth mengisi kehampaannya dengan kekuatan dirinya sendiri di Italia dan India, tetapi di Bali-lah ia menemukan keseimbangan. Justru interaksi dengan orang lain, menjadi anggota sebuah keluarga – itulah yang pada akhirnya berhasil mengisi kehampaan dalam dirinya.
Saya saat ini sedang berada di Republik Rakyat Cina (RRC). Negara yang kini sedang maju sangat pesat ini, memang sangat mengandalkan kekuatan diri sendiri. Rekan-rekan saya disini, terutama yang seumur dengan saya, selalu heran ketika saya menundukkan kepala untuk berdoa. “Mengapa harus berdoa? Bukankah kita mengandalkan kekuatan sendiri?” katanya – bukan dalam nada menginterogasi atau mengecilkan agama, tetapi karena betul-betul tidak mengerti mengapa orang berdoa. Ia betul-betul tidak paham, apa gunanya memejamkan mata dan berbisik dalam hati – seolah-olah ada yang mendengar diatas sana. Sesudah itu saya selalu bercanda kalau kita sedang mengerjakan sesuatu yang resikonya besar: “I hope to God, and you hope to yourself, that the machine will work!”
Minggu lalu, saya sedang mengurus Surat Ijin Mengemudi di pinggiran kota tempat saya tinggal, ditemani seorang rekan dari kantor. Seperti biasa, lokasi Kantor Polisi berada di sebuah jalan yang hiruk-pikuk, dengan perumahan padat dan jejeran pabrik-pabrik tidak jauh dari situ. Ternyata saya harus mengambil pas foto, sehingga kami menyeberang menuju tempat pengambilan fotonya. Betapa terkejutnya saya, bahwa di tengah-tengah kepadatan pinggiran kota ini, ada sebuah gereja, persis di depan tempat foto! Sebuah gereja katolik yang sangat sederhana, tanpa ukiran apapun. Dindingnya bersih, nampaknya baru dicat. Ketika masuk, hanya ada sebuah meja altar sederhana, dengan hiasan bunga plastik dan guntingan kertas warna. Diatas tabernakel, ada patung Tuhan Yesus besar – tidak dalam posisi disalib, tetapi berjubah dan sedang mengangkat tangan. Saya menduga, patung itu sebenarnya patung Yusuf – karena biasa dalam gereja Katolik ada patung Maria di sebelah kiri dan Yusuf di sebelah kanan, tapi kali ini hanya ada patung Maria saja. Di dalam gereja, ada kursi-kursi yang sudah reot, dengan bantal-bantal jerami sebagai alas untuk berlutut. Benar-benar mengingatkan saya pada gereja-gereja sederhana di pedalaman Flores. Sebuah ruang gereja yang kosong, dengan langit-langit tinggi, yang memberikan rasa teduh dalam hati, terpisah dari hingar-bingar di luar sana.
Saya kemudian masuk ke dalam gereja itu, dan duduk sejenak untuk berdoa. Sejak pindah ke Cina, saya larut dalam keseharian masyarakat disana. Hiruk-pikuk pekerjaan, setiap hari berjuang mendapatkan pesanan, menyelesaikan masalah, untuk mendapatkan uang. Uangnya untuk apa? Untuk belanja, membeli barang mewah. Bahkan, banyak orang menggunakannya untuk kesenangan pribadi – wanita dan minuman keras, sampai-sampai ritual ‘mabuk’ menjadi ritual yang umum dalam dunia bisnis di Cina. Dimana-mana ada kebebasan duniawi – mau apa saja boleh, asal ada uang. Tetapi, apakah semua kesenangan duniawi ini membawa kebahagiaan? Tidak. Tingkat stress makin tinggi, bahkan tidak sedikit orang bunuh diri atau membunuh orang lain karena mengendarai mobil sambil mabuk. Kehampaan itu – walaupun dalam kondisi ekonomi yang begitu baik – mulai muncul dan dirasakan oleh setiap orang. Lalu, apa yang bisa mengisi kehampaan ini? Apa yang bisa mengisi kekosongan ini?
Jawabannya ada pada gereja kecil ini – sebuah kekosongan, kehampaan! Lalu, bagaimana kehampaan bisa mengisi kehampaan? Ya – karena dalam kehampaan di gereja ini, ada Tuhan! Ketika rekan saya yang berasal dari Cina datang menjemput saya, ia ikut masuk ke dalam gereja. Karena kami masih harus menunggu, ia pun duduk di dekat saya, sambil ikut menundukkan kepala. Ia bahkan berbicara sambil berbisik dan mematikan suara ponselnya. Di Cina, hal ini sangat tidak lazim. Budaya Cina memang terbiasa dengan bicara dengan suara keras dan ponsel yang berbunyi – dan diangkat – setiap saat. Hal ini juga terjadi ketika pimpinan kami dari Eropa datang – sehingga kami sering harus menjelaskan supaya sang tamu tidak tersinggung, karena beginilah budaya di Cina. Lalu, mengapa di ruang kosong ini – di tengah kehampaan ini, rekan saya mendadak berbisik dan mematikan suara ponselnya? Padahal ia tidak mengerti apa itu agama, apalagi mengenal Tuhan Yesus?
Berarti, bahkan seseorang yang sangat pragmatis seperti rekan saya, bisa merasakan kehadiran Tuhan di gereja kecil itu. Benarlah apa yang Ia katakan dalam Matius 18:20, “Dimana dua-tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, Aku ada disana!”. Tuhan memang sungguh-sungguh ada dan hadir di dalam kekosongan ruang gereja itu. Dan, justru kekosongan inilah yang dibutuhkan oleh manusia! Kekosongan yang berarti jeda, istirahat, terpisah dari hingar-bingar dunia luar. Terputus dari kekuatan uang, kekuasaan, dan alkohol, tercerabut dari nafsu-nafsu duniawi. Sebuah ruang kosong, ruang hampa, dimana yang ada hanya kita – manusia, dan kehadiran Tuhan, Allah kita. Sebuah kekosongan yang bisa mengisi kekosongan dalam diri kita. Sebuah ruang hampa, yang disediakan Tuhan, supaya kita bisa duduk tenang, bersandar padaNya, berserah kepada rencanaNya.
Amin.
Matius 18:20
Karen Armtrong adalah seorang penulis asal Inggris yang mengkhususkan diri di bidang komparasi agama. Salah satu karyanya adalah buku “A History of God”, yang mengisahkan sejarah pergumulan antara tiga agama samawi: Kristen, Islam, dan Yahudi. Karen, seorang mantan biarawati Katolik, dalam buku ini menulis dengan sudut pandang orang ketiga dan sangat piawai dalam menempatkan tiga agama tersebut secara adil. Namun, ada satu kesimpulan yang ia tarik, yang menarik untuk dibahas hari ini.
Setelah mendalami sejarah perjalanan agama Kristen dari kebangkitan Tuhan Yesus sampai lahirnya gerakan kharismatik, perjalanan agama Yahudi dari jaman Nabi Musa sampai aliran Kaballah, dan perjalanan agama Islam dari Nabi Muhammad SAW sampai gerakan Wahabi, beliau menarik sebuah kesimpulan. Bahwa, agama adalah sesuatu yang dinamis, karena manusia sendiri juga sangat dinamis. Manusia – seberapapun maju teknologinya atau tinggi ilmu filsafatnya, akan merasakan sebuah kehampaan (void) dalam dirinya. Kehampaan inilah yang membuat manusia gelisah, berusaha mengisinya dengan kegiatan rohani, bahkan berani memulai suatu revolusi rohani, karena ia merasa kebutuhan yang amat sangat untuk mengatasi kehampaan dalam dirinya.
Salah satu contoh kehampaan ini juga bisa kita lihat dalam buku “Eat, Pray, Love” oleh Elizabeth Gilbert. Dalam buku ini, Elizabeth mengisahkan perjalanan hidup seseorang yang merasa hampa dalam hidupnya. Tokoh dalam buku tersebut adalah seorang yang kaya dan tinggal di daerah mewah di New York, Amerika Serikat. Tapi kemudian ia menjual semua miliknya dan berkelana ke Italia, dimana ia berusaha mengisi kehampaan itu dengan makanan yang enak-enak dan pemandangan yang cantik. Kemudian, ketika kehampaan itu ternyata masih bercokol, ia terbang ke India, dan berguru di sebuah biara yoga disana. Di dalam biara ini, ia belajar bermeditasi, terus-menerus, sampai ia merasakan sebuah ‘kekuatan spiritual’ yang ada dalam dirinya. Namun, kehampaan itu masih ada! Akhirnya, Elizabeth pergi ke Pulau Bali, dimana ia bisa belajar tentang hidup yang saling membantu, saling mengasihi – Love. Rupanya, Elizabeth mengisi kehampaannya dengan kekuatan dirinya sendiri di Italia dan India, tetapi di Bali-lah ia menemukan keseimbangan. Justru interaksi dengan orang lain, menjadi anggota sebuah keluarga – itulah yang pada akhirnya berhasil mengisi kehampaan dalam dirinya.
Saya saat ini sedang berada di Republik Rakyat Cina (RRC). Negara yang kini sedang maju sangat pesat ini, memang sangat mengandalkan kekuatan diri sendiri. Rekan-rekan saya disini, terutama yang seumur dengan saya, selalu heran ketika saya menundukkan kepala untuk berdoa. “Mengapa harus berdoa? Bukankah kita mengandalkan kekuatan sendiri?” katanya – bukan dalam nada menginterogasi atau mengecilkan agama, tetapi karena betul-betul tidak mengerti mengapa orang berdoa. Ia betul-betul tidak paham, apa gunanya memejamkan mata dan berbisik dalam hati – seolah-olah ada yang mendengar diatas sana. Sesudah itu saya selalu bercanda kalau kita sedang mengerjakan sesuatu yang resikonya besar: “I hope to God, and you hope to yourself, that the machine will work!”
Minggu lalu, saya sedang mengurus Surat Ijin Mengemudi di pinggiran kota tempat saya tinggal, ditemani seorang rekan dari kantor. Seperti biasa, lokasi Kantor Polisi berada di sebuah jalan yang hiruk-pikuk, dengan perumahan padat dan jejeran pabrik-pabrik tidak jauh dari situ. Ternyata saya harus mengambil pas foto, sehingga kami menyeberang menuju tempat pengambilan fotonya. Betapa terkejutnya saya, bahwa di tengah-tengah kepadatan pinggiran kota ini, ada sebuah gereja, persis di depan tempat foto! Sebuah gereja katolik yang sangat sederhana, tanpa ukiran apapun. Dindingnya bersih, nampaknya baru dicat. Ketika masuk, hanya ada sebuah meja altar sederhana, dengan hiasan bunga plastik dan guntingan kertas warna. Diatas tabernakel, ada patung Tuhan Yesus besar – tidak dalam posisi disalib, tetapi berjubah dan sedang mengangkat tangan. Saya menduga, patung itu sebenarnya patung Yusuf – karena biasa dalam gereja Katolik ada patung Maria di sebelah kiri dan Yusuf di sebelah kanan, tapi kali ini hanya ada patung Maria saja. Di dalam gereja, ada kursi-kursi yang sudah reot, dengan bantal-bantal jerami sebagai alas untuk berlutut. Benar-benar mengingatkan saya pada gereja-gereja sederhana di pedalaman Flores. Sebuah ruang gereja yang kosong, dengan langit-langit tinggi, yang memberikan rasa teduh dalam hati, terpisah dari hingar-bingar di luar sana.
Saya kemudian masuk ke dalam gereja itu, dan duduk sejenak untuk berdoa. Sejak pindah ke Cina, saya larut dalam keseharian masyarakat disana. Hiruk-pikuk pekerjaan, setiap hari berjuang mendapatkan pesanan, menyelesaikan masalah, untuk mendapatkan uang. Uangnya untuk apa? Untuk belanja, membeli barang mewah. Bahkan, banyak orang menggunakannya untuk kesenangan pribadi – wanita dan minuman keras, sampai-sampai ritual ‘mabuk’ menjadi ritual yang umum dalam dunia bisnis di Cina. Dimana-mana ada kebebasan duniawi – mau apa saja boleh, asal ada uang. Tetapi, apakah semua kesenangan duniawi ini membawa kebahagiaan? Tidak. Tingkat stress makin tinggi, bahkan tidak sedikit orang bunuh diri atau membunuh orang lain karena mengendarai mobil sambil mabuk. Kehampaan itu – walaupun dalam kondisi ekonomi yang begitu baik – mulai muncul dan dirasakan oleh setiap orang. Lalu, apa yang bisa mengisi kehampaan ini? Apa yang bisa mengisi kekosongan ini?
Jawabannya ada pada gereja kecil ini – sebuah kekosongan, kehampaan! Lalu, bagaimana kehampaan bisa mengisi kehampaan? Ya – karena dalam kehampaan di gereja ini, ada Tuhan! Ketika rekan saya yang berasal dari Cina datang menjemput saya, ia ikut masuk ke dalam gereja. Karena kami masih harus menunggu, ia pun duduk di dekat saya, sambil ikut menundukkan kepala. Ia bahkan berbicara sambil berbisik dan mematikan suara ponselnya. Di Cina, hal ini sangat tidak lazim. Budaya Cina memang terbiasa dengan bicara dengan suara keras dan ponsel yang berbunyi – dan diangkat – setiap saat. Hal ini juga terjadi ketika pimpinan kami dari Eropa datang – sehingga kami sering harus menjelaskan supaya sang tamu tidak tersinggung, karena beginilah budaya di Cina. Lalu, mengapa di ruang kosong ini – di tengah kehampaan ini, rekan saya mendadak berbisik dan mematikan suara ponselnya? Padahal ia tidak mengerti apa itu agama, apalagi mengenal Tuhan Yesus?
Berarti, bahkan seseorang yang sangat pragmatis seperti rekan saya, bisa merasakan kehadiran Tuhan di gereja kecil itu. Benarlah apa yang Ia katakan dalam Matius 18:20, “Dimana dua-tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, Aku ada disana!”. Tuhan memang sungguh-sungguh ada dan hadir di dalam kekosongan ruang gereja itu. Dan, justru kekosongan inilah yang dibutuhkan oleh manusia! Kekosongan yang berarti jeda, istirahat, terpisah dari hingar-bingar dunia luar. Terputus dari kekuatan uang, kekuasaan, dan alkohol, tercerabut dari nafsu-nafsu duniawi. Sebuah ruang kosong, ruang hampa, dimana yang ada hanya kita – manusia, dan kehadiran Tuhan, Allah kita. Sebuah kekosongan yang bisa mengisi kekosongan dalam diri kita. Sebuah ruang hampa, yang disediakan Tuhan, supaya kita bisa duduk tenang, bersandar padaNya, berserah kepada rencanaNya.
Amin.
Prinsip Matius
“Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.”
Matius 25:29
Penjelasan Tuhan Yesus mengenai talenta ini sudah sering dibahas di berbagai khotbah. Tapi, kalau diperhatikan, bukankah perikop diatas ini kelihatannya bertentangan dengan prinsip yang biasanya diajarkan oleh Tuhan Yesus? Biasanya Tuhan Yesus selalu membela yang pihak yang lemah. Ia selalu berada di pihak yang miskin, sakit, atau tidak berdaya, bahkan Ia pernah berkata: “Kemarilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat” (Mat 11:28). Tapi di perikop ini tidak demikian. Ia justru seolah-olah bertindak dengan kejam!
Bayangkan: karena mau keluar negri, si Boss menitipkan uangnya pada tiga pegawainya: satu orang mendapat Rp 50 juta, orang kedua Rp 20 juta, dan orang ketiga Rp 10 juta. Pegawainya ini bukan manajer, bukan pula direktur. Si Boss juga tidak memberikan instruksi apa-apa, tahu-tahu dia pergi saja. Nah, para pegawainya pun kebingungan, dan bertindak sendiri-sendiri. Yang dapat Rp 50 juta, pontang-panting buka toko, memberi kredit, dan akhirnya mendapat untung Rp 50 juta lagi. Total Rp 100 juta! Yang kedua sama: dengan Rp 20 juta, ia membuka usaha MLM dan mendapat untung 20 juta. Yang mendapat modal paling kecil, cuma Rp 10 juta, tentu saja bingung menjalankan uangnya. Modal Rp 10 juta, mau buat apa? Akhirnya, ia simpan saja sampai si Boss pulang. Wajar bukan? Masih untung tidak ia bawa kabur atau dikorupsi. Toh si Boss tidak memberikan instruksi apa-apa, apalagi mengajarinya menjalankan uang. Namanya juga nitip, kembali modal wajar dong?
Biasanya, kisah ini akan berakhir happy ending a la Alkitab: yang dapat untung besar akan dapat pujian dari si Boss, sementara sang pegawai malang yang dapat modal paling kecil, juga akan dihargai oleh si Boss, karena minimal ia tidak mencuri atau mengkorupsi. Yang lemah harus dibela bukan? Tapi, apa yang terjadi disini? Si Boss bukannya berbaik hati! Lihat saja komentarnya: “Kalau begitu, uang Rp 10 juta itu kamu transfer ke Joni yang dapat Rp 100 juta, biar bonus dia bertambah Rp 10 juta!” (ref. Mat. 25:28). Waduh, kejam sekali! Masak sudah miskin, diambil pula uangnya, diberikan pada yang paling kaya lagi! Bukan cuma itu: “Untuk kamu, saya akan PHK sekarang juga, supaya masuk ke kegelapan paling gelap!” (ref. Mat. 24:30). Nah. Bukan cuma diambil uangnya, sang pegawai yang malang ini malah di-PHK pula. Padahal, ia tidak bersalah bukan? Si Boss kan tidak memberi target, berapa yang harus ia capai? Si Boss juga tidak memberi training, bagaimana caranya menjalankan uang. Lalu, mengapa si Boss begitu kejam?
Malcolm Gladwell, seorang penulis asal New York dalam bukunya “Outliers”, mengajukan sebuah teori menarik mengenai kesuksesan. “Outliers” berarti seseorang yang luar biasa, atau berhasil mencapai sesuatu diluar kebiasaan umum. Dalam buku ini, ia menganalisa kesuksesan orang-orang terkenal, baik atlit, konglomerat, maupun politikus. Ia menyinggung tentang ‘prinsip Matius’ dalam bab kedua: bahwa mereka yang mempunyai akan diberi, dan yang kekurangan akan dikurangi.
Contohnya sederhana: ia menganalisa daftar tanggal lahir dari tim hoki nasional Kanada dan tim nasional sepak bola Ceko (Anda bisa mencoba pada tim Persib atau Persija!). Ia mendapatkan bahwa hampir semua pemain lahir pada bulan Januari sampai Maret! Mengapa demikian? Ini disebabkan oleh proses penentuan pemain berbakat yang diambil dari tim sekolah. Sekolah di Kanada dan Ceko memiliki cut-off date atau tanggal batas kelas pada 1 Januari. Jadi, anak yang lahir 2 Januari akan sekelas dengan anak yang lahir 31 Desember pada tahun yang sama. Apa akibatnya? Tentu saja Anton yang lahir 2 Januari badannya lebih besar, larinya lebih cepat, dan perkembangannya lebih maju, dibanding Toni yang lahir 31 Desember!
Jadi, ternyata, anak yang masuk seleksi tim terbaik bukanlah yang paling berbakat, tapi yang lahir duluan. Dengan lahir duluan, sang anak tumbuh lebih dulu, masuk tim nasional, lebih banyak dapat waktu latihan, lebih banyak dapat teman latih setanding, dan seterusnya, sampai sang anak bisa jadi atlit terkenal - hanya gara-gara ia lahir lebih dulu - bukan karena ia berbakat. Inilah yang disebut prinsip Matius: sudah untung karena lahir lebih dulu, makin untung karena dapat berbagai kemudahan! Bagaimana dengan yang lahir belakangan? Tidak hanya dalam olah raga, dalam pelajaran pun sering tertinggal, akhirnya dicap sebagai anak ’bodoh’, sampai-sampai tumbuh menjadi orang yang tidak percaya diri. Nah - yang lahir belakangan - sudah kurang, makin dikurangi pula!
Berarti, Tuhan Yesus memang jenius. Selama ini kita mengira bahwa kesuksesan adalah murni dari bakat sendiri, hasil usaha sendiri, buah kerja keras dan kesungguhan hati. Ternyata tidak! Ada orang yang memang dilahirkan untuk sukses - karena punya fasilitas, keluarga, bahkan tanggal lahir - yang cocok. Sementara ada orang yang kurang beruntung, dilahirkan pada waktu yang salah, dari keluarga broken home pula. Menyedihkan memang, tapi, sejarah membuktikan, begitulah adanya! Dan hal ini sudah dikemukakan oleh Tuhan Yesus, dua ribu tahun yang lalu. Bahwa ada orang yang memang punya 5 talenta - artinya punya banyak kesempatan untuk sukses, dan ada yang punya 1 talenta - punya lebih sedikit kemungkinan untuk sukses.
Lalu, apa pelajaran yang bisa ditarik dari perikop Matius ini? Perhatikan bahwa Tuhan Yesus justru mengecam orang yang memiliki 1 talenta. Mengapa? Karena sikapnya! Yang 5 talenta dapat 5 talenta, yang 2 talenta dapat 2 talenta. Pastilah si Boss juga akan senang, kalau saja yang 1 talenta itu bertambah 1 saja, jadi 2 talenta. Cukup! Talenta yang sedikit bukan alasan untuk tidak berusaha, tidak bekerja keras. Talenta adalah tanggung jawab - dan berapapun jumlahnya, harus diusahakan. Sang pegawai yang malang ini dihukum bukan karena ia modalnya sedikit, tapi karena ia tidak berusaha sama sekali untuk mengembangkan modalnya. Padahal, dengan keterbatasannya, justru ia harus berusaha lebih keras untuk berhasil.
Banyak diantara kita yang bersikap seperti si pegawai bertalenta satu ini. Merasa lahir dari kondisi yang kurang beruntung, dan tambah tidak beruntung karena sikap kita yang pasif. ”Memang nasib sudah begini...” kata yang satu. ”Mungkin ini kehendak Tuhan...” kata yang lain. Padahal, omong kosong! Apakah Tuhan menghendaki kita pasrah? Apakah Tuhan menghendaki kita mengubur talenta kita dalam tanah dan meratapinya? Tidak! Tuhan ingin kita berusaha. Tuhan ingin kita bekerja, mengubah nasib, dan menjadi sukses - darimanapun kita berasal. Ia bukan Tuhan yang kejam - buktinya, Ia cukup puas mendapat 5 talenta dari modal 5, dan 2 talenta dari modal 2. Ia tidak mengharapkan 100 talenta dari modal 5 talenta. Tapi, inilah intinya - talenta itu harus berkembang, tidak boleh dikubur dalam tanah dan ditangisi seumur hidup. Jadi, mulailah berusaha. Jangan menyalahkan Tuhan atau nasib, karena ini dan itu. Bahwa beberapa orang lebih beruntung dari kita, itu sudah wajar di dunia ini. Tapi bukan berarti kita tidak bisa sukses. Bangun dan kejarlah talenta itu, supaya kita tidak dihukum oleh Boss kita!
Kunshan, 25 Oktober 2009.
Matius 25:29
Penjelasan Tuhan Yesus mengenai talenta ini sudah sering dibahas di berbagai khotbah. Tapi, kalau diperhatikan, bukankah perikop diatas ini kelihatannya bertentangan dengan prinsip yang biasanya diajarkan oleh Tuhan Yesus? Biasanya Tuhan Yesus selalu membela yang pihak yang lemah. Ia selalu berada di pihak yang miskin, sakit, atau tidak berdaya, bahkan Ia pernah berkata: “Kemarilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat” (Mat 11:28). Tapi di perikop ini tidak demikian. Ia justru seolah-olah bertindak dengan kejam!
Bayangkan: karena mau keluar negri, si Boss menitipkan uangnya pada tiga pegawainya: satu orang mendapat Rp 50 juta, orang kedua Rp 20 juta, dan orang ketiga Rp 10 juta. Pegawainya ini bukan manajer, bukan pula direktur. Si Boss juga tidak memberikan instruksi apa-apa, tahu-tahu dia pergi saja. Nah, para pegawainya pun kebingungan, dan bertindak sendiri-sendiri. Yang dapat Rp 50 juta, pontang-panting buka toko, memberi kredit, dan akhirnya mendapat untung Rp 50 juta lagi. Total Rp 100 juta! Yang kedua sama: dengan Rp 20 juta, ia membuka usaha MLM dan mendapat untung 20 juta. Yang mendapat modal paling kecil, cuma Rp 10 juta, tentu saja bingung menjalankan uangnya. Modal Rp 10 juta, mau buat apa? Akhirnya, ia simpan saja sampai si Boss pulang. Wajar bukan? Masih untung tidak ia bawa kabur atau dikorupsi. Toh si Boss tidak memberikan instruksi apa-apa, apalagi mengajarinya menjalankan uang. Namanya juga nitip, kembali modal wajar dong?
Biasanya, kisah ini akan berakhir happy ending a la Alkitab: yang dapat untung besar akan dapat pujian dari si Boss, sementara sang pegawai malang yang dapat modal paling kecil, juga akan dihargai oleh si Boss, karena minimal ia tidak mencuri atau mengkorupsi. Yang lemah harus dibela bukan? Tapi, apa yang terjadi disini? Si Boss bukannya berbaik hati! Lihat saja komentarnya: “Kalau begitu, uang Rp 10 juta itu kamu transfer ke Joni yang dapat Rp 100 juta, biar bonus dia bertambah Rp 10 juta!” (ref. Mat. 25:28). Waduh, kejam sekali! Masak sudah miskin, diambil pula uangnya, diberikan pada yang paling kaya lagi! Bukan cuma itu: “Untuk kamu, saya akan PHK sekarang juga, supaya masuk ke kegelapan paling gelap!” (ref. Mat. 24:30). Nah. Bukan cuma diambil uangnya, sang pegawai yang malang ini malah di-PHK pula. Padahal, ia tidak bersalah bukan? Si Boss kan tidak memberi target, berapa yang harus ia capai? Si Boss juga tidak memberi training, bagaimana caranya menjalankan uang. Lalu, mengapa si Boss begitu kejam?
Malcolm Gladwell, seorang penulis asal New York dalam bukunya “Outliers”, mengajukan sebuah teori menarik mengenai kesuksesan. “Outliers” berarti seseorang yang luar biasa, atau berhasil mencapai sesuatu diluar kebiasaan umum. Dalam buku ini, ia menganalisa kesuksesan orang-orang terkenal, baik atlit, konglomerat, maupun politikus. Ia menyinggung tentang ‘prinsip Matius’ dalam bab kedua: bahwa mereka yang mempunyai akan diberi, dan yang kekurangan akan dikurangi.
Contohnya sederhana: ia menganalisa daftar tanggal lahir dari tim hoki nasional Kanada dan tim nasional sepak bola Ceko (Anda bisa mencoba pada tim Persib atau Persija!). Ia mendapatkan bahwa hampir semua pemain lahir pada bulan Januari sampai Maret! Mengapa demikian? Ini disebabkan oleh proses penentuan pemain berbakat yang diambil dari tim sekolah. Sekolah di Kanada dan Ceko memiliki cut-off date atau tanggal batas kelas pada 1 Januari. Jadi, anak yang lahir 2 Januari akan sekelas dengan anak yang lahir 31 Desember pada tahun yang sama. Apa akibatnya? Tentu saja Anton yang lahir 2 Januari badannya lebih besar, larinya lebih cepat, dan perkembangannya lebih maju, dibanding Toni yang lahir 31 Desember!
Jadi, ternyata, anak yang masuk seleksi tim terbaik bukanlah yang paling berbakat, tapi yang lahir duluan. Dengan lahir duluan, sang anak tumbuh lebih dulu, masuk tim nasional, lebih banyak dapat waktu latihan, lebih banyak dapat teman latih setanding, dan seterusnya, sampai sang anak bisa jadi atlit terkenal - hanya gara-gara ia lahir lebih dulu - bukan karena ia berbakat. Inilah yang disebut prinsip Matius: sudah untung karena lahir lebih dulu, makin untung karena dapat berbagai kemudahan! Bagaimana dengan yang lahir belakangan? Tidak hanya dalam olah raga, dalam pelajaran pun sering tertinggal, akhirnya dicap sebagai anak ’bodoh’, sampai-sampai tumbuh menjadi orang yang tidak percaya diri. Nah - yang lahir belakangan - sudah kurang, makin dikurangi pula!
Berarti, Tuhan Yesus memang jenius. Selama ini kita mengira bahwa kesuksesan adalah murni dari bakat sendiri, hasil usaha sendiri, buah kerja keras dan kesungguhan hati. Ternyata tidak! Ada orang yang memang dilahirkan untuk sukses - karena punya fasilitas, keluarga, bahkan tanggal lahir - yang cocok. Sementara ada orang yang kurang beruntung, dilahirkan pada waktu yang salah, dari keluarga broken home pula. Menyedihkan memang, tapi, sejarah membuktikan, begitulah adanya! Dan hal ini sudah dikemukakan oleh Tuhan Yesus, dua ribu tahun yang lalu. Bahwa ada orang yang memang punya 5 talenta - artinya punya banyak kesempatan untuk sukses, dan ada yang punya 1 talenta - punya lebih sedikit kemungkinan untuk sukses.
Lalu, apa pelajaran yang bisa ditarik dari perikop Matius ini? Perhatikan bahwa Tuhan Yesus justru mengecam orang yang memiliki 1 talenta. Mengapa? Karena sikapnya! Yang 5 talenta dapat 5 talenta, yang 2 talenta dapat 2 talenta. Pastilah si Boss juga akan senang, kalau saja yang 1 talenta itu bertambah 1 saja, jadi 2 talenta. Cukup! Talenta yang sedikit bukan alasan untuk tidak berusaha, tidak bekerja keras. Talenta adalah tanggung jawab - dan berapapun jumlahnya, harus diusahakan. Sang pegawai yang malang ini dihukum bukan karena ia modalnya sedikit, tapi karena ia tidak berusaha sama sekali untuk mengembangkan modalnya. Padahal, dengan keterbatasannya, justru ia harus berusaha lebih keras untuk berhasil.
Banyak diantara kita yang bersikap seperti si pegawai bertalenta satu ini. Merasa lahir dari kondisi yang kurang beruntung, dan tambah tidak beruntung karena sikap kita yang pasif. ”Memang nasib sudah begini...” kata yang satu. ”Mungkin ini kehendak Tuhan...” kata yang lain. Padahal, omong kosong! Apakah Tuhan menghendaki kita pasrah? Apakah Tuhan menghendaki kita mengubur talenta kita dalam tanah dan meratapinya? Tidak! Tuhan ingin kita berusaha. Tuhan ingin kita bekerja, mengubah nasib, dan menjadi sukses - darimanapun kita berasal. Ia bukan Tuhan yang kejam - buktinya, Ia cukup puas mendapat 5 talenta dari modal 5, dan 2 talenta dari modal 2. Ia tidak mengharapkan 100 talenta dari modal 5 talenta. Tapi, inilah intinya - talenta itu harus berkembang, tidak boleh dikubur dalam tanah dan ditangisi seumur hidup. Jadi, mulailah berusaha. Jangan menyalahkan Tuhan atau nasib, karena ini dan itu. Bahwa beberapa orang lebih beruntung dari kita, itu sudah wajar di dunia ini. Tapi bukan berarti kita tidak bisa sukses. Bangun dan kejarlah talenta itu, supaya kita tidak dihukum oleh Boss kita!
Kunshan, 25 Oktober 2009.
Monday, August 17, 2009
Menguduskan Hari Tuhan
“Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah. Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat perhentianNya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari pekerjaanNya”
Ibrani 4:9-10
Di Indonesia, hak cuti atau liburan seringkali jarang digunakan. Bukan saja bagi karyawan, tapi bagi para manajer pun nampaknya hal cuti bukanlah satu hak yang penting. Ada cerita klasik, bahwa kalau ada seorang supervisor yang mau cuti, maka atasannya dengan berbagai alasan dan argumen akan berusaha sekuat tenaga supaya cuti itu tidak jadi diambil. Jadi, kesempatan cuti hanya ada pada harpitnas, itupun hanya satu atau dua hari saja.
Hal ini sangat lain dengan kondisi di Eropa atau di Amerika. Hak cuti, disana sangat dihargai. Di Jerman, seorang pegawai berhak cuti 25 hari setahun, dan tidak bisa diganggu gugat. Artinya, adalah tugas atasannya untuk menyiapkan pembagian tugas jika sang karyawan ingin cuti, sehingga ia bisa cuti kapan saja. Saya ingat, pertama kali masuk kerja, saya menerima pesan bahwa rekanan saya sedang cuti sampai sebulan! Di Indonesia, kalau cuti sebulan, waktu kita kembali, sudah ada orang lain yang duduk di meja kita, alias dianggap mengundurkan diri!
Tapi, karena saya punya bisnis sendiri kecil-kecilan, saya punya pengalaman yang unik. Saya memiliki sebuah laundry, dan laundry tentu saja dituntut untuk memberikan pelayanan tanpa libur. Akhirnya, saya membuat program bahwa karyawan bisa menukar hari libur mereka dengan uang. Ide saya ini disambut baik oleh karyawan, yang katanya toh tidak akan kemana-mana, sekalipun cuti. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Para karyawan dilanda perasaan tidak puas terus-menerus. Sering terjadi keributan di kantor karena satu karyawan bertengkar dengan yang lainnya. Akhirnya, satu persatu mengundurkan diri, bahkan untuk gaji yang lebih rendah. Ada apa ini?
Rupanya, dengan bekerja tanpa cuti, paya karyawan memang senang menerima uang lebih, tetapi tanpa disadari mereka menjadi stress, sehingga lama-lama tidak tahan dengan kondisi ini. Sehingga, sejak saat itu, saya memutuskan bahwa cuti wajib diambil dan tidak boleh ditukar dengan uang atau lembur sekalipun! Sejak itu, tidak seorangpun karyawan mengundurkan diri.
Setiap manusia perlu perhentian. Ini adalah konsep yang diajarkan sejak jaman Musa, bahwa hari ketujuh adalah hari peristirahatan. Dari hari peristirahatan, atau yang disebut dengan hari Sabat ini, ada dua hal yang bisa kita pelajari.
Kata ‘Sabat’ pertama kali dalam Alkitab pada Keluaran 16:23, ketika dikisahkan mengenai manna. Diceritakan bahwa Tuhan memberi makan manna pada bangsa Israel setiap hari selama empat puluh tahun dalam pengembaraan mereka di padang pasir. Tapi, sistem yang diterapkan Tuhan cukup aneh: bangsa Israel akan memperoleh manna setiap hari selama enam hari. Pada hari keenam, mereka akan mendapat jatah dobel, dan pada hari ketujuh tidak ada manna. Apa yang Tuhan ingin ajarkan pada umat Israel? Hal ini dapat kita lihat pada Keluaran 16:27. Tuhan murka, ketika mengetahui bahwa bahwa pada hari ketujuhpun ada orang Israel yang keluar mencari-cari manna!
Intinya, Tuhan ingin mengajarkan manusia tentang keserakahan. Apa yang terjadi ketika pada hari keenam, manusia mendapat jatah dobel? Ya - semua dilahap habis, tanpa berpikir panjang. Jadi, adanya hari perhentian adalah pelajaran bahwa tidak sepatutnya manusia terus-menerus bekerja, mengumpulkan harta tanpa henti. Tuhan memberi rejeki cukup untuk seminggu, sehingga kita bisa libur sehari. Kalau kita masih mencoba-coba mengumpulkan lebih dari jatah kita, maka Ia akan murka!
Konsep kedua kemudian diajarkan oleh Tuhan Yesus, karena penerapannya sudah salah kaprah. Konsep ‘perhentian’, yang lebih berarti istirahat, diterjemahkan secara ekstrim oleh pemuka agama Yahudi menjadi sebuah keharusan untuk berdiam diri. Yang tadinya sebuah anjuran, diterjemahkan menjadi larangan, hukuman, dan cara untuk mencari untung! Itulah sebabnya, ketika Tuhan Yesus memetik gandum untuk makan (Mat 12:1-8) atau menyembuhkan orang sakit (Yoh 5:1-18), yang diterimaNya dari pemuka agama Yahudi adalah kritikan, bukan pujian. Dengan perbuatan ini, Tuhan Yesus justru ingin mengembalikan makna hari Sabat yang sesungguhnya. Bukannya sebuah hari larangan, melainkan sebuah hari anjuran - hari dimana manusian dianjurkan untuk beristirahat. Untuk memberi waktu bagi diri sendiri dan Tuhan, untuk mengalami jeda dari kegiatan sehari-hari mencari nafkah. Inilah makna kedua hari Sabat yang diluruskan kembali oleh Tuhan Yesus: bahwa Sabat adalah waktu istirahat, bukan berarti dilarang melakukan kegiatan apa-apa. Melainkan, mengarahkan kegiatan kita untuk hal-hal yang tidak kita lakukan di hari kerja biasa.
Lalu, bagaimana kita di dunia modern sekarang ini menyikapi hari Sabat? Ya, hari Sabat adalah hari istirahat. Istirahat menurut definisi psikologi bukan berari tidur atau mengaso seharian, tetapi melakukan kegiatan yang berlawanan dengan kegiatan kita sehari-hari. Artinya, kalau sehari-hari kita banyak berpikir, istirahat berarti memancing. Atau, kalau kita berprofesi sebagai nelayan, maka merawat tanaman bunga di kebun juga adalah istirahat! Dan, jangan lupa bahwa peristirahatan ini adalah anugerah dari Allah, sehingga kita harus bersyukur padaNya. Kita harus mengisi hari Minggu dengan kegiatan rohani, berbakti kepada Tuhan. Ia tidak menuntut kita melakukannya setiap hari, bukan? Bersyukurlah atas satu hari itu!
Amin
Ibrani 4:9-10
Di Indonesia, hak cuti atau liburan seringkali jarang digunakan. Bukan saja bagi karyawan, tapi bagi para manajer pun nampaknya hal cuti bukanlah satu hak yang penting. Ada cerita klasik, bahwa kalau ada seorang supervisor yang mau cuti, maka atasannya dengan berbagai alasan dan argumen akan berusaha sekuat tenaga supaya cuti itu tidak jadi diambil. Jadi, kesempatan cuti hanya ada pada harpitnas, itupun hanya satu atau dua hari saja.
Hal ini sangat lain dengan kondisi di Eropa atau di Amerika. Hak cuti, disana sangat dihargai. Di Jerman, seorang pegawai berhak cuti 25 hari setahun, dan tidak bisa diganggu gugat. Artinya, adalah tugas atasannya untuk menyiapkan pembagian tugas jika sang karyawan ingin cuti, sehingga ia bisa cuti kapan saja. Saya ingat, pertama kali masuk kerja, saya menerima pesan bahwa rekanan saya sedang cuti sampai sebulan! Di Indonesia, kalau cuti sebulan, waktu kita kembali, sudah ada orang lain yang duduk di meja kita, alias dianggap mengundurkan diri!
Tapi, karena saya punya bisnis sendiri kecil-kecilan, saya punya pengalaman yang unik. Saya memiliki sebuah laundry, dan laundry tentu saja dituntut untuk memberikan pelayanan tanpa libur. Akhirnya, saya membuat program bahwa karyawan bisa menukar hari libur mereka dengan uang. Ide saya ini disambut baik oleh karyawan, yang katanya toh tidak akan kemana-mana, sekalipun cuti. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Para karyawan dilanda perasaan tidak puas terus-menerus. Sering terjadi keributan di kantor karena satu karyawan bertengkar dengan yang lainnya. Akhirnya, satu persatu mengundurkan diri, bahkan untuk gaji yang lebih rendah. Ada apa ini?
Rupanya, dengan bekerja tanpa cuti, paya karyawan memang senang menerima uang lebih, tetapi tanpa disadari mereka menjadi stress, sehingga lama-lama tidak tahan dengan kondisi ini. Sehingga, sejak saat itu, saya memutuskan bahwa cuti wajib diambil dan tidak boleh ditukar dengan uang atau lembur sekalipun! Sejak itu, tidak seorangpun karyawan mengundurkan diri.
Setiap manusia perlu perhentian. Ini adalah konsep yang diajarkan sejak jaman Musa, bahwa hari ketujuh adalah hari peristirahatan. Dari hari peristirahatan, atau yang disebut dengan hari Sabat ini, ada dua hal yang bisa kita pelajari.
Kata ‘Sabat’ pertama kali dalam Alkitab pada Keluaran 16:23, ketika dikisahkan mengenai manna. Diceritakan bahwa Tuhan memberi makan manna pada bangsa Israel setiap hari selama empat puluh tahun dalam pengembaraan mereka di padang pasir. Tapi, sistem yang diterapkan Tuhan cukup aneh: bangsa Israel akan memperoleh manna setiap hari selama enam hari. Pada hari keenam, mereka akan mendapat jatah dobel, dan pada hari ketujuh tidak ada manna. Apa yang Tuhan ingin ajarkan pada umat Israel? Hal ini dapat kita lihat pada Keluaran 16:27. Tuhan murka, ketika mengetahui bahwa bahwa pada hari ketujuhpun ada orang Israel yang keluar mencari-cari manna!
Intinya, Tuhan ingin mengajarkan manusia tentang keserakahan. Apa yang terjadi ketika pada hari keenam, manusia mendapat jatah dobel? Ya - semua dilahap habis, tanpa berpikir panjang. Jadi, adanya hari perhentian adalah pelajaran bahwa tidak sepatutnya manusia terus-menerus bekerja, mengumpulkan harta tanpa henti. Tuhan memberi rejeki cukup untuk seminggu, sehingga kita bisa libur sehari. Kalau kita masih mencoba-coba mengumpulkan lebih dari jatah kita, maka Ia akan murka!
Konsep kedua kemudian diajarkan oleh Tuhan Yesus, karena penerapannya sudah salah kaprah. Konsep ‘perhentian’, yang lebih berarti istirahat, diterjemahkan secara ekstrim oleh pemuka agama Yahudi menjadi sebuah keharusan untuk berdiam diri. Yang tadinya sebuah anjuran, diterjemahkan menjadi larangan, hukuman, dan cara untuk mencari untung! Itulah sebabnya, ketika Tuhan Yesus memetik gandum untuk makan (Mat 12:1-8) atau menyembuhkan orang sakit (Yoh 5:1-18), yang diterimaNya dari pemuka agama Yahudi adalah kritikan, bukan pujian. Dengan perbuatan ini, Tuhan Yesus justru ingin mengembalikan makna hari Sabat yang sesungguhnya. Bukannya sebuah hari larangan, melainkan sebuah hari anjuran - hari dimana manusian dianjurkan untuk beristirahat. Untuk memberi waktu bagi diri sendiri dan Tuhan, untuk mengalami jeda dari kegiatan sehari-hari mencari nafkah. Inilah makna kedua hari Sabat yang diluruskan kembali oleh Tuhan Yesus: bahwa Sabat adalah waktu istirahat, bukan berarti dilarang melakukan kegiatan apa-apa. Melainkan, mengarahkan kegiatan kita untuk hal-hal yang tidak kita lakukan di hari kerja biasa.
Lalu, bagaimana kita di dunia modern sekarang ini menyikapi hari Sabat? Ya, hari Sabat adalah hari istirahat. Istirahat menurut definisi psikologi bukan berari tidur atau mengaso seharian, tetapi melakukan kegiatan yang berlawanan dengan kegiatan kita sehari-hari. Artinya, kalau sehari-hari kita banyak berpikir, istirahat berarti memancing. Atau, kalau kita berprofesi sebagai nelayan, maka merawat tanaman bunga di kebun juga adalah istirahat! Dan, jangan lupa bahwa peristirahatan ini adalah anugerah dari Allah, sehingga kita harus bersyukur padaNya. Kita harus mengisi hari Minggu dengan kegiatan rohani, berbakti kepada Tuhan. Ia tidak menuntut kita melakukannya setiap hari, bukan? Bersyukurlah atas satu hari itu!
Amin
Tuesday, August 04, 2009
Gembala Yang Jahat
“And the Lord said to me ‘throw it to the potter’ that princely price they set on me. So I took the thirty pieces of silver and threw them into the house of the Lord for the potter”
Zakharia 11:13
“But the chief priests took the silver pieces and said, ‘It is not lawful to put them into the treasury, because they are the price of blood’. And they consulted together and bought with them the potter’s field, to bury strangers in”
Matthew 27:6-7
Kalau kita sudah sering mendengar mengenai gembala yang baik, hari ini saya mau berbicara soal gembala yang jahat. Apakah ada gembala yang jahat? Apa yang dimaksud dengan gembala yang jahat?
Zakharia 11:4-17 mengisahkan tentang Nabi Zakharia yang sedang memerankan seorang gembala yang jahat. Lihatlah apa yang dikatakannya pada Zakharia 11:9 - diterjemahkan dalam bahasa sehari-hari - “Saya sudah bosan ngurusin kalian! Yang mau mati silakan mati, yang mau hilang ya hilang, yang masih ada, ya silakan makan teman sendiri!”. Waduh, betapa jahatnya sang gembala ini - domba kok disuruh makan domba?
Dalam perikop ini, ada tiga peran penting yang perlu kita renungkan. Yang pertama, adalah domba-domba sembelihan. Pernah menonton film Charlotte’s Web? Film yang mengharukan ini mengisahkan persahabatan antara seekor anak babi, bebek, ayam, sapi, dan laba-laba di sebuah kandang. Mula-mula mereka menjalin hubungan sebagai keluarga yang harmonis dengan sang pemilik yang nampak baik hati. Namun, ketika bebek dan ayam memberikan telur, sapi memberikan susu, apa yang bisa diberikan oleh seekor babi? Ya - seekor babi hanya bermanfaat jika dipotong! Betapa sedihnya sang anak babi ketika menyadari tentang hal ini. Sama halnya dengan domba sembelihan - yang ada hanya untuk disembelih. Hanya berguna kalau mati! Memang ada domba untuk ternak dan domba untuk diambil bulunya, tetapi Tuhan secara khusus meminta Zakharia menggembalakan ‘domba sembelihan’.
Yang kedua adalah para pedagang domba. Dalam ayat 5, dijelaskan, bahwa sang pedagang domba ini tidak akan merasa bersalah kalau dombanya dipotong, dan yang menjualnya malah akan bersyukur dan berkata: “Horee! Saya kaya, dombanya laku!”. Kasihan ya, domba-domba ini? Sudah ditakdirkan untuk dipotong, pemiliknya pun tidak kehilangan kalau domba ini dipotong. Sebagai ilustrasi, kita bisa melihat pada pedagang domba di kota-kota sebelum Hari Raya Kurban bagi umat muslim. Mereka memancang dombanya dimana saja - di trotoir, di pinggir jalan, atau bahkan di lapangan parkir, dengan memberi rumput seadanya. Betapa kontrasnya perilaku ini dengan pemilik domba-domba tersebut di tempat asalnya - seperti yang pernah ditayangkan di serial ‘Jika Aku Menjadi’. Para pemilik domba yang memelihara domba sejak kecil, begitu sayang dengan domba-dombanya, sampai-sampai rela kena kencing domba ketika memberi mereka makan!
Pihak ketiga adalah sang gembala itu sendiri - diperankan oleh Nabi Zakharia. Nah, dalam perikop ini, Nabi Zakharia betul-betul menjadi gembala yang tidak patut dipuji. Boro-boro mempertahankan dombanya dari serigala - memberi makan saja ia ogah! Ditulis dalam ayat 8 bahwa sang gembala muak terhadap domba-dombanya, dombanya sendiri pun muak terhadap gembala yang satu ini! Akhirnya, ia meminta upah dari pedagang domba - sebesar tiga puluh keping perak - yang kemudian diberikan kepada tukang periuk di Bait Allah.
Tiga puluh keping perak? Rings a bell? Ya - sama persis seperti upah Yudas Iskariot ketika menyerahkan Tuhan Yesus. Dan, dalam Matius 27, persis seperti dalam perikop Zakharia, uang ini pun diserahkan kepada tukang periuk di Bait Allah. Disini, kita mulai mengerti perumpamaan yang sedang diperankan oleh Zakharia.
Sang gembala yang jahat itu, tak lain adalah Yudas Iskariot. Yudas sebenarnya adalah seorang gembala umat. Ia mengikut Yesus sejak lama, dan ikut mendengar semua ajaranNya. Tetapi, ia tidak peduli akan umatnya - ia hanya peduli pada tujuannya sendiri. Ada yang mengisahkan bahwa Yudas adalah seorang pejuang Yahudi yang memimpikan kemerdekaan Israel dari Romawi ketika itu. Ketika Tuhan Yesus jelas menunjukkan bahwa Ia tidak berminat untuk memimpin sebuah pemberontakan militer, Yudas pun kecewa, dan menerima bayaran 30 keping uang perak dari Imam Kepala dan orang Farisi.
Siapa yang memerankan Imam Kelapa dan orang Farisi? Ya - para pedagang domba! Ketika Nabi Musa menurunkan Sepuluh Perintah Allah, kaum Lewi dan pemuka agama dipilih Tuhan untuk menggembalakan domba-dombaNya, yakni umat Israel. Namun, apa yang terjadi? Para pemuka agama ini justru menjadi semena-mena, suci sendiri, dan mengganggap umatnya sebagai ‚domba sembelihan’ - objek penderita yang selalu berdosa dan harus membayar. Bukankah para pemuka agama yang memberikan harga 30 keping perak? Mengapa mereka tidak mau menerimanya kembali? Itulah kemunafikan - padahal mereka yang merencanakan, tapi ketika terlaksana, mereka masih bertindak ‚sok suci’, dan menolak uang tersebut, untuk diberikan pada tukang periuk!
Terakhir, domba-domba sembelihan, adalah Anda dan saya, manusia umat Tuhan. Kita begitu tidak berdayanya melawan dosa, begitu hopeless. Apalagi berada di tangan gembala yang jahat dan pedagang domba - semakin kita menderita, justru mereka semakin senang! Inilah yang digambarkan oleh agama-agama palsu pada jaman Maya atau Inca, misalnya. Begitu ada musibah, yang dikorbankan adalah rakyat! Dijadikan persembahan untuk Dewa Matahari, disembelih di muka umum. Kasihan bukan? Hopeless!
Tapi, untung Tuhan masih berbelas kasih kepada manusia. Masih ada Tuhan Yesus, yang dalam Yohanes 10:1-18 menjelaskan mengenai gembala yang baik. Lalu, apa bedanya antara Tuhan Yesus dengan gembala yang jahat dalam Zakharia? Ada satu perumpamaan lagi yang perlu kita perhatikan. Dengan apakah sang gembala yang jahat menggembalakan domba-dombanya? Dengan dua tongkat bernama ‚Kemurahan’ dan ‚Ikatan’! Jadi, kemurahan Allah ada batasnya, demikian pula status ikatan istimewa antara bangsa Israel dengan Allah. Dalam Zakharia, dikisahkan bahwa kedua tongkat itu dipatahkan - tidak berlaku lagi! Secara sederhana, Allah berkata: kalau modalnya cuma kemurahan hati dan ikatan janji, lupain aja deh! Kedua ‚modal’ itu tidak akan cukup untuk menyelamatkan manusia. Lalu, apa tongkat yang digunakan Tuhan Yesus? Nyawa-Nya! (Yoh. 10:17). Nyawa yang dikorbankan menurut kehendakNya, yang melambangkan cinta kasihNya kepada umat manusia. Tongkat kasih dan pengorbanan inilah yang tidak bisa dipatahkan, dan pada akhirnya menjadi penyelamat bagi domba-domba sembelihan seperti kita ini.
Amin!
Zakharia 11:13
“But the chief priests took the silver pieces and said, ‘It is not lawful to put them into the treasury, because they are the price of blood’. And they consulted together and bought with them the potter’s field, to bury strangers in”
Matthew 27:6-7
Kalau kita sudah sering mendengar mengenai gembala yang baik, hari ini saya mau berbicara soal gembala yang jahat. Apakah ada gembala yang jahat? Apa yang dimaksud dengan gembala yang jahat?
Zakharia 11:4-17 mengisahkan tentang Nabi Zakharia yang sedang memerankan seorang gembala yang jahat. Lihatlah apa yang dikatakannya pada Zakharia 11:9 - diterjemahkan dalam bahasa sehari-hari - “Saya sudah bosan ngurusin kalian! Yang mau mati silakan mati, yang mau hilang ya hilang, yang masih ada, ya silakan makan teman sendiri!”. Waduh, betapa jahatnya sang gembala ini - domba kok disuruh makan domba?
Dalam perikop ini, ada tiga peran penting yang perlu kita renungkan. Yang pertama, adalah domba-domba sembelihan. Pernah menonton film Charlotte’s Web? Film yang mengharukan ini mengisahkan persahabatan antara seekor anak babi, bebek, ayam, sapi, dan laba-laba di sebuah kandang. Mula-mula mereka menjalin hubungan sebagai keluarga yang harmonis dengan sang pemilik yang nampak baik hati. Namun, ketika bebek dan ayam memberikan telur, sapi memberikan susu, apa yang bisa diberikan oleh seekor babi? Ya - seekor babi hanya bermanfaat jika dipotong! Betapa sedihnya sang anak babi ketika menyadari tentang hal ini. Sama halnya dengan domba sembelihan - yang ada hanya untuk disembelih. Hanya berguna kalau mati! Memang ada domba untuk ternak dan domba untuk diambil bulunya, tetapi Tuhan secara khusus meminta Zakharia menggembalakan ‘domba sembelihan’.
Yang kedua adalah para pedagang domba. Dalam ayat 5, dijelaskan, bahwa sang pedagang domba ini tidak akan merasa bersalah kalau dombanya dipotong, dan yang menjualnya malah akan bersyukur dan berkata: “Horee! Saya kaya, dombanya laku!”. Kasihan ya, domba-domba ini? Sudah ditakdirkan untuk dipotong, pemiliknya pun tidak kehilangan kalau domba ini dipotong. Sebagai ilustrasi, kita bisa melihat pada pedagang domba di kota-kota sebelum Hari Raya Kurban bagi umat muslim. Mereka memancang dombanya dimana saja - di trotoir, di pinggir jalan, atau bahkan di lapangan parkir, dengan memberi rumput seadanya. Betapa kontrasnya perilaku ini dengan pemilik domba-domba tersebut di tempat asalnya - seperti yang pernah ditayangkan di serial ‘Jika Aku Menjadi’. Para pemilik domba yang memelihara domba sejak kecil, begitu sayang dengan domba-dombanya, sampai-sampai rela kena kencing domba ketika memberi mereka makan!
Pihak ketiga adalah sang gembala itu sendiri - diperankan oleh Nabi Zakharia. Nah, dalam perikop ini, Nabi Zakharia betul-betul menjadi gembala yang tidak patut dipuji. Boro-boro mempertahankan dombanya dari serigala - memberi makan saja ia ogah! Ditulis dalam ayat 8 bahwa sang gembala muak terhadap domba-dombanya, dombanya sendiri pun muak terhadap gembala yang satu ini! Akhirnya, ia meminta upah dari pedagang domba - sebesar tiga puluh keping perak - yang kemudian diberikan kepada tukang periuk di Bait Allah.
Tiga puluh keping perak? Rings a bell? Ya - sama persis seperti upah Yudas Iskariot ketika menyerahkan Tuhan Yesus. Dan, dalam Matius 27, persis seperti dalam perikop Zakharia, uang ini pun diserahkan kepada tukang periuk di Bait Allah. Disini, kita mulai mengerti perumpamaan yang sedang diperankan oleh Zakharia.
Sang gembala yang jahat itu, tak lain adalah Yudas Iskariot. Yudas sebenarnya adalah seorang gembala umat. Ia mengikut Yesus sejak lama, dan ikut mendengar semua ajaranNya. Tetapi, ia tidak peduli akan umatnya - ia hanya peduli pada tujuannya sendiri. Ada yang mengisahkan bahwa Yudas adalah seorang pejuang Yahudi yang memimpikan kemerdekaan Israel dari Romawi ketika itu. Ketika Tuhan Yesus jelas menunjukkan bahwa Ia tidak berminat untuk memimpin sebuah pemberontakan militer, Yudas pun kecewa, dan menerima bayaran 30 keping uang perak dari Imam Kepala dan orang Farisi.
Siapa yang memerankan Imam Kelapa dan orang Farisi? Ya - para pedagang domba! Ketika Nabi Musa menurunkan Sepuluh Perintah Allah, kaum Lewi dan pemuka agama dipilih Tuhan untuk menggembalakan domba-dombaNya, yakni umat Israel. Namun, apa yang terjadi? Para pemuka agama ini justru menjadi semena-mena, suci sendiri, dan mengganggap umatnya sebagai ‚domba sembelihan’ - objek penderita yang selalu berdosa dan harus membayar. Bukankah para pemuka agama yang memberikan harga 30 keping perak? Mengapa mereka tidak mau menerimanya kembali? Itulah kemunafikan - padahal mereka yang merencanakan, tapi ketika terlaksana, mereka masih bertindak ‚sok suci’, dan menolak uang tersebut, untuk diberikan pada tukang periuk!
Terakhir, domba-domba sembelihan, adalah Anda dan saya, manusia umat Tuhan. Kita begitu tidak berdayanya melawan dosa, begitu hopeless. Apalagi berada di tangan gembala yang jahat dan pedagang domba - semakin kita menderita, justru mereka semakin senang! Inilah yang digambarkan oleh agama-agama palsu pada jaman Maya atau Inca, misalnya. Begitu ada musibah, yang dikorbankan adalah rakyat! Dijadikan persembahan untuk Dewa Matahari, disembelih di muka umum. Kasihan bukan? Hopeless!
Tapi, untung Tuhan masih berbelas kasih kepada manusia. Masih ada Tuhan Yesus, yang dalam Yohanes 10:1-18 menjelaskan mengenai gembala yang baik. Lalu, apa bedanya antara Tuhan Yesus dengan gembala yang jahat dalam Zakharia? Ada satu perumpamaan lagi yang perlu kita perhatikan. Dengan apakah sang gembala yang jahat menggembalakan domba-dombanya? Dengan dua tongkat bernama ‚Kemurahan’ dan ‚Ikatan’! Jadi, kemurahan Allah ada batasnya, demikian pula status ikatan istimewa antara bangsa Israel dengan Allah. Dalam Zakharia, dikisahkan bahwa kedua tongkat itu dipatahkan - tidak berlaku lagi! Secara sederhana, Allah berkata: kalau modalnya cuma kemurahan hati dan ikatan janji, lupain aja deh! Kedua ‚modal’ itu tidak akan cukup untuk menyelamatkan manusia. Lalu, apa tongkat yang digunakan Tuhan Yesus? Nyawa-Nya! (Yoh. 10:17). Nyawa yang dikorbankan menurut kehendakNya, yang melambangkan cinta kasihNya kepada umat manusia. Tongkat kasih dan pengorbanan inilah yang tidak bisa dipatahkan, dan pada akhirnya menjadi penyelamat bagi domba-domba sembelihan seperti kita ini.
Amin!
Wednesday, July 15, 2009
Setia Sampai Akhir
Mengenang dua tahun meninggalnya dr. Erina Natania Nazarudin
“Aku telah mengakhiri pertandingan dengan baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman“
2 Timotius 4:7
Tanggal 15 Juli, dua tahun yang lalu, sebuah berita yang mengejutkan sampai di rumah kami di Bandung, Jawa Barat. Waktu itu kira-kira pukul sepuluh pagi, ketika saya dan ibu saya baru pulang dari gereja. Tiba-tiba bunyi telefon berdering. Ayah saya berbicara dengan suara panik di telefon, mengatakan agar kami segera pulang, karena ada sesuatu yang terjadi pada Erina.
Erina, atau nama lengkapnya dr. Erina Natania Nazarudin, pada waktu itu sedang bekerja sebagai dokter PTT di Fakfak, Papua Barat. Sesudah beberapa tahun melayani di Puskesmas Cikawari, Erina memutuskan untuk melanjutkan PTT di Fakfak, Papua Barat. Selain karena ia ingin melayani di tempat baru dan berpetualang ke daerah lain, Erina juga ingin melihat pelayanan gereja di tempat lain. Beliau adalah seorang aktivis di GKI Taman Cibunut Bandung, dari Komisi Pemuda sampai Komisi Musik. Karena jangka PTT-nya hanya 6 bulan, dr. Erina bahkan sempat menitipkan tugasnya di Komisi Musik pada rekannya. Toh, 6 bulan kemudian, dr. Erina akan bisa kembali dan melanjutkan pelayanan di gerejanya.
Namun, hari itu, semuanya berubah. Kabar lewat telefon yang kami terima di rumah mengatakan bahwa dokter Erina Natania Nazarudin meninggal dunia dalam kecelakaan ambulans yang dikendarainya. Ia seharusnya tidak mengendarai ambulans tersebut, tapi sehari sebelumnya, ada seorang ibu yang mengalami kesulitan persalinan di klinik tempatnya bekerja di Kokas. Karena kondisi sang ibu sudah gawat, sementara waktu itu tidak ada supir yang bisa mengendarai ambulans, maka dr. Erina memutuskan untuk mengambil resiko melalui jalan berliku tajam antara Kokas dan Fakfak, untuk mengantar sang ibu dan bayinya ke rumah sakit yang lebih besar disana. Belum sempat istirahat, dr. Erina harus segera kembali ke Kokas di hari Minggu itu, karena di klinik itu terdapat seseorang yang sedang sakit. Dalam perjalanan kembali ke Kokas itulah, ambulans yang dikendarai dr. Erina mengalami kecelakaan.
Kami sangat bersedih ketika mendengar kabar tersebut. Ketika peti jenazah dr. Erina tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, kami datang menjemput dengan perasaan yang bercampur aduk. Namun, ketika kami melihat sendiri, betapa banyak orang yang hadir untuk memberikan penghormatan mereka, terselip rasa bangga yang luar biasa. Banyak sekali pengunjung yang datang dari berbagai macam latar belakang, semuanya bertujuan sama, memberikan penghormatan pada pengorbanan dan keteladanan dr. Erina, yang dengan berani mengorbankan nyawanya demi keselamatan seorang ibu, seorang bayi, dan seorang pasien yang sedang sakit. Hati kami pilu, namun terharu, melihat perhatian yang begitu besar yang tercurah pada kami dan dr. Erina di hari itu.
Perhatian itu berlanjut sampai ketika kebaktian penghiburan dilaksanakan di Bandung. Ada satu hal yang saya ingat pada waktu itu. Karena semasa hidupnya dr. Erina aktif di kegiatan pemuda di GKI Taman Cibunut, maka vocal group dan paduan suara gereja setia mendampingi kebaktian setiap hari. Namun, seperti biasanya, mereka menyiapkan lagu-lagu sedih untuk mengiringi kebaktian penghiburan. Ketika kebaktian disiapkan, tiba-tiba saya dibimbing oleh Roh Kudus dan berkata kepada paduan suara: ”Lupakan semua lagu sedih! Saya tidak mau dengar kata-kata ’Kita ’kan berkumpul di Sorga’ atau ’DidalamNya ada penghiburan’. Saya mau dengar lagu ’Hari Ini Kurasa Bahagia’, atau ’Bagai Rajawali’, karena hari ini, seorang Anak Tuhan sudah jadi pahlawan bagi bangsanya!’. Seketika itu, paduan suara bernyanyi tanpa teks, karena lagu dalam teks tidak ada yang cocok dengan yang saya minta. Tapi mereka bernyanyi dengan bersemangat, dan kami yang bersalaman dengan para pengunjung pun tidak merasa seperti dalam suasana duka, melainkan seperti bersalaman dengan tamu di sebuah pesta pernikahan. Benar-benar rasa sukacita dan penyertaan Tuhan yang kami rasakan!
Betapapun pahitnya, kepergian dr. Erina Natania Nazarudin adalah sebuah kebanggan bagi umat kristiani di Indonesia. Sebagai seorang Kristen yang taat dan selalu aktif dalam pelayanan, Firman Tuhan selalu mendasari setiap tindakan dr. Erina. Namun, ini tidak membuatnya terbatas dalam pergaulan. Ketika melayani pasien maupun saat masih tinggal di Fakfak, dr. Erina dikenal sebagai seorang yang ramah, suka menolong, mudah bergaul. Keteladanannya sebagai seorang dokter yang menyelamatkan nyawa manusia, juga didasari oleh pemahamannya yang mendalam tentang kasih Kristus, yang rela mengorbankan diriNya untuk disalib demi menebus dosa umat manusia. Dari Kristus-lah ia belajar tentang arti pengorbanan dan cinta kasih. Dan dari dr. Erina, dunia bisa belajar tentang prinsip kekristenan: pengorbanan yang didasari oleh cinta kasih.
Harry Hardianto Nazarudin
“Aku telah mengakhiri pertandingan dengan baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman“
2 Timotius 4:7
Tanggal 15 Juli, dua tahun yang lalu, sebuah berita yang mengejutkan sampai di rumah kami di Bandung, Jawa Barat. Waktu itu kira-kira pukul sepuluh pagi, ketika saya dan ibu saya baru pulang dari gereja. Tiba-tiba bunyi telefon berdering. Ayah saya berbicara dengan suara panik di telefon, mengatakan agar kami segera pulang, karena ada sesuatu yang terjadi pada Erina.
Erina, atau nama lengkapnya dr. Erina Natania Nazarudin, pada waktu itu sedang bekerja sebagai dokter PTT di Fakfak, Papua Barat. Sesudah beberapa tahun melayani di Puskesmas Cikawari, Erina memutuskan untuk melanjutkan PTT di Fakfak, Papua Barat. Selain karena ia ingin melayani di tempat baru dan berpetualang ke daerah lain, Erina juga ingin melihat pelayanan gereja di tempat lain. Beliau adalah seorang aktivis di GKI Taman Cibunut Bandung, dari Komisi Pemuda sampai Komisi Musik. Karena jangka PTT-nya hanya 6 bulan, dr. Erina bahkan sempat menitipkan tugasnya di Komisi Musik pada rekannya. Toh, 6 bulan kemudian, dr. Erina akan bisa kembali dan melanjutkan pelayanan di gerejanya.
Namun, hari itu, semuanya berubah. Kabar lewat telefon yang kami terima di rumah mengatakan bahwa dokter Erina Natania Nazarudin meninggal dunia dalam kecelakaan ambulans yang dikendarainya. Ia seharusnya tidak mengendarai ambulans tersebut, tapi sehari sebelumnya, ada seorang ibu yang mengalami kesulitan persalinan di klinik tempatnya bekerja di Kokas. Karena kondisi sang ibu sudah gawat, sementara waktu itu tidak ada supir yang bisa mengendarai ambulans, maka dr. Erina memutuskan untuk mengambil resiko melalui jalan berliku tajam antara Kokas dan Fakfak, untuk mengantar sang ibu dan bayinya ke rumah sakit yang lebih besar disana. Belum sempat istirahat, dr. Erina harus segera kembali ke Kokas di hari Minggu itu, karena di klinik itu terdapat seseorang yang sedang sakit. Dalam perjalanan kembali ke Kokas itulah, ambulans yang dikendarai dr. Erina mengalami kecelakaan.
Kami sangat bersedih ketika mendengar kabar tersebut. Ketika peti jenazah dr. Erina tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, kami datang menjemput dengan perasaan yang bercampur aduk. Namun, ketika kami melihat sendiri, betapa banyak orang yang hadir untuk memberikan penghormatan mereka, terselip rasa bangga yang luar biasa. Banyak sekali pengunjung yang datang dari berbagai macam latar belakang, semuanya bertujuan sama, memberikan penghormatan pada pengorbanan dan keteladanan dr. Erina, yang dengan berani mengorbankan nyawanya demi keselamatan seorang ibu, seorang bayi, dan seorang pasien yang sedang sakit. Hati kami pilu, namun terharu, melihat perhatian yang begitu besar yang tercurah pada kami dan dr. Erina di hari itu.
Perhatian itu berlanjut sampai ketika kebaktian penghiburan dilaksanakan di Bandung. Ada satu hal yang saya ingat pada waktu itu. Karena semasa hidupnya dr. Erina aktif di kegiatan pemuda di GKI Taman Cibunut, maka vocal group dan paduan suara gereja setia mendampingi kebaktian setiap hari. Namun, seperti biasanya, mereka menyiapkan lagu-lagu sedih untuk mengiringi kebaktian penghiburan. Ketika kebaktian disiapkan, tiba-tiba saya dibimbing oleh Roh Kudus dan berkata kepada paduan suara: ”Lupakan semua lagu sedih! Saya tidak mau dengar kata-kata ’Kita ’kan berkumpul di Sorga’ atau ’DidalamNya ada penghiburan’. Saya mau dengar lagu ’Hari Ini Kurasa Bahagia’, atau ’Bagai Rajawali’, karena hari ini, seorang Anak Tuhan sudah jadi pahlawan bagi bangsanya!’. Seketika itu, paduan suara bernyanyi tanpa teks, karena lagu dalam teks tidak ada yang cocok dengan yang saya minta. Tapi mereka bernyanyi dengan bersemangat, dan kami yang bersalaman dengan para pengunjung pun tidak merasa seperti dalam suasana duka, melainkan seperti bersalaman dengan tamu di sebuah pesta pernikahan. Benar-benar rasa sukacita dan penyertaan Tuhan yang kami rasakan!
Betapapun pahitnya, kepergian dr. Erina Natania Nazarudin adalah sebuah kebanggan bagi umat kristiani di Indonesia. Sebagai seorang Kristen yang taat dan selalu aktif dalam pelayanan, Firman Tuhan selalu mendasari setiap tindakan dr. Erina. Namun, ini tidak membuatnya terbatas dalam pergaulan. Ketika melayani pasien maupun saat masih tinggal di Fakfak, dr. Erina dikenal sebagai seorang yang ramah, suka menolong, mudah bergaul. Keteladanannya sebagai seorang dokter yang menyelamatkan nyawa manusia, juga didasari oleh pemahamannya yang mendalam tentang kasih Kristus, yang rela mengorbankan diriNya untuk disalib demi menebus dosa umat manusia. Dari Kristus-lah ia belajar tentang arti pengorbanan dan cinta kasih. Dan dari dr. Erina, dunia bisa belajar tentang prinsip kekristenan: pengorbanan yang didasari oleh cinta kasih.
Harry Hardianto Nazarudin
Wednesday, June 24, 2009
Happy Birthday, Sis!
Sunday, June 14, 2009
Apakah Hidupmu Bagai Kepompong?
“Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Samuel: ‘Janganlah pandang parasnya atau perawakannya yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati’”
1 Samuel 16:7
Persahabatan bagai kepompong
Mengubah ulat menjadi kupu-kupu
Lirik lagu ’Kepompong’
Khotbah pagi ini di GKI Cikarang, diluar dugaan, sangat berkesan buat saya. Pendeta yang berkhotbah adalah Pdt. Emiritus Suatami S. Beliau sudah cukup berumur, sehingga jika beliau berbicara, seperti mendengarkan petuah dari nenek sendiri! Alih-alih memulai khotbah dengan teori canggih atau perumpamaan yang mutakhir, Ibu Pendeta Suatami memulai khotbahnya dengan sangat sederhana. ”Apakah Anda pernah melihat kecebong? Atau ulet?” tanyanya, disambut tawa jemaat karena logat Sunda-nya yang kental membuat kata ’kecebong’ dan ’ulet’ menjadi lucu. Apa hubungannya kecebong dan ulat dengan kisah pengurapan Daud?
Rupanya, beliau dengan cerdas menggunakan perumpamaan sederhana ini untuk melukiskan, betapa yang Tuhan lihat tidak sama dengan yang dilihat manusia. Kita bisa bayangkan, ratusan tahun lalu, ketika ilmu pengetahuan belum semaju sekarang, pastilah asal-usul kupu-kupu yang cantik menjadi misteri. Tidak ada telur yang menetas jadi kupu-kupu, bukan? Sementara ulat, tidak ditemukan bangkainya. Ulat memiliki masa hidup yang singkat kemudian lenyap, sementara kupu-kupu mendadak muncul Demikian pula kecebong, yang kelak berubah bentuk menjadi katak. Jika kita melihat katak, apakah terbayang bahwa dulunya sang katak adalah kecebong? Atau kupu-kupu dulunya adalah ulat? Bahkan sampai sekarang pun para ahli biologi masih memperdebatkan tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kepompong.
Kadang-kadang - seperti keadaan saya saat ini - manusia merasa bahwa hidupnya sedang benar-benar berada dalam titik nadir. Segalanya serba sulit, masalah menghadang dari mana-mana. Nampaknya begitu sesak dada ini, sampai-sampai kita malas untuk bangun pagi karena muak dengan apa yang akan terjadi berikutnya - apakah itu tekanan dari kantor, kondisi keluarga yang carut-marut, atau keadaan stagnasi tanpa jalan keluar. Hidup ini rasanya begitu berat, dan kemudian kita bertanya dalam hati - dimana Tuhan? Apa yang Tuhan lakukan? Doa demi doa berlalu, kebaktian demi kebaktian diikuti, namun hasilnya nihil. Kita masih terjebak dalam lumpur yang sama, sehingga hati kita seolah tumpul. Doa menjadi hanya di mulut saja, dan kebaktian menjadi kewajiban saja. Suram bukan?
Sesuram apa kira-kira? Ya, sesuram kepompong! Dibandingkan ulat sekalipun, kepompong adalah bentuk yang jelek. Suram, kotor, menempel disana-sini, tidak bisa melarikan diri ketika diserang binatang lain. Betapa besar resiko yang ditempuh sang ulat ketika berada dalam kepompong ini! Tapi, toh yang akan keluar dari kepompong itu adalah kupu-kupu yang cantik! Yang akan muncul dari kecebong yang hitam, kecil, dan jelek itu, adalah seekor katak yang jauh lebih besar dan kuat! Demikianlah juga kehidupan kita. Sejelek apapun bentuknya sebuah kepompong atau kecebong, namun hasil yang indah adalah pasti, seindah setiap taburan warna pada sayap kupu-kupu. Memang sulit bagi kita manusia untuk membayangkannya, tapi, adalah fakta, bahwa setiap kepompong akan berakhir dengan kupu-kupu!
Lalu, dimana Tuhan, pada saat ini? Ya - Ia sedang bekerja. Ia sedang mengadakan rapat dengan para deputiNya di Sorga, meneliti data-data statistik dan analisis perilaku kita dan orang sekitar kita. Ia sedang berstrategi dengan malaikat pelindung kita, menyusun rancangan yang pada akhirnya indah. Memang, pekerjaanNya misterius, semisterius proses yang terjadi dalam kepompong. Namun, percayalah, bahwa proses itu ada! Proses itu sedang berjalan, Anda dan saya, sedang diubah olehNya. Pada akhirnya nanti, keindahan kupu-kupu-lah yang menanti kita. Jadi, jangan pesimis dan tenggelam dalam depresi. Bersabarlah, karena cepat atau lambat, kupu-kupu kebahagiaan akan menjadi milik kita! Dan hasilnya akan begitu indah, sampai tidak akan terbayangkan oleh kita saat ini. Haleluya, puji Tuhan!
Amin
1 Samuel 16:7
Persahabatan bagai kepompong
Mengubah ulat menjadi kupu-kupu
Lirik lagu ’Kepompong’
Khotbah pagi ini di GKI Cikarang, diluar dugaan, sangat berkesan buat saya. Pendeta yang berkhotbah adalah Pdt. Emiritus Suatami S. Beliau sudah cukup berumur, sehingga jika beliau berbicara, seperti mendengarkan petuah dari nenek sendiri! Alih-alih memulai khotbah dengan teori canggih atau perumpamaan yang mutakhir, Ibu Pendeta Suatami memulai khotbahnya dengan sangat sederhana. ”Apakah Anda pernah melihat kecebong? Atau ulet?” tanyanya, disambut tawa jemaat karena logat Sunda-nya yang kental membuat kata ’kecebong’ dan ’ulet’ menjadi lucu. Apa hubungannya kecebong dan ulat dengan kisah pengurapan Daud?
Rupanya, beliau dengan cerdas menggunakan perumpamaan sederhana ini untuk melukiskan, betapa yang Tuhan lihat tidak sama dengan yang dilihat manusia. Kita bisa bayangkan, ratusan tahun lalu, ketika ilmu pengetahuan belum semaju sekarang, pastilah asal-usul kupu-kupu yang cantik menjadi misteri. Tidak ada telur yang menetas jadi kupu-kupu, bukan? Sementara ulat, tidak ditemukan bangkainya. Ulat memiliki masa hidup yang singkat kemudian lenyap, sementara kupu-kupu mendadak muncul Demikian pula kecebong, yang kelak berubah bentuk menjadi katak. Jika kita melihat katak, apakah terbayang bahwa dulunya sang katak adalah kecebong? Atau kupu-kupu dulunya adalah ulat? Bahkan sampai sekarang pun para ahli biologi masih memperdebatkan tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kepompong.
Kadang-kadang - seperti keadaan saya saat ini - manusia merasa bahwa hidupnya sedang benar-benar berada dalam titik nadir. Segalanya serba sulit, masalah menghadang dari mana-mana. Nampaknya begitu sesak dada ini, sampai-sampai kita malas untuk bangun pagi karena muak dengan apa yang akan terjadi berikutnya - apakah itu tekanan dari kantor, kondisi keluarga yang carut-marut, atau keadaan stagnasi tanpa jalan keluar. Hidup ini rasanya begitu berat, dan kemudian kita bertanya dalam hati - dimana Tuhan? Apa yang Tuhan lakukan? Doa demi doa berlalu, kebaktian demi kebaktian diikuti, namun hasilnya nihil. Kita masih terjebak dalam lumpur yang sama, sehingga hati kita seolah tumpul. Doa menjadi hanya di mulut saja, dan kebaktian menjadi kewajiban saja. Suram bukan?
Sesuram apa kira-kira? Ya, sesuram kepompong! Dibandingkan ulat sekalipun, kepompong adalah bentuk yang jelek. Suram, kotor, menempel disana-sini, tidak bisa melarikan diri ketika diserang binatang lain. Betapa besar resiko yang ditempuh sang ulat ketika berada dalam kepompong ini! Tapi, toh yang akan keluar dari kepompong itu adalah kupu-kupu yang cantik! Yang akan muncul dari kecebong yang hitam, kecil, dan jelek itu, adalah seekor katak yang jauh lebih besar dan kuat! Demikianlah juga kehidupan kita. Sejelek apapun bentuknya sebuah kepompong atau kecebong, namun hasil yang indah adalah pasti, seindah setiap taburan warna pada sayap kupu-kupu. Memang sulit bagi kita manusia untuk membayangkannya, tapi, adalah fakta, bahwa setiap kepompong akan berakhir dengan kupu-kupu!
Lalu, dimana Tuhan, pada saat ini? Ya - Ia sedang bekerja. Ia sedang mengadakan rapat dengan para deputiNya di Sorga, meneliti data-data statistik dan analisis perilaku kita dan orang sekitar kita. Ia sedang berstrategi dengan malaikat pelindung kita, menyusun rancangan yang pada akhirnya indah. Memang, pekerjaanNya misterius, semisterius proses yang terjadi dalam kepompong. Namun, percayalah, bahwa proses itu ada! Proses itu sedang berjalan, Anda dan saya, sedang diubah olehNya. Pada akhirnya nanti, keindahan kupu-kupu-lah yang menanti kita. Jadi, jangan pesimis dan tenggelam dalam depresi. Bersabarlah, karena cepat atau lambat, kupu-kupu kebahagiaan akan menjadi milik kita! Dan hasilnya akan begitu indah, sampai tidak akan terbayangkan oleh kita saat ini. Haleluya, puji Tuhan!
Amin
Monday, May 25, 2009
Mengapa Tuhan Membisu?
‘Lalu kataNya kepada mereka: “Dimanakah kepercayaanmu?” Maka takutlah mereka dan heran, lalu berkata seorang kepada yang lain: „Siapa gerangan orang ini, sehingga Ia memberi perintah kepada angin dan air dan mereka taat kepadaNya?“’
(Lukas 8:25)
Apakah kita pernah merasa, bahwa Tuhan seolah membisu? Kita sudah berdoa berulang-ulang kepadaNya, kita sudah bersujud berkali-kali, namun tetap saja Ia diam seribu basa. Kita sudah berpuasa, bahkan bernazar, dan sudah dalam posisi yang sangat terjepit, namun Ia seolah diam seribu basa. Betapa enaknya Daud, yang bisa melihat tangan malaikat langsung turun dari langit dan menulis di dinding? Betapa enaknya para Rasul, yang bisa melihat lidah-lidah api sebagai jawaban doa mereka? Mengapa Tuhan seolah selalu diam seribu basa?
Jika kita memperhatikan dalam Alkitab, kapan kira-kira Tuhan mulai diam? Ya - sejak Tuhan Yesus lahir di bumi. Ketika Tuhan Yesus dicobai oleh iblis (Lukas 4:1-13), apakah cobaan terberat Tuhan Yesus? Memanggil BapaNya. Inilah yang berkali-kali dicoba oleh iblis, berusaha membujuk Tuhan Yesus untuk memanggil BapaNya, membuka tingkap-tingkap langit dan membiarkan BapaNya bicara. Dan yang paling penting: membiarkan seluruh isi dunia yang sesat ini melihat sendiri, betapa Tuhan Yesus mampu membuat BapaNya bicara! Tapi, tidak! Tuhan Yesus dengan gagah, dengan tegas, menolak semua permintaan iblis. Tidak sekalipun Ia memanggil BapaNya, memintaNya turun atau mengeluarkan suara geledekNya dari langit. Ia hanya teguh, diam, dan tidak bergeming di tengah cobaan iblis.
Demikian pula pada saat Ia disalibkan. Adalah absurd, bahwa dari semua dewa-dewa dan tuhan-tuhan di dalam berbagai budaya, Tuhan Yesus kita-lah yang paling lemah. Biasanya dewa dipuja karena kekuatannya, kebesarannya, kemegahannya. Namun, hanya Tuhan Yesus yang dipuja karena penderitaanNya, penyalibanNya, dan kelemahanNya. Seolah-olah, Ia tidak berdaya, di hadapan Ahli Taurat, Pontius Pilatus, dan para prajurit Romawi yang keji. Ia - yang katanya Anak Allah - malah babak belur, berdarah-darah, diludahi, dan diinjak-injak oleh manusia yang paling hina. Mana suara Allah? Mana tangan malaikatNya yang turun dari langit? Mengapa Allah diam seribu basa? Dan ingat, bahwa tidak sekalipun Tuhan Yesus mengeluh. Hanya satu kalimat Ia ucapkan: “Eli, Eli, lama Sabakhtani?”, sebelum Ia wafat di kayu salib. Bukan kalimat minta tolong, melainkan sebuah pertanyaan retoris: pernyataan bahwa Allah memang benar-benar sudah meninggalkan Tuhan Yesus. Bahwa Ia, kini telah menjadi ia - manusia biasa. TugasNya, telah selesai.
Kehidupan Tuhan Yesus adalah bukti nyata betapa Ia tidak pernah meminta campur tangan dari BapaNya. Ia tidak berseru-seru terus menerus, dan BapaNya menjawab dari Surga. Ia terus bekerja, menyembuhkan yang sakit, menolong yang lemah, dengan mukjijatNya, tapi tanpa keterlibatan Allah secara pribadi. Apakah benar bahwa Allah selalu membisu? Apakah benar bahwa Allah memang harus membisu?
Cobalah kita melihat kehidupan kita. Jaman sekarang ini, banyak sekali orang berbicara. Perdebatan politik dan selebritis yang banyak di televisi hanyalah pertukaran kata tanpa pemikiran yang mendalam. Kata dibalas kata, dibalas dengan kata-kata lagi. Alhasil, yang terjadi adalah sebuah kesemrawutan - tanpa sedetikpun kerja terjadi. Semuanya hanya bicara, tapi tidak bergerak. Berkata-kata, tapi tidak bekerja.
Ketika saya merenungkan hal ini, dan melakukan introspeksi terhadap kehidupan saya, saya terkejut. Ternyata, Allah memang tidak bicara, tapi Ia bekerja. Ia mengatur langkah hidup saya, meniti saya satu-persatu. Bahkan bukan hanya saya, tapi seluruh keluarga, dan teman-teman saya, Ia atur sedemikian rupa. Ketika saya lemah, selalu ada yang mendampingi saya. Ketika saya kuat, terlalu kuat, ia menyimpan satu titik lemah, yang kemudian terkuak, sehingga saya terjatuh, dan tidak tenggelam dalam kesombongan. Memang, keinginan saya tidak terpenuhi 100%. Tapi, 100% semuanya ditangani, dengan cara yang lebih indah, yang bahkan tidak terbayangkan oleh saya.
Demikian pula Tuhan Yesus - bukankah akhir ceritanya begitu indah? Dari penderitaan dan wafatNya, dari membisunya Allah pada penderitaanNya, datanglah satu konsep yang jadi penyelamat dunia yang akan hancur waktu itu: kasih. Pilar kasih inilah yang sampai sekarang tidak bisa ditentang bahkan oleh ilmuwan tercanggih sekalipun. Betapa peraturan dan hukuman kini bertiwikrama menjadi kasih, sebuah kekuatan indah yang berwajah cantik dan berjiwa rela mati demi orang lain. Betapa wafat dan kebangkitan Yesus, melahirkan gelombang orang-orang yang penuh kasih, yang merawat dunia yang sakit, dan membawa manusia menuju peradaban baru.
Ya, mengapa Tuhan membisu? Karena Ia tidak sempat bicara. Karena Ia sibuk bekerja, menyelamatkan kita!
24 May 2009
-Harnaz-
(Lukas 8:25)
Apakah kita pernah merasa, bahwa Tuhan seolah membisu? Kita sudah berdoa berulang-ulang kepadaNya, kita sudah bersujud berkali-kali, namun tetap saja Ia diam seribu basa. Kita sudah berpuasa, bahkan bernazar, dan sudah dalam posisi yang sangat terjepit, namun Ia seolah diam seribu basa. Betapa enaknya Daud, yang bisa melihat tangan malaikat langsung turun dari langit dan menulis di dinding? Betapa enaknya para Rasul, yang bisa melihat lidah-lidah api sebagai jawaban doa mereka? Mengapa Tuhan seolah selalu diam seribu basa?
Jika kita memperhatikan dalam Alkitab, kapan kira-kira Tuhan mulai diam? Ya - sejak Tuhan Yesus lahir di bumi. Ketika Tuhan Yesus dicobai oleh iblis (Lukas 4:1-13), apakah cobaan terberat Tuhan Yesus? Memanggil BapaNya. Inilah yang berkali-kali dicoba oleh iblis, berusaha membujuk Tuhan Yesus untuk memanggil BapaNya, membuka tingkap-tingkap langit dan membiarkan BapaNya bicara. Dan yang paling penting: membiarkan seluruh isi dunia yang sesat ini melihat sendiri, betapa Tuhan Yesus mampu membuat BapaNya bicara! Tapi, tidak! Tuhan Yesus dengan gagah, dengan tegas, menolak semua permintaan iblis. Tidak sekalipun Ia memanggil BapaNya, memintaNya turun atau mengeluarkan suara geledekNya dari langit. Ia hanya teguh, diam, dan tidak bergeming di tengah cobaan iblis.
Demikian pula pada saat Ia disalibkan. Adalah absurd, bahwa dari semua dewa-dewa dan tuhan-tuhan di dalam berbagai budaya, Tuhan Yesus kita-lah yang paling lemah. Biasanya dewa dipuja karena kekuatannya, kebesarannya, kemegahannya. Namun, hanya Tuhan Yesus yang dipuja karena penderitaanNya, penyalibanNya, dan kelemahanNya. Seolah-olah, Ia tidak berdaya, di hadapan Ahli Taurat, Pontius Pilatus, dan para prajurit Romawi yang keji. Ia - yang katanya Anak Allah - malah babak belur, berdarah-darah, diludahi, dan diinjak-injak oleh manusia yang paling hina. Mana suara Allah? Mana tangan malaikatNya yang turun dari langit? Mengapa Allah diam seribu basa? Dan ingat, bahwa tidak sekalipun Tuhan Yesus mengeluh. Hanya satu kalimat Ia ucapkan: “Eli, Eli, lama Sabakhtani?”, sebelum Ia wafat di kayu salib. Bukan kalimat minta tolong, melainkan sebuah pertanyaan retoris: pernyataan bahwa Allah memang benar-benar sudah meninggalkan Tuhan Yesus. Bahwa Ia, kini telah menjadi ia - manusia biasa. TugasNya, telah selesai.
Kehidupan Tuhan Yesus adalah bukti nyata betapa Ia tidak pernah meminta campur tangan dari BapaNya. Ia tidak berseru-seru terus menerus, dan BapaNya menjawab dari Surga. Ia terus bekerja, menyembuhkan yang sakit, menolong yang lemah, dengan mukjijatNya, tapi tanpa keterlibatan Allah secara pribadi. Apakah benar bahwa Allah selalu membisu? Apakah benar bahwa Allah memang harus membisu?
Cobalah kita melihat kehidupan kita. Jaman sekarang ini, banyak sekali orang berbicara. Perdebatan politik dan selebritis yang banyak di televisi hanyalah pertukaran kata tanpa pemikiran yang mendalam. Kata dibalas kata, dibalas dengan kata-kata lagi. Alhasil, yang terjadi adalah sebuah kesemrawutan - tanpa sedetikpun kerja terjadi. Semuanya hanya bicara, tapi tidak bergerak. Berkata-kata, tapi tidak bekerja.
Ketika saya merenungkan hal ini, dan melakukan introspeksi terhadap kehidupan saya, saya terkejut. Ternyata, Allah memang tidak bicara, tapi Ia bekerja. Ia mengatur langkah hidup saya, meniti saya satu-persatu. Bahkan bukan hanya saya, tapi seluruh keluarga, dan teman-teman saya, Ia atur sedemikian rupa. Ketika saya lemah, selalu ada yang mendampingi saya. Ketika saya kuat, terlalu kuat, ia menyimpan satu titik lemah, yang kemudian terkuak, sehingga saya terjatuh, dan tidak tenggelam dalam kesombongan. Memang, keinginan saya tidak terpenuhi 100%. Tapi, 100% semuanya ditangani, dengan cara yang lebih indah, yang bahkan tidak terbayangkan oleh saya.
Demikian pula Tuhan Yesus - bukankah akhir ceritanya begitu indah? Dari penderitaan dan wafatNya, dari membisunya Allah pada penderitaanNya, datanglah satu konsep yang jadi penyelamat dunia yang akan hancur waktu itu: kasih. Pilar kasih inilah yang sampai sekarang tidak bisa ditentang bahkan oleh ilmuwan tercanggih sekalipun. Betapa peraturan dan hukuman kini bertiwikrama menjadi kasih, sebuah kekuatan indah yang berwajah cantik dan berjiwa rela mati demi orang lain. Betapa wafat dan kebangkitan Yesus, melahirkan gelombang orang-orang yang penuh kasih, yang merawat dunia yang sakit, dan membawa manusia menuju peradaban baru.
Ya, mengapa Tuhan membisu? Karena Ia tidak sempat bicara. Karena Ia sibuk bekerja, menyelamatkan kita!
24 May 2009
-Harnaz-
Sunday, February 15, 2009
Berkat Yang Sederhana
‘Tetapi pergilah Naaman sambil gusar dengan berkata: “Aku sangka bahwa setidak-tidaknya ia datang keluar dan berdiri memanggil nama Tuhan, Allahnya, lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas penyakit itu dan dengan demikian menyembuhkan penyakit kustaku!”’
2 Raja-raja 5:11
Ada seorang konglomerat di Jakarta yang mengalami sakit punggung yang sangat menyiksa. Karena beliau cukup aktif di gereja dan kuat imannya, beliau sangat mendambakan penyembuhan mukjijat. Maka, iapun mulai berkeliling ke seluruh dunia untuk menghadiri kebaktian kesembuhan yang terkenal di dunia. Atlanta, Toronto, bahkan beberapa tempat di Australia sudah dijelajahinya. Ia menyumbang uang dalam jumlah besar, duduk di dereta paling depan, entah VIP atau VVIP, dan selalu mendapat giliran pertama dalam pemberkatan. Namun, ia tak kunjung sembuh!
Kemudian, ketika sedang berada di daerah Jawa Tengah untuk tugas, ia mendengar bahwa di desa di dekat situ ada sebuah gereja yang mengadakan kebaktian kesembuhan. Gereja ini sangat terpencil, jemaatnya sedikit, dan pendetanya pun tidak terkenal. Apakah akan buang-buang waktu saja kalau ia kesana? Namun, walaupun dengan keraguan, ia berangkay pagi-pagi untuk mencapai desa itu. Jalannya tidak beraspal, letaknya terpencil di tengah hutan di kaki pegunungan. Ketika tiba, ia tersentak kaget. Bangunan gerejanya sudah reot, nyaris rubuh. Ia turun dari mobilnya yang mentereng dibandingkan jemaat lain yang datang naik sepeda, dan masuk ke dalam. Rikuh karena merasa lain sendiri, iapun mengambil tempat paling belakang, di pojok, dan berdoa sendirian. Kalau para penyembuh kelas dunia saja tidak mampu menyembuhkan dia, bagaimana gereja kecil dengan pendeta muda ini bisa? Pikirnya dengan pasrah.
Keesokan harinya, ketika ia sudah kembali ke rumahnya, ia terkejut bukan main. Sakit punggungnya sembuh! Sembuh total! Ia sangat bersukacita. Luar biasa, bahwa sebuah gereja terpencil dan reot, dengan seorang pendeta muda pula, justru sanggur mengalirkan berkatNya sampai ia sungguh-sungguh sembuh. Tapi, karena ia betul-betul tidak menyangka akan sembuh, ia tidak mencatat nama pendeta dan lokasi gereja tersebut. Berkali-kali ia menelusuri pelosok Jawa Tengah, tapi ia tidak bisa lagi menemukan gereja itu. Sampai sekarang, ia selalu memberi kesaksian tentang kesembuhannya ini. Bahwa justru bukan dengan cara meriah dan hingar-bingar ia sembuh, tetapi di sebuah pojok gereja reot yang terpencil! Namun, justru inilah bukti kuasa Tuhan.
Dalam perikop ini, Naaman, seorang perwira militer perkasa kesayangan Raja Aram, terbiasa dengan ritual yang hingar-bingar. Untuk kesembuhan dari kusta, ia rela membayar ribuan talenta emas dan perak, mendatangkan kerbau bule bertanduk tiga, atau mencari tokek berlidah cabang empat sampai ke penjuru dunia. Ia mampu! Ia berkuasa! Namun, toh ia tidak berdaya menghadapi penyakitnya. Ia tidak berdaya menghadapi masalahnya, hanya Tuhan Allah Israel yang menjadi tumpuan harapannya.
Disini, Elisa merupatan utusan Tuhan yang penuh rahmat. Bahkan Raja Israel pun gentar mendengar permintaan Naaman, karena dalam satu kali serang saya tentaranya sanggup menghancurkan Israel. Tetapi Elisa tidak menyiapkan karpet merah dan menunjukkan kemegahan Allah lewat kilauan emas di Bait Suci. Ia justru begitu tenangnya, sampai-sampai ia sendiripun bahkan tidak keluar menyongsong Naaman. Ia menyuruh seorang pegawainya, yang kemudian meminta Naaman untuk mandi tujuh kali di Sungai Yordan. Sungai yang biasa pula, seperti disebut oleh Naaman, kalah jauh dibanding hebatnya Tigris atau perkasanya Efrat. Namun, hanya pesan singkat itu yang diberikan oleh Elisa! Walaupun ragu, akhirnya Naaman melakukannya, dan sembuh.
Pendeta Darmawasih Manulang dalam khotbah yang luar biasa pagi tadi menjelaskan dengan sangat gamblang, betapa kuasa Tuhan tidak selalu hingar-bingar, tidak selalu diiringi awan dan petir menyambar dari langit. Bahkan, anugerahNya tidak selalu indah - kadang-kadang terlihat pahit, menyedihkan, dan menyakitkan, seperti Tuhan Yesus yang menangis darah ketika di Taman Getsemani. Apakah Allah lalu turun dengan jutaan malaikatNya menolong Yesus? Tidak. Tetapi, Allah mengutus malaikatNya, untuk menguatkan Tuhan Yesus menghadapi cawanNya. Kadang-kadang, cawan memang tidak bisa berlalu, tapi bahkan dalam keadaan ini, Tuhan akan memberikan kita kekuatan untuk menghadapinya.
Pendeta Darmawasih mengungkapkan sebuah cerita yang mengharukan. Beliau beberapa waktu lalu mengunjungi seorang anggota jemaat yang aktif dan berusia lanjut. Oma ini baru saja divonis berpenyakit kanker, sehingga hidupnya sungguh sulit didera oleh penyakit ini. Pendeta Damawasih sampai-sampai gugup sebelum menghadapi Sang Oma, karena ia bingung harus bicara apa. Apalagi melihat Sang Oma yang sudah rapuh, masuk ke ruangan dengan kepala tanpa rambut akibat kemoterapi.
Namun, diluar dugaan, Sang Oma justru terlihat ceria. Ia tetap mengobrol seperti biasa, dan ketika ditanya soal penyakitnya, Sang Oma menjawab dengan tegas. Selama hidupnya yang sudah enam puluh tahun lebih, ia sudah banyak menikmati kebaikan Tuhan. Berkat demi berkat diperolehnya, sehingga ia yang berasal dari keluarga tidak mampu, bisa menyelesaikan sekolah, bahkan bisa berjalan-jalan keluar negri. Jadi, selama ini ia mengenal Tuhan dari sisi baiknya saja. Kini, ia ingin mengenal Tuhan lewat penyakit yang dideritanya. Ia ingin mengenal Tuhan dari sisi lain, sisi tantangan berat yang diijinkah terjadi olehNya. Karena, katanya, hanya dengan mengenal sisi inilah, pengenalannya akan Tuhan Yesus menjadi sempurna. Sebuah ungkapan iman yang luar biasa!
Shaloom dan salut untuk Pendeta Damarwasih Manulang yang berkhotbah di GKI Cikarang pagi ini. Walaupun masih muda, Anda berkhotbah dengan penuh hikmat, dengan dasar teologis yang kuat, serta menyajikan ilustrasi yang menyentuh hati. Tidak heran, lagu „Kuberserah kepada Allahku“ yang dinyanyikan sesudah khotbah, betul-betul bersemangat dan dinyanyikan dengan penuh inspirasi. Bravo!
2 Raja-raja 5:11
Ada seorang konglomerat di Jakarta yang mengalami sakit punggung yang sangat menyiksa. Karena beliau cukup aktif di gereja dan kuat imannya, beliau sangat mendambakan penyembuhan mukjijat. Maka, iapun mulai berkeliling ke seluruh dunia untuk menghadiri kebaktian kesembuhan yang terkenal di dunia. Atlanta, Toronto, bahkan beberapa tempat di Australia sudah dijelajahinya. Ia menyumbang uang dalam jumlah besar, duduk di dereta paling depan, entah VIP atau VVIP, dan selalu mendapat giliran pertama dalam pemberkatan. Namun, ia tak kunjung sembuh!
Kemudian, ketika sedang berada di daerah Jawa Tengah untuk tugas, ia mendengar bahwa di desa di dekat situ ada sebuah gereja yang mengadakan kebaktian kesembuhan. Gereja ini sangat terpencil, jemaatnya sedikit, dan pendetanya pun tidak terkenal. Apakah akan buang-buang waktu saja kalau ia kesana? Namun, walaupun dengan keraguan, ia berangkay pagi-pagi untuk mencapai desa itu. Jalannya tidak beraspal, letaknya terpencil di tengah hutan di kaki pegunungan. Ketika tiba, ia tersentak kaget. Bangunan gerejanya sudah reot, nyaris rubuh. Ia turun dari mobilnya yang mentereng dibandingkan jemaat lain yang datang naik sepeda, dan masuk ke dalam. Rikuh karena merasa lain sendiri, iapun mengambil tempat paling belakang, di pojok, dan berdoa sendirian. Kalau para penyembuh kelas dunia saja tidak mampu menyembuhkan dia, bagaimana gereja kecil dengan pendeta muda ini bisa? Pikirnya dengan pasrah.
Keesokan harinya, ketika ia sudah kembali ke rumahnya, ia terkejut bukan main. Sakit punggungnya sembuh! Sembuh total! Ia sangat bersukacita. Luar biasa, bahwa sebuah gereja terpencil dan reot, dengan seorang pendeta muda pula, justru sanggur mengalirkan berkatNya sampai ia sungguh-sungguh sembuh. Tapi, karena ia betul-betul tidak menyangka akan sembuh, ia tidak mencatat nama pendeta dan lokasi gereja tersebut. Berkali-kali ia menelusuri pelosok Jawa Tengah, tapi ia tidak bisa lagi menemukan gereja itu. Sampai sekarang, ia selalu memberi kesaksian tentang kesembuhannya ini. Bahwa justru bukan dengan cara meriah dan hingar-bingar ia sembuh, tetapi di sebuah pojok gereja reot yang terpencil! Namun, justru inilah bukti kuasa Tuhan.
Dalam perikop ini, Naaman, seorang perwira militer perkasa kesayangan Raja Aram, terbiasa dengan ritual yang hingar-bingar. Untuk kesembuhan dari kusta, ia rela membayar ribuan talenta emas dan perak, mendatangkan kerbau bule bertanduk tiga, atau mencari tokek berlidah cabang empat sampai ke penjuru dunia. Ia mampu! Ia berkuasa! Namun, toh ia tidak berdaya menghadapi penyakitnya. Ia tidak berdaya menghadapi masalahnya, hanya Tuhan Allah Israel yang menjadi tumpuan harapannya.
Disini, Elisa merupatan utusan Tuhan yang penuh rahmat. Bahkan Raja Israel pun gentar mendengar permintaan Naaman, karena dalam satu kali serang saya tentaranya sanggup menghancurkan Israel. Tetapi Elisa tidak menyiapkan karpet merah dan menunjukkan kemegahan Allah lewat kilauan emas di Bait Suci. Ia justru begitu tenangnya, sampai-sampai ia sendiripun bahkan tidak keluar menyongsong Naaman. Ia menyuruh seorang pegawainya, yang kemudian meminta Naaman untuk mandi tujuh kali di Sungai Yordan. Sungai yang biasa pula, seperti disebut oleh Naaman, kalah jauh dibanding hebatnya Tigris atau perkasanya Efrat. Namun, hanya pesan singkat itu yang diberikan oleh Elisa! Walaupun ragu, akhirnya Naaman melakukannya, dan sembuh.
Pendeta Darmawasih Manulang dalam khotbah yang luar biasa pagi tadi menjelaskan dengan sangat gamblang, betapa kuasa Tuhan tidak selalu hingar-bingar, tidak selalu diiringi awan dan petir menyambar dari langit. Bahkan, anugerahNya tidak selalu indah - kadang-kadang terlihat pahit, menyedihkan, dan menyakitkan, seperti Tuhan Yesus yang menangis darah ketika di Taman Getsemani. Apakah Allah lalu turun dengan jutaan malaikatNya menolong Yesus? Tidak. Tetapi, Allah mengutus malaikatNya, untuk menguatkan Tuhan Yesus menghadapi cawanNya. Kadang-kadang, cawan memang tidak bisa berlalu, tapi bahkan dalam keadaan ini, Tuhan akan memberikan kita kekuatan untuk menghadapinya.
Pendeta Darmawasih mengungkapkan sebuah cerita yang mengharukan. Beliau beberapa waktu lalu mengunjungi seorang anggota jemaat yang aktif dan berusia lanjut. Oma ini baru saja divonis berpenyakit kanker, sehingga hidupnya sungguh sulit didera oleh penyakit ini. Pendeta Damawasih sampai-sampai gugup sebelum menghadapi Sang Oma, karena ia bingung harus bicara apa. Apalagi melihat Sang Oma yang sudah rapuh, masuk ke ruangan dengan kepala tanpa rambut akibat kemoterapi.
Namun, diluar dugaan, Sang Oma justru terlihat ceria. Ia tetap mengobrol seperti biasa, dan ketika ditanya soal penyakitnya, Sang Oma menjawab dengan tegas. Selama hidupnya yang sudah enam puluh tahun lebih, ia sudah banyak menikmati kebaikan Tuhan. Berkat demi berkat diperolehnya, sehingga ia yang berasal dari keluarga tidak mampu, bisa menyelesaikan sekolah, bahkan bisa berjalan-jalan keluar negri. Jadi, selama ini ia mengenal Tuhan dari sisi baiknya saja. Kini, ia ingin mengenal Tuhan lewat penyakit yang dideritanya. Ia ingin mengenal Tuhan dari sisi lain, sisi tantangan berat yang diijinkah terjadi olehNya. Karena, katanya, hanya dengan mengenal sisi inilah, pengenalannya akan Tuhan Yesus menjadi sempurna. Sebuah ungkapan iman yang luar biasa!
Shaloom dan salut untuk Pendeta Damarwasih Manulang yang berkhotbah di GKI Cikarang pagi ini. Walaupun masih muda, Anda berkhotbah dengan penuh hikmat, dengan dasar teologis yang kuat, serta menyajikan ilustrasi yang menyentuh hati. Tidak heran, lagu „Kuberserah kepada Allahku“ yang dinyanyikan sesudah khotbah, betul-betul bersemangat dan dinyanyikan dengan penuh inspirasi. Bravo!
Monday, January 12, 2009
Sang Kaya Yang Melarat
“Karena dimana hartamu berada, di situ juga hatimu berada”
Matius 6:21
Thierry de la Villehuchet tergolong sebagai golongan kelas atas di Perancis. Lahir dari sebuah keluarga ningrat yang kaya, Villehuchet kemudian meniti karirnya di bidang investasi, menjadi sebuah manajer investasi yang terkenal di dunia. Ia mendirikan Access International Advisor atau AIA, yang memiliki total investasi senilai 3 milyar dollar AS. Ia adalah anggota dari New York Yacht Club dan Larchmont Yacht Club yang eksklusif, dan berkantor di sebuah gedung pencakar langit di Madison Avenue, kawasan elit New York.
Adolf Merckle, adalah seorang figur kaya lain dari Jerman. Ia termasuk orang terkaya ke-44 di dunia, dan masuk 10 besar dalam orang terkaya di Jerman. Ia adalah pemilik produsen obat generik terkenal Ratiopharm, dan seorang pemegang saham dari Heidelberg Cement. Pada akhir tahun 2007, asetnya mencapai 12.8 milyar dollar AS.
Dari Amerika, ada Steven Good, pemilik Sheldon Good & Co., sebuah perusahaan properti di kota Chicago yang sukses. Perusahaan yang didirikan ayahnya 40 tahun lalu ini sempat memiliki nilai transaksi senilai 9.2 milyar dollar AS. Tak heran jika sebuah sedan mewah Jaguar bertengger di dalam garasi Steven Good.
Namun, tiba-tiba, gambaran kesuksesan ini berubah drastis ketika badai krisis ekonomi menerpa dunia. Thierry de la Villehuchet didapati meninggal dunia di kantornya di Madison Avenue yang serba mewah karena bunuh diri. Ia menyayat urat nadi lengan kirinya dan menenggak obat tidur dengan dosis mematikan. Adolf Merckle, juga melakukan bunuh diri, dengan menabrakkan diri pada kereta yang melaju kencang di kota kelahirannya, Blaubeuren, Jerman. Sementara Steven Good menembak dirinya sendiri di dalam Jaguar merahnya, sesudah menulis pesan kematiannya.
Apa yang terjadi dengan orang-orang ini? Bukankah mereka termasuk golongan yang kaya dan berada? Bukankah mereka selalu bergelimang kemewahan, hidup bergaya jet set, dan, seharusnya, berbahagia? Lalu mengapa mereka mereka sampai melakukan bunuh diri?
Saya jadi ingat kepada wawancara dengan pengusaha terkenal Bob Sadino yang pernah saya dengar di radio. Oom Bob kini adalah pemilik gerai Kem Chicks dan cukup berada, tapi beliau memulai hidupnya dalam kesusahan, bahkan sempat menjadi kuli bangunan. Ketika ditanya, apakah sukses Oom Bob yang terbesar? Jawabannya sangat mengejutkan: ”Sukses yang luar biasa buat saya adalah dulu, ketika melarat, dan tidak punya uang, tapi bisa mendapatkan sepiring nasi untuk makan! Itulah sukses yang betul-betul saya rasakan. Sesudah menjadi kaya, semuanya justru terasa biasa saja, proses saja. Tapi, sepiring nasi itulah sukses saya yang terbesar!”
Melalui pandangan Oom Bob, yang pernah menjadi miskin dan kaya, kita bisa sedikit memahami, mengapa Tuhan Yesus sangat menghargai orang miskin. Dalam khotbah Sabda Bahagia ia berkata “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:3). Orang yang miskin, yang tidak memiliki banyak harta, sangat menghargai sebuah anugrah, baik sekecil apapun. Sementara orang kaya, karena begitu keranjingan mengumpulkan harta, cenderung ingin memiliki harta sebanyak-banyaknya, bahkan sampai tujuh turunan!
Nah, apa yang terjadi jika harta itu diambil daripadanya? Nah, inilah resiko besar yang tidak pernah dikhawatirkan oleh si miskin! Secuil saja dari hartanya lenyap, maka orang bisa kalap, mengamuk, bahkan bunuh diri. Perlu diingat, bahwa ketiga orang yang melakukan bunuh diri tadi kekayaannya memang berkurang dengan cukup drastis, tapi mereka masih jauh dari miskin. Masing-masing masih memiliki jutaan dolar AS, bahkan Adolf Merckle masih termasuk dalam salah satu orang terkaya di Jerman. Tapi, kehilangan harta itu begitu mengerikannya, sampai-sampai mereka rela menghabisi nyawanya sendiri!
Lalu apa hubungannya dengan kehidupan iman kita? Dengan peristiwa ini, kita diingatkan untuk membangun suatu keseimbangan yang selaras antara iman dan harta kita. Jika kita termasuk dalam golongan orang yang kaya, bersyukurlah, namun juga waspada. Karena, sebagai orang kaya, mental kitapun seringkali menjadi mental ’orang kaya’: merasa berkuasa, merasa bisa melakukan segala sesuatu, merasa paling penting, selalu harus didahulukan, dan paling suci karena banyak menyumbang gereja. Hal ini yang ditunjukkan oleh seseorang yang menghadap Yesus (Mat 19:16-26). Orang ini berkata bahwa ia sudah melakukan ajaran Taurat, sudah menyumbang, sudah berbuat baik, sudah mengikuti semua ajaran agama. Singkatnya: sudah suci, sempurna! Maka, Iapun pergi kepada Yesus dan berkata: ”Guru, perbuatan baik apakah yang harus kulakukan agar memperoleh hidup kekal?” (Mat 19:16).
Tapi, Tuhan Yesus bukan Ahli Taurat atau Orang Farisi, yang akan memuja-muja si kaya karena takut sumbangannya berkurang. Ia dapat membaca niat orang itu, dan memberikan tantangan yang biasa: ”Jikalau engkau hendak sempurna, pergillah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di Sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku” (Mat 19:21). Memang, ia pernah menyumbang untuk orang miskin, tapi memberikan SEMUA hartanya adalah hal yang tak terbayangkan! Inilah sifat ’orang kaya’: bisa jadi ia rela memberi secuil atau sebagian, tapi tidak semua! Orang inipun mundur teratur, tidak jadi mengikut Yesus (Mat 19:22).
Apabila kita tergolong orang yang berkecukupan, maka kita memiliki tantangan yang lebih besar daripada orang miskin, yakni menjaga keseimbangan yang selaras antara harta dan iman kita. Bukan berarti orang Kristen tidak boleh kaya, tetapi sebagai orang Kristen kekayaan mengandung tanggung jawab lebih yang harus dipikul. Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan ini adalah dengan melakukan kontak dengan golongan lain yang kurang beruntung, bukan hanya dengan memberi uang, tetapi ikut terlibat aktif. Misalnya, menjadi relawan untuk kaum miskin kota, berkunjung ke panti asuhan, atau berjalan-jalan ke daerah minus. Dengan menyaksikan, hidup bersama, dan berinteraksi dengan orang yang kurang beruntung ini, kita akan mendapat pencerahan untuk bersyukur akan kondisi kita, namun juga tidak lupa akan dari mana kita berasal. Dengan demikian, kita akan terhindar dari ’mental orang kaya’ yang membuat pintu masuk Sorga menjadi sekecil lubang jarum.
Matius 6:21
Thierry de la Villehuchet tergolong sebagai golongan kelas atas di Perancis. Lahir dari sebuah keluarga ningrat yang kaya, Villehuchet kemudian meniti karirnya di bidang investasi, menjadi sebuah manajer investasi yang terkenal di dunia. Ia mendirikan Access International Advisor atau AIA, yang memiliki total investasi senilai 3 milyar dollar AS. Ia adalah anggota dari New York Yacht Club dan Larchmont Yacht Club yang eksklusif, dan berkantor di sebuah gedung pencakar langit di Madison Avenue, kawasan elit New York.
Adolf Merckle, adalah seorang figur kaya lain dari Jerman. Ia termasuk orang terkaya ke-44 di dunia, dan masuk 10 besar dalam orang terkaya di Jerman. Ia adalah pemilik produsen obat generik terkenal Ratiopharm, dan seorang pemegang saham dari Heidelberg Cement. Pada akhir tahun 2007, asetnya mencapai 12.8 milyar dollar AS.
Dari Amerika, ada Steven Good, pemilik Sheldon Good & Co., sebuah perusahaan properti di kota Chicago yang sukses. Perusahaan yang didirikan ayahnya 40 tahun lalu ini sempat memiliki nilai transaksi senilai 9.2 milyar dollar AS. Tak heran jika sebuah sedan mewah Jaguar bertengger di dalam garasi Steven Good.
Namun, tiba-tiba, gambaran kesuksesan ini berubah drastis ketika badai krisis ekonomi menerpa dunia. Thierry de la Villehuchet didapati meninggal dunia di kantornya di Madison Avenue yang serba mewah karena bunuh diri. Ia menyayat urat nadi lengan kirinya dan menenggak obat tidur dengan dosis mematikan. Adolf Merckle, juga melakukan bunuh diri, dengan menabrakkan diri pada kereta yang melaju kencang di kota kelahirannya, Blaubeuren, Jerman. Sementara Steven Good menembak dirinya sendiri di dalam Jaguar merahnya, sesudah menulis pesan kematiannya.
Apa yang terjadi dengan orang-orang ini? Bukankah mereka termasuk golongan yang kaya dan berada? Bukankah mereka selalu bergelimang kemewahan, hidup bergaya jet set, dan, seharusnya, berbahagia? Lalu mengapa mereka mereka sampai melakukan bunuh diri?
Saya jadi ingat kepada wawancara dengan pengusaha terkenal Bob Sadino yang pernah saya dengar di radio. Oom Bob kini adalah pemilik gerai Kem Chicks dan cukup berada, tapi beliau memulai hidupnya dalam kesusahan, bahkan sempat menjadi kuli bangunan. Ketika ditanya, apakah sukses Oom Bob yang terbesar? Jawabannya sangat mengejutkan: ”Sukses yang luar biasa buat saya adalah dulu, ketika melarat, dan tidak punya uang, tapi bisa mendapatkan sepiring nasi untuk makan! Itulah sukses yang betul-betul saya rasakan. Sesudah menjadi kaya, semuanya justru terasa biasa saja, proses saja. Tapi, sepiring nasi itulah sukses saya yang terbesar!”
Melalui pandangan Oom Bob, yang pernah menjadi miskin dan kaya, kita bisa sedikit memahami, mengapa Tuhan Yesus sangat menghargai orang miskin. Dalam khotbah Sabda Bahagia ia berkata “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:3). Orang yang miskin, yang tidak memiliki banyak harta, sangat menghargai sebuah anugrah, baik sekecil apapun. Sementara orang kaya, karena begitu keranjingan mengumpulkan harta, cenderung ingin memiliki harta sebanyak-banyaknya, bahkan sampai tujuh turunan!
Nah, apa yang terjadi jika harta itu diambil daripadanya? Nah, inilah resiko besar yang tidak pernah dikhawatirkan oleh si miskin! Secuil saja dari hartanya lenyap, maka orang bisa kalap, mengamuk, bahkan bunuh diri. Perlu diingat, bahwa ketiga orang yang melakukan bunuh diri tadi kekayaannya memang berkurang dengan cukup drastis, tapi mereka masih jauh dari miskin. Masing-masing masih memiliki jutaan dolar AS, bahkan Adolf Merckle masih termasuk dalam salah satu orang terkaya di Jerman. Tapi, kehilangan harta itu begitu mengerikannya, sampai-sampai mereka rela menghabisi nyawanya sendiri!
Lalu apa hubungannya dengan kehidupan iman kita? Dengan peristiwa ini, kita diingatkan untuk membangun suatu keseimbangan yang selaras antara iman dan harta kita. Jika kita termasuk dalam golongan orang yang kaya, bersyukurlah, namun juga waspada. Karena, sebagai orang kaya, mental kitapun seringkali menjadi mental ’orang kaya’: merasa berkuasa, merasa bisa melakukan segala sesuatu, merasa paling penting, selalu harus didahulukan, dan paling suci karena banyak menyumbang gereja. Hal ini yang ditunjukkan oleh seseorang yang menghadap Yesus (Mat 19:16-26). Orang ini berkata bahwa ia sudah melakukan ajaran Taurat, sudah menyumbang, sudah berbuat baik, sudah mengikuti semua ajaran agama. Singkatnya: sudah suci, sempurna! Maka, Iapun pergi kepada Yesus dan berkata: ”Guru, perbuatan baik apakah yang harus kulakukan agar memperoleh hidup kekal?” (Mat 19:16).
Tapi, Tuhan Yesus bukan Ahli Taurat atau Orang Farisi, yang akan memuja-muja si kaya karena takut sumbangannya berkurang. Ia dapat membaca niat orang itu, dan memberikan tantangan yang biasa: ”Jikalau engkau hendak sempurna, pergillah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di Sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku” (Mat 19:21). Memang, ia pernah menyumbang untuk orang miskin, tapi memberikan SEMUA hartanya adalah hal yang tak terbayangkan! Inilah sifat ’orang kaya’: bisa jadi ia rela memberi secuil atau sebagian, tapi tidak semua! Orang inipun mundur teratur, tidak jadi mengikut Yesus (Mat 19:22).
Apabila kita tergolong orang yang berkecukupan, maka kita memiliki tantangan yang lebih besar daripada orang miskin, yakni menjaga keseimbangan yang selaras antara harta dan iman kita. Bukan berarti orang Kristen tidak boleh kaya, tetapi sebagai orang Kristen kekayaan mengandung tanggung jawab lebih yang harus dipikul. Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan ini adalah dengan melakukan kontak dengan golongan lain yang kurang beruntung, bukan hanya dengan memberi uang, tetapi ikut terlibat aktif. Misalnya, menjadi relawan untuk kaum miskin kota, berkunjung ke panti asuhan, atau berjalan-jalan ke daerah minus. Dengan menyaksikan, hidup bersama, dan berinteraksi dengan orang yang kurang beruntung ini, kita akan mendapat pencerahan untuk bersyukur akan kondisi kita, namun juga tidak lupa akan dari mana kita berasal. Dengan demikian, kita akan terhindar dari ’mental orang kaya’ yang membuat pintu masuk Sorga menjadi sekecil lubang jarum.
Monday, January 05, 2009
iChurch - Bagian 2
Bagian 2 - Gereja Sebagai Tempat Ibadah
Nah, setelah memahami semua ini, perenungan saya membawa kepada masalah baru: apakah kita boleh ‘memilih’ gereja? Apakah kita boleh pindah-pindah sesuka hati, dan hinggap di dahan dimana kita merasa betah, seperti burung-burung di taman kota? Dalam hal ini, kita perlu melihat gereja dari dua sudut: gereja sebagai tempat ibadah dan gereja sebagai komunitas.
Gereja sebagai komunitas, adalah bentuk gereja yang ideal. Gereja dimana kita hadir tidak hanya seminggu sekali kalau sempat, melainkan beberapa kali seminggu. Gereja dimana kita mengenal paling tidak 10 orang jemaat lainnya - kenal dekat, maksudnya tahu nomor ponselnya dan mengirim sms lebih dari sekali setahun. Gereja ini, buat saya, adalah GKI Taman Cibunut. Namun, ketika saya merantau, dengan tuntutan kerja saya, maka sulit menemukan ’GKI Taman Cibunut kedua’ di tempat perantauan saya. Beberapa orang berhasil menjadi anggota komunitas gereja baru, tapi ini nampaknya akan menjadi lumrah kalau kita sudah berkeluarga. Kalau masih single, dengan profesi sebagai sales pula, sulit mengharapkan akan mendapat komunitas gerejawi. Nah, apakah ini berarti tidak ada tempat bagi kita di gereja?
Tidak. Menurut saya, gereja punya fungsi kedua, yakni sebagai tempat ibadah. Konsep ini mirip dengan umat Muslim dengan Masjid. Di hari Jumat, saudara-saudara Muslim akan melakukan sembahyang Jumat bersama di Masjid. Memang disana ada juga khotbah, tapi unsur terpenting dalam sebuah sholat Jumat, seperti dijelaskan rekan saya yang Muslim, adalah mendengar ayat-ayat suci Al-Quran dan bersembahyang bersama. Sesudah itu, semua pulang dan kembali ke kehidupan sehari-hari. Memang ada komunitas, seperti Remaja Masjid, atau organisasi islam lainnya, tapi ini hanya merupakan minoritas dari umat yang melakukan sholat Jumat.
Gereja, untuk perantau seperti saya, harus memiliki fungsi sebagai tempat ibadah. Artinya, tidak mementingkan komunitas, tidak dihujani berbagai pertanyaan dan diminta nomor ponselnya untuk dihubungi kalau tidak datang, disuruh berdiri dan ditepuki seluruh jemaat sebagai ’anggota baru’. Adalah fakta bahwa semua ini bertujuan untuk ’menambah anggota gereja’. Nah, ini yang saya tidak setuju. Memang benar bahwa ada jemaat yang mencari komunitas, namun langkah ini akan menjadi kontra-produktif jika jemaat tadi sudah menjadi anggota gereja asal dan kini ingin beribadah. Semua langkah ini memang baik, tapi harus proporsional, jangan sampai justru membuat rikuh ’anggota baru’ tersebut. Juga, tidak membuat sang anggota baru merasa menjadi ’objek wajib pajak baru’.
Buat saya, yang utama, adalah kesegaran rohani jiwa kita. Kalau Anda seperti saya, seorang perantau, yang sudah menjadi anggota di tempat asal, dan kini merasa kering kerontang karena jauh dari keluarga, maka iman dan kesegaran iman adalah yang utama. Pergilah ke tempat dimana iman Anda disegarkan, dimana Tuhan berbicara kepada Anda! Jika Anda mempertahankan ‘identitas’ dan tetap hadir di sebuah gereja dimana Anda hanya berjuang melawan kantuk dan berprinsip 4D, maka lebih baik Anda tidur saja di rumah, karena Tuhan Yesus pun tidak berkenan dengan ibadah yang seperti itu. Bukankah Ia berkata, lebih baik berdoa berbisik-bisik tapi memberikan satu-satunya keping uang logam yang dimiliki, daripada berdoa berpanjang-panjang seperti orang Farisi? Iman adalah urusan pribadi kita dengan Tuhan, dan dalam ibadah, inilah yang harus menjadi prioritas, bukannya identitas, ritual, atau yang lainnya.
Nah, pemikiran ini juga bermanfaat untuk para pengurus gereja. Sudahkah gereja mementingkan kesegaran iman jemaatnya? Banyak gereja yang begitu mengutamakan ritual atau persembahan, sampai mengorbankan alasan utama orang ke gereja, yakni mencari penyegaran iman. Apakah yang menjadi fokus pelayan kita, apakah sekedar ‘menambah anggota gereja’, menjadi ‘lembaga penginjilan’, ataukah menyediakan penyegaran iman bagi anak-anak Tuhan yang terlantar? Sudahkah gereja menjadi saluran berkat, penyambung antara Tuhan dengan manusia?
Pulogadung, Minggu, 4 Januari 2009.
Nah, setelah memahami semua ini, perenungan saya membawa kepada masalah baru: apakah kita boleh ‘memilih’ gereja? Apakah kita boleh pindah-pindah sesuka hati, dan hinggap di dahan dimana kita merasa betah, seperti burung-burung di taman kota? Dalam hal ini, kita perlu melihat gereja dari dua sudut: gereja sebagai tempat ibadah dan gereja sebagai komunitas.
Gereja sebagai komunitas, adalah bentuk gereja yang ideal. Gereja dimana kita hadir tidak hanya seminggu sekali kalau sempat, melainkan beberapa kali seminggu. Gereja dimana kita mengenal paling tidak 10 orang jemaat lainnya - kenal dekat, maksudnya tahu nomor ponselnya dan mengirim sms lebih dari sekali setahun. Gereja ini, buat saya, adalah GKI Taman Cibunut. Namun, ketika saya merantau, dengan tuntutan kerja saya, maka sulit menemukan ’GKI Taman Cibunut kedua’ di tempat perantauan saya. Beberapa orang berhasil menjadi anggota komunitas gereja baru, tapi ini nampaknya akan menjadi lumrah kalau kita sudah berkeluarga. Kalau masih single, dengan profesi sebagai sales pula, sulit mengharapkan akan mendapat komunitas gerejawi. Nah, apakah ini berarti tidak ada tempat bagi kita di gereja?
Tidak. Menurut saya, gereja punya fungsi kedua, yakni sebagai tempat ibadah. Konsep ini mirip dengan umat Muslim dengan Masjid. Di hari Jumat, saudara-saudara Muslim akan melakukan sembahyang Jumat bersama di Masjid. Memang disana ada juga khotbah, tapi unsur terpenting dalam sebuah sholat Jumat, seperti dijelaskan rekan saya yang Muslim, adalah mendengar ayat-ayat suci Al-Quran dan bersembahyang bersama. Sesudah itu, semua pulang dan kembali ke kehidupan sehari-hari. Memang ada komunitas, seperti Remaja Masjid, atau organisasi islam lainnya, tapi ini hanya merupakan minoritas dari umat yang melakukan sholat Jumat.
Gereja, untuk perantau seperti saya, harus memiliki fungsi sebagai tempat ibadah. Artinya, tidak mementingkan komunitas, tidak dihujani berbagai pertanyaan dan diminta nomor ponselnya untuk dihubungi kalau tidak datang, disuruh berdiri dan ditepuki seluruh jemaat sebagai ’anggota baru’. Adalah fakta bahwa semua ini bertujuan untuk ’menambah anggota gereja’. Nah, ini yang saya tidak setuju. Memang benar bahwa ada jemaat yang mencari komunitas, namun langkah ini akan menjadi kontra-produktif jika jemaat tadi sudah menjadi anggota gereja asal dan kini ingin beribadah. Semua langkah ini memang baik, tapi harus proporsional, jangan sampai justru membuat rikuh ’anggota baru’ tersebut. Juga, tidak membuat sang anggota baru merasa menjadi ’objek wajib pajak baru’.
Buat saya, yang utama, adalah kesegaran rohani jiwa kita. Kalau Anda seperti saya, seorang perantau, yang sudah menjadi anggota di tempat asal, dan kini merasa kering kerontang karena jauh dari keluarga, maka iman dan kesegaran iman adalah yang utama. Pergilah ke tempat dimana iman Anda disegarkan, dimana Tuhan berbicara kepada Anda! Jika Anda mempertahankan ‘identitas’ dan tetap hadir di sebuah gereja dimana Anda hanya berjuang melawan kantuk dan berprinsip 4D, maka lebih baik Anda tidur saja di rumah, karena Tuhan Yesus pun tidak berkenan dengan ibadah yang seperti itu. Bukankah Ia berkata, lebih baik berdoa berbisik-bisik tapi memberikan satu-satunya keping uang logam yang dimiliki, daripada berdoa berpanjang-panjang seperti orang Farisi? Iman adalah urusan pribadi kita dengan Tuhan, dan dalam ibadah, inilah yang harus menjadi prioritas, bukannya identitas, ritual, atau yang lainnya.
Nah, pemikiran ini juga bermanfaat untuk para pengurus gereja. Sudahkah gereja mementingkan kesegaran iman jemaatnya? Banyak gereja yang begitu mengutamakan ritual atau persembahan, sampai mengorbankan alasan utama orang ke gereja, yakni mencari penyegaran iman. Apakah yang menjadi fokus pelayan kita, apakah sekedar ‘menambah anggota gereja’, menjadi ‘lembaga penginjilan’, ataukah menyediakan penyegaran iman bagi anak-anak Tuhan yang terlantar? Sudahkah gereja menjadi saluran berkat, penyambung antara Tuhan dengan manusia?
Pulogadung, Minggu, 4 Januari 2009.
iChurch - Bagian 1
Catatan: saya adalah anggota Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Cibunut Bandung, demografi saya adalah usia awal 30-an, belum menikah, bekerja, tidak tinggal bersama orang tua.
Bagian 1 - Song, Sermon, Sacrament
Adalah panggilan orang Kristen untuk setiap hari Minggu datang ke gereja. Apa yang dilakukan disana? Istilahnya adalah 4D: Duduk, Doa, Dengar (khotbah), dan Duit (persembahan). Lalu, pulang! Saya selalu tersenyum dalam hati kalau mendengar sebuah lelucon: respon jemaat yang mana yang selalu paling keras dan penuh semangat? Jawabannya adalah perkataan “Syukur kepada Allah!” setelah Pendeta mengatakan “Kebaktian telah selesai!”. Nah, sesudah itu, life goes on - bahkan di parkir gereja pernah ada yang adu jotos karena masalah parkir!
Saya menjadi berpikir. Walaupun tidak setiap minggu, paling tidak sekali atau dua kali sebulan saya yang di perantauan ini juga pergi ke gereja. Saya berkorban bangun pagi, mandi pagi, lalu nyetir mobil dengan mata ngantuk, dan akhirnya sampai di gereja. Sampai di gereja tujuan saya hanya satu: berjuang melawan kantuk, dimana saat doa syafaat menjadi ‘oasis’ yang menyegarkan karena paling tidak mata saya bisa tertutup. Nah, kembali ke 4D. Kadang-kadang, ada khotbah pendeta yang sangat bagus, sehingga saya bersemangat dan pulang dengan membawa sesuatu yang baru. Tapi, jujur saja - secara statistik, paling-paling hanya satu kali diantara sepuluh kali ke gereja, saya bisa merasakan kehormatan itu. Sisanya, 4D. Saya merasa, kok seperti hanya buang waktu saja ya ke gereja? Apakah perlu saya melakukan ritual ini sekali lagi?
Kemudian, saya berpikir. Mungkin, bukan gerejanya yang salah - tetapi ada ketidakcocokan antara saya dan gereja itu sendiri. Sebaiknya, setiap kali pulang gereja saya membawa pencerahan, iman, dan semangat baru. Kalau tidak, berarti ada sesuatu yang salah! Jadi, yang salah itu yang harus diperbaiki. Nah, untuk menjawab yang satu ini, saya bertanya kepada diri saya sendiri: gereja macam apa sih yang saya cari? Dimana saya, dan kaum muda perantauan seperti saya, bisa menemukan pencerahan, dan bukan hanya 4D saja?
Perenungan saya membawa masalah ini kepada satu analisis: apa saja unsur yang penting dalam sebuah liturgi? Dengan kata lain, kalau saya - dan orang-orang lain - ke gereja, apa yang saya harapkan, apa yang dicari, apa yang ditunggu-tunggu? Saya merumuskannya dalam singkatan S3: Song, Sermon, dan Sacrament.
1. Song
Song atau lagu pujian, buat saya dan orang-orang yang berdemografi sama dengan saya, adalah unsur yang sangat penting. Sejak di SMA dulu saya sudah mengkritik GKI tempat saya bergereja karena mereka sangat keras kepala mempertahankan buku nyanyian dengan lagi-lagu dari Abad 17-an (menurut istilah teman saya, ‘lagu-lagu jaman penjajahan’). Setiap lagu baru yang dicap sebagai ‘lagu persekutuan’ atau ‘lagu pantekosta’ diinvestigasi secara mendalam ‘aspek teologia’-nya, dan diproklamirkan sebagai ‘memiliki bobot teologis yang kuang baik’. Alhasil, semua pendukung liturgi mencari tantangan dengan ‘memaksa’ para jemaat menyanyikan lagu minor dari abad 18, yang bahkan sang pemimpin biduan yang lulus ujian nasional piano klasik sekalipun tergopoh-gopoh dalam menyanyikannya!
Mari kita jawab secara jujur: mana yang lebih menyentuh di hati, menyanyikan “Kepala yang berdarah…” atau “KasihMu sperti fajar pagi hari….”? Buat saya, yang kedua yang lebih menyentuh. Dengan nada yang tidak ketinggalan jaman, kata-kata yang menyentuh, membuat saya bahkan menitikkan air mata ketika menyanyikannya. Gereja Duta Injil di Kuningan misalnya, memiliki tim puji-pujian dan koleksi lagu yang sangat indah. Menyanyi disana bukan dipaksa sambil menebak-nebak apakah suara saya sampai atau tidak - melainkan dengan sepenuh hati, dengan iringan musik yang indah, membuat saya - minimal - sadar akan dosa-dosa saya. Nah, bagi sebagian besar kaum muda, lagu adalah unsur penting, karena kalau kata-kata hanya mencapai telinga, musik bisa menyentuh sanubari.
2. Sermon
Sermon atau khotbah, adalah unsur yang terpenting dalam liturgi Protestan. Tentu saja, khotbah adalah elemen yang sangat penting bagi jemaat. Pertanyaannya: khotbah seperti apa yang kira-kira cocok dengan demografi saya? Untuk ini, saya ingat pengalaman saya ketika pertama kali datang ke kebaktian JPCC di Kuningan, Jakarta (sekarang di Annex Building, Thamrin), dan mendengarkan khotbah Pendeta Jeffrey Ramli. Waktu itu, untuk memulai khotbahnya, Pak Pendeta yang keren ini menunjukkan ponsel miliknya - Nokia 9210, ponsel termahal dan tercanggih waktu itu. “Kalian tahu ini?” katanya. Semua mengangguk - siapa yang tidak tahu Nokia 9210? “Nah, kalau ini, kalian pernah lihat atau tidak?” katanya, sambil memperlihatkan buku petunjuk penggunaan Nokia 9210 yang tebalnya nyaris sama seperti Alkitab. “Ini adalah buku petunjuk penggunaan ponsel saya. Kalau kalian membeli ponsel ini, dan tidak membaca bukunya, maka ponsel kalian tidak akan dapat digunakan secara maksimal” katanya. “Ponsel 9210 sama dengan kehidupan, dan Alkitab adalah buku petunjuk penggunaannya. Tanpa membaca Alkitab, bukan saja hidup kita tidak akan digunakan secara maksimal, tapi bisa-bisa kita salah pencet dan hidup kita jadi rusak!” katanya, disambut tawa hadirin.
Saya terkesiap ketika mendengar khotbah itu. Betapa sederhana, namun mengena di benak setiap orang muda yang memiliki gadget - apakah itu PDA, ponsel, atau laptop. Dan betapa serong kita bingung, bahkan gadget kita rusak, karena malas membaca petunjuk penggunaannya! Buat saya, khotbah Pendeta Jeffrey melekat di hati saya, sebagai perumpamaan yang sangat sederhana, namun mengena di hati.
Nah, khotbah semacam inilah yang cocok dengan demografi saya. Khotbah yang berbicara tentang iPhone, Blackberry, atau Facebook. Khotbah yang menyentuh keseharian saya, seperti ketika Tuhan Yesus menjelaskan konsep sesama dengan perumpamaan orang Samaria. Gereja GKI tempat saya menjadi anggota, biasanya memiliki khotbah yang berat, dengan kajian teologis yang mendalam dan analitik. Ini sangat bagus, dan kadang-kadang saya merasa gereja-gereja dengan lagu yang semangat khotbahnya justru mengambang, kurang didasari oleh aspek teologis yang mendalam. Namun, untuk benar-benar memberikan hikmah, aspek teologis itu sebaiknya dijelaskan dalam bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti dan menyentuh. Khotbah harus membumi, tidak mengawang-awang di langit ketujuh.
3. Sacrament
Walaupun sangat demokratis, agama selalu membutuhkan upacara, sakramen, sebagai lambang pertalian manusia dengan Tuhan. Sehingga, aspek sakramen atau ritual menjadi faktor yang tak kalah penting. Sakramen adalah pelaksanaan ritual gerejawi, seperti pembabtisan, atau yang paling umum adalah sakramen perjamuan kudus. Pelaksanaan sakramen, beserta aspek pendukungnya, sangat penting dalam upacara kristiani.
Dalam sakramen, untuk agama Kristen Protestan, gereja misi seperti GKI dan GPIB selalu menjadi benchmark atau tolok ukur. GKI, yang didukung oleh gedung gereja yang ideal (tidak berbentuk ruko atau berdesain minimalis) - berupa atap yang tinggi, menara lonceng, dan mimbar yang megah - juga dengan keseriusan dalam pendalam makna teologis setiap sakramen, membuat setiap jemaat merasa teduh dan khusuk ketika menerima sakramen perjamuan kudus. Gema suara Pendeta yang menggaung di dalam ruangan berlangit-langit tinggi, dengan desain akustik yang sempurna tanpa mikrofon, membuat hati setiap jemaat ciut dan mengangguk mengakui keagungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal ini memang menjadi kekuatan gereja GKI dan GPIB, sehingga membuat angka kunjungan gereja meningkat tajam di hari raya kristiani seperti Natal dan Paskah.
Bagian 1 - Song, Sermon, Sacrament
Adalah panggilan orang Kristen untuk setiap hari Minggu datang ke gereja. Apa yang dilakukan disana? Istilahnya adalah 4D: Duduk, Doa, Dengar (khotbah), dan Duit (persembahan). Lalu, pulang! Saya selalu tersenyum dalam hati kalau mendengar sebuah lelucon: respon jemaat yang mana yang selalu paling keras dan penuh semangat? Jawabannya adalah perkataan “Syukur kepada Allah!” setelah Pendeta mengatakan “Kebaktian telah selesai!”. Nah, sesudah itu, life goes on - bahkan di parkir gereja pernah ada yang adu jotos karena masalah parkir!
Saya menjadi berpikir. Walaupun tidak setiap minggu, paling tidak sekali atau dua kali sebulan saya yang di perantauan ini juga pergi ke gereja. Saya berkorban bangun pagi, mandi pagi, lalu nyetir mobil dengan mata ngantuk, dan akhirnya sampai di gereja. Sampai di gereja tujuan saya hanya satu: berjuang melawan kantuk, dimana saat doa syafaat menjadi ‘oasis’ yang menyegarkan karena paling tidak mata saya bisa tertutup. Nah, kembali ke 4D. Kadang-kadang, ada khotbah pendeta yang sangat bagus, sehingga saya bersemangat dan pulang dengan membawa sesuatu yang baru. Tapi, jujur saja - secara statistik, paling-paling hanya satu kali diantara sepuluh kali ke gereja, saya bisa merasakan kehormatan itu. Sisanya, 4D. Saya merasa, kok seperti hanya buang waktu saja ya ke gereja? Apakah perlu saya melakukan ritual ini sekali lagi?
Kemudian, saya berpikir. Mungkin, bukan gerejanya yang salah - tetapi ada ketidakcocokan antara saya dan gereja itu sendiri. Sebaiknya, setiap kali pulang gereja saya membawa pencerahan, iman, dan semangat baru. Kalau tidak, berarti ada sesuatu yang salah! Jadi, yang salah itu yang harus diperbaiki. Nah, untuk menjawab yang satu ini, saya bertanya kepada diri saya sendiri: gereja macam apa sih yang saya cari? Dimana saya, dan kaum muda perantauan seperti saya, bisa menemukan pencerahan, dan bukan hanya 4D saja?
Perenungan saya membawa masalah ini kepada satu analisis: apa saja unsur yang penting dalam sebuah liturgi? Dengan kata lain, kalau saya - dan orang-orang lain - ke gereja, apa yang saya harapkan, apa yang dicari, apa yang ditunggu-tunggu? Saya merumuskannya dalam singkatan S3: Song, Sermon, dan Sacrament.
1. Song
Song atau lagu pujian, buat saya dan orang-orang yang berdemografi sama dengan saya, adalah unsur yang sangat penting. Sejak di SMA dulu saya sudah mengkritik GKI tempat saya bergereja karena mereka sangat keras kepala mempertahankan buku nyanyian dengan lagi-lagu dari Abad 17-an (menurut istilah teman saya, ‘lagu-lagu jaman penjajahan’). Setiap lagu baru yang dicap sebagai ‘lagu persekutuan’ atau ‘lagu pantekosta’ diinvestigasi secara mendalam ‘aspek teologia’-nya, dan diproklamirkan sebagai ‘memiliki bobot teologis yang kuang baik’. Alhasil, semua pendukung liturgi mencari tantangan dengan ‘memaksa’ para jemaat menyanyikan lagu minor dari abad 18, yang bahkan sang pemimpin biduan yang lulus ujian nasional piano klasik sekalipun tergopoh-gopoh dalam menyanyikannya!
Mari kita jawab secara jujur: mana yang lebih menyentuh di hati, menyanyikan “Kepala yang berdarah…” atau “KasihMu sperti fajar pagi hari….”? Buat saya, yang kedua yang lebih menyentuh. Dengan nada yang tidak ketinggalan jaman, kata-kata yang menyentuh, membuat saya bahkan menitikkan air mata ketika menyanyikannya. Gereja Duta Injil di Kuningan misalnya, memiliki tim puji-pujian dan koleksi lagu yang sangat indah. Menyanyi disana bukan dipaksa sambil menebak-nebak apakah suara saya sampai atau tidak - melainkan dengan sepenuh hati, dengan iringan musik yang indah, membuat saya - minimal - sadar akan dosa-dosa saya. Nah, bagi sebagian besar kaum muda, lagu adalah unsur penting, karena kalau kata-kata hanya mencapai telinga, musik bisa menyentuh sanubari.
2. Sermon
Sermon atau khotbah, adalah unsur yang terpenting dalam liturgi Protestan. Tentu saja, khotbah adalah elemen yang sangat penting bagi jemaat. Pertanyaannya: khotbah seperti apa yang kira-kira cocok dengan demografi saya? Untuk ini, saya ingat pengalaman saya ketika pertama kali datang ke kebaktian JPCC di Kuningan, Jakarta (sekarang di Annex Building, Thamrin), dan mendengarkan khotbah Pendeta Jeffrey Ramli. Waktu itu, untuk memulai khotbahnya, Pak Pendeta yang keren ini menunjukkan ponsel miliknya - Nokia 9210, ponsel termahal dan tercanggih waktu itu. “Kalian tahu ini?” katanya. Semua mengangguk - siapa yang tidak tahu Nokia 9210? “Nah, kalau ini, kalian pernah lihat atau tidak?” katanya, sambil memperlihatkan buku petunjuk penggunaan Nokia 9210 yang tebalnya nyaris sama seperti Alkitab. “Ini adalah buku petunjuk penggunaan ponsel saya. Kalau kalian membeli ponsel ini, dan tidak membaca bukunya, maka ponsel kalian tidak akan dapat digunakan secara maksimal” katanya. “Ponsel 9210 sama dengan kehidupan, dan Alkitab adalah buku petunjuk penggunaannya. Tanpa membaca Alkitab, bukan saja hidup kita tidak akan digunakan secara maksimal, tapi bisa-bisa kita salah pencet dan hidup kita jadi rusak!” katanya, disambut tawa hadirin.
Saya terkesiap ketika mendengar khotbah itu. Betapa sederhana, namun mengena di benak setiap orang muda yang memiliki gadget - apakah itu PDA, ponsel, atau laptop. Dan betapa serong kita bingung, bahkan gadget kita rusak, karena malas membaca petunjuk penggunaannya! Buat saya, khotbah Pendeta Jeffrey melekat di hati saya, sebagai perumpamaan yang sangat sederhana, namun mengena di hati.
Nah, khotbah semacam inilah yang cocok dengan demografi saya. Khotbah yang berbicara tentang iPhone, Blackberry, atau Facebook. Khotbah yang menyentuh keseharian saya, seperti ketika Tuhan Yesus menjelaskan konsep sesama dengan perumpamaan orang Samaria. Gereja GKI tempat saya menjadi anggota, biasanya memiliki khotbah yang berat, dengan kajian teologis yang mendalam dan analitik. Ini sangat bagus, dan kadang-kadang saya merasa gereja-gereja dengan lagu yang semangat khotbahnya justru mengambang, kurang didasari oleh aspek teologis yang mendalam. Namun, untuk benar-benar memberikan hikmah, aspek teologis itu sebaiknya dijelaskan dalam bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti dan menyentuh. Khotbah harus membumi, tidak mengawang-awang di langit ketujuh.
3. Sacrament
Walaupun sangat demokratis, agama selalu membutuhkan upacara, sakramen, sebagai lambang pertalian manusia dengan Tuhan. Sehingga, aspek sakramen atau ritual menjadi faktor yang tak kalah penting. Sakramen adalah pelaksanaan ritual gerejawi, seperti pembabtisan, atau yang paling umum adalah sakramen perjamuan kudus. Pelaksanaan sakramen, beserta aspek pendukungnya, sangat penting dalam upacara kristiani.
Dalam sakramen, untuk agama Kristen Protestan, gereja misi seperti GKI dan GPIB selalu menjadi benchmark atau tolok ukur. GKI, yang didukung oleh gedung gereja yang ideal (tidak berbentuk ruko atau berdesain minimalis) - berupa atap yang tinggi, menara lonceng, dan mimbar yang megah - juga dengan keseriusan dalam pendalam makna teologis setiap sakramen, membuat setiap jemaat merasa teduh dan khusuk ketika menerima sakramen perjamuan kudus. Gema suara Pendeta yang menggaung di dalam ruangan berlangit-langit tinggi, dengan desain akustik yang sempurna tanpa mikrofon, membuat hati setiap jemaat ciut dan mengangguk mengakui keagungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal ini memang menjadi kekuatan gereja GKI dan GPIB, sehingga membuat angka kunjungan gereja meningkat tajam di hari raya kristiani seperti Natal dan Paskah.
Subscribe to:
Posts (Atom)